Benarkah Peperangan diperlukan untuk Menciptakan Perdamaian?

2762

Si vis pacem para bellum, jika kau mendambakan perdamaian bersiaplah untuk menghadapi perang”

Sebuah frasa latin yang tercatat dalam buku karya Publius Flavius Vegetius Renatus yang hidup di masa kekaisaran Romawi tersebut menjelaskan perihal doktrin militer Romawi dimana kemampuan berperang yang kuat adalah sangat diperlukan demi menjamin perdamaian serta kedaulatan kekaisaran.

Berdasarkan doktrin tersebut, maka kekuatan pasukan militer merupakan kewajiban, perdamaian sejati dianggap hanya akan terjadi saat sebuah negara menjadi adidaya tanpa musuh maupun celah yang membuatnya rawan, perdamaian dimaknai sebagai ketiadaan ancaman dari negara lain yang berpotensi menjadi lawan, sehingga komando yang akan ada hanyalah dua, kuasai atau hancurkan.

Fakta sejarah pun mencatat bahwa Imperium Romawi pernah menjadi salah satu kekaisaran terbesar selama beberapa periode kejayaannya, dengan kekuatan militer paling perkasa serta jumlah populasi rakyat yang diperkirakan mencapai 21% populasi dunia pada masanya.

Namun abad demi abad berganti, lembaran sejarah pun tidak lepas dari revisi. Terbukti meskipun pernah memiliki kekuatan pasukan yang mampu menggetarkan bumi, nyaris tidak ada dari satupun kekaisaran agung masa lampau yang masih berdiri hingga saat ini. Sejarah bahkan mencatat bahwa upaya untuk mendirikan imperium dengan doktrin “para bellum” atau siaga perang tersebut sempat dilakukan oleh aliansi beberapa negara, yakni Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler, Italia yang dipimpin Benito Mussolini, bersama dengan Kekaisaran Jepang yang tergabung dalam poros ideologi Fasisme, yang akhirnya berujung pada Perang Dunia ke-II, dimana tiga anggota poros tersebut luluh lantak oleh kekuatan gabungan Uni Soviet beserta Amerika Serikat dan sekutunya.

Di masa kini, sudah tidak ada lagi sistem kekaisaran totaliter yang menguasai beberapa negara, percaturan politik dunia beralih pada sistem-sistem negara yang mengutamakan ideologi bahwa kepemimpinan sebuah negara tidak lagi dipegang secara sepenuhnya oleh satu orang saja, rakyat memiliki kekuatan yang lebih besar di masa kini.

Beberapa negara memang masih berpegang dengan menggunakan sistem kerajaan monarki yang dipimpin oleh raja yang berkuasa, beberapa pemerintahan bersifat totalitarian pun masih berusaha mempertahankan diri, namun kenyatannya mereka semakin terdesak oleh modernisasi pergaulan dunia yang semakin terbuka dan terhubung.

Pemahaman bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan memusnahkan lawan mungkin sudah tidak berlaku lagi, kini peperangan total hanya akan menjadi alternatif terakhir untuk penyelesaian masalah. Meskipun demikian, setiap negara memang memiliki hak untuk mempersenjatai diri, dengan tujuan utama melindungi kedaulatan dan bukannya mempersiapkan invasi.

Namun pada kenyataannya, beberapa negara dengan kekuatan besar, merasa memiliki hak untuk menggunakan persenjataan tersebut demi memastikan bahwa di tanah asing pun bendera mereka ikut berkibar.

Dalih mereka adalah “menegakkan perdamaian universal”, bahkan beberapa negara tersebut bahkan memiliki hak untuk melakukan veto atau menganulir keputusan bersama yang telah dicapai bangsa-bangsa lain meskipun keputusan tersebut telah dicapai dalam pertemuan resmi berskala Internasional.

Beberapa negara “dunia pertama” atau negara-negara yang telah dianggap sebagai negara maju, mengklaim bahwa mereka merupakan “polisi dunia” yang mengemban tugas untuk menjaga planet bumi dari berbagai hal yang dianggap mereka sebagai ancaman. Kondisi tersebut sebenarnya menciptakan suasana yang tidak ada ubahnya dengan apa yang terjadi di masa lampau, hanya kini kondisi tersebut diselubungi dalih mulia yakni upaya mencapai “perdamaian dunia” lintas benua.

Meskipun yang terjadi adalah penyerangan secara vulgar oleh negara dengan kekuatan besar terhadap negara yang dianggap barbar, maupun proxy war yakni peperangan tidak terlihat dimana terjadi intervensi terselubung yang melibatkan operasi intelijen, maupun adu domba politik serta ekonomi dengan tujuan melemahkan negara yang dituju.

Entah itu lawan, maupun kawan, persenjataan-persenjataan juga dipasarkan secara luas baik secara legal dan ilegal dan memberi nafas bagi teroris untuk beraksi. Meskipun demikian upaya pembahasannya hanya akan dianggap kospirasi, atau malah sekedar fiksi, meskipun aromanya jelas terdeteksi.

Adalah merupakan hal yang mustahil untuk menciptakan perdamaian dengan menggunakan berbagai taktik terselubung penuh rahasia tersebut, kepastian mengenai hal ini dapat ditemukandalam Al-Qur’an, salah satunya dalam surat Al-Mujadilah, ayat 10, yakni:

“Sesungguhnya mengadakan musyawarah rahasia untuk tujuan yang jahat itu dari setan, supaya orang – orang yang beriman menjadi sedih, tetapi ia tidak dapat memudaratkan mereka sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal”.

Pada akhirnya telah terbukti, perdamaian yang digadang-gadangkan dapat diwujudkan oleh kekuatan – kekuatan besar tersebut tak juga lekas terwujud, situasi justru menjadi semakin kacau, bahkan dunia kini disebut – sebut sedang bergerak menuju Perang Dunia ke-III.

Dalam kondisi dunia yang terancam ini, Hazrat Mirza Tahir Ahmad ATBA sejak awal beliau menjabat sebagai Khalifah Ke-4 Jamaah Muslim Ahmadiyah telah memperingatkan kembali para pemimpin dunia akan bahaya yang dapat ditimbulkan jika mereka tidak segera meninggalkan inisiatif mereka yang membabi buta dalam mengatur dunia tanpa mencari tahu pedoman sejati menuju perdamaian yang sebenarnya telah dijelaskan secara rinci dalam ajaran agama. Beliau dalam salah satu pidatonya yang juga disampaikan di hadapan para pemimpin dunia menyampaikan:

“Hari ini, terdapat agitasi besar dan keresahan di dunia. Kita sedang melihat perang dengan skala kecil sedang meletus, sementara di beberapa wilayah, negara – negara adikuasa mengklaim bahwa mereka sedang mencoba membawa perdamaian. Jika prasyarat keadilan tidak dipenuhi, kobaran perang dan api perang lokal ini akan menyebar dan menjadi pertengkaran di seluruh dunia. Karenanya, ini adalah permohonan dengan segala kerendahan hati saya kepada Anda, selamatkan dunia dari kehancuran!”

Salah satu solusi yang ditawarkan beliau juga disampaikan secara terang dan jelas, yakni:

“Satu-satunya cara untuk memastikan perdamaian bagi dunia adalah dengan menjalankan cara-cara kerendahan hati, keadilan, tulus, taat dan kembali kepada Tuhan yang karenanya manusia akan menjadi manusiawi; Yang kuat agar melayani yang lemah dan miskin dengan bermartabat dan rasa hormat disertai keadilan; Sementara yang lemah dan miskin juga menunjukkan rasa terima kasih dan menjalankannya dengan cara kebenaran dan keadilan serta kemudian semua berpaling kepada Pencipta mereka dengan penuh kerendahan hati dan ketulusan.”

Betapa perdamaian sejati sesungguhnya dapat dicapai dengan hal yang begitu sederhana, bahkan tanpa harus mengadakan anggaran persenjataan perang yang bisa mencapai angka trilyunan, yang sebenarnya bisa dialihkan untuk proyek-proyek kemanusiaan, pembangunan ekonomi, maupun pengentasan kemiskinan, yang jelas – jelas dapat berpengaruh nyata dalam mengatasi seluruh permasalahan duniawi yang ada di muka bumi.

Sumber:

“Al-Qur’an, Terjemah dan Tafsir Singkat”. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

“Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian” oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad atba, Neratja Press, Indonesia.

Plesch, Dan. (2008). How the United Nations Beat Hitler and Prepared the Peace. Global Society: Journal of Interdisciplinary International Relations, Vol. 22 (1). 137 – 158.

image : unsplash.com


Kontributor : Irfa Ardiatama