Fakta-Fakta dari Khayalan Yesus, sang ‘Anak Tuhan’– Latar Belakang Sejarah

1728

Penulis : Azhar Goraya adalah lulusan the Ahmadiyya Institute of Languages and Theology (Institut Bahasa dan Teologi Ahmadiyah = Jamiah Ahmadiyah) di Kanada. Saat ini beliau bertugas sebagai Imam (Muballigh) Jemaat Muslim Ahmadiyah di Meksiko. Beliau juga adalah Koordinator Majalah The Review of Religions en Español (bahasa Spanyol) di wilayah Amerika tengah.

Salah satu argumen yang dikemukakan orang-orang Kristen dalam usaha membuktikan ketuhanan Yesus adalah dengan menyatakan bahwa Yesus ‘alaihis salaam disebut sebagai ‘anak Tuhan’—sebuah gelar ketuhanan. Mereka menyatakan bahwa Yesus disebut sebagai anak Tuhan oleh Tuhan sendiri (Matius 3:16), oleh malaikat (Lukas 1: 30-35), oleh murid-muridnya (Matius 14: 32), oleh setan (Matius 8:29), oleh orang-orang kafir (Matius 27:54). Yesus sendiri menerima sebutan itu, yang untuk itu ia diuji dan dianggap oleh kaum Yahudi bersalah dengan tuduhan penghujatan. Menurut pemikiran mereka, hal ini jelas adalah pernyataan atas ketuhanannya.

Dari antara semua sebutan yang dialamatkan kepadanya, ‘anak Tuhan’ mungkin merupakan yang paling disukai oleh orang-orang Kristen dan banyak digunakan untuk usaha dan membuktikan ketuhanannya. Bagaimanapun, ‘anak Tuhan’ sudah pasti merupakan Tuhan sebagaimana bapaknya.

Terdapat banyak teologi dan sejarah yang perlu dibongkar di sini. Merupakan hal yang penting ketika mencoba membuktikan kebenaran tentang sifat asli Yesus (as), kita harus memahami Yesus (as) dan dalam konteks apa ketika kata itu disebutkan tanpa menempatkan penyaring pada kata-kata tersebut oleh penafsir masa selanjutnya.

Studi yang berhati-hati atas Perjanjian Lama dan sabda Yesus (as) melalui penjelasan Al-Quran dan penalaran dasar monotheisme, membawa kita pada kesimpulan bahwa Yesus (as) bukanlah Tuhan. Yesus (as) adalah penganut monotheisme yang tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Tuhan. Dia menafsirkan kata ‘anak Tuhan’ sebagai benar-benar metafora dan tidak menggunakan suatu cara dan jalan apa pun untuk menyatakan atau membenarkan gagasan bahwa ia adalah Tuhan.

Selain itu, istilah yang ia (Yesus) gunakan dalam segala kemiripan, paling sering untuk dirinya sendiri, lebih menyukai istilah ‘anak manusia’, dan lebih mirip istilah ‘ hamba Tuhan’. Dua sebutan ini kemudian lebih dekat untuk mencerminkan nubuatan berkenaan dengan mesias yang akan datang dalam Perjanjian Lama dan kedudukannya sebagai Nabi Allah, sedangkan sebutan ‘anak Tuhan’ adalah gelar kedua untuk Mesias yang ditunggu-tunggu dan Raja Daud.

Anak Tuhan – Harfiah atau metafora?

Sejak awal, sangat penting untuk diketahui bahwa kebanyakan orang Kristen konservatif bahkan tidak mendukung penafsiran secara harfiah untuk istilah ‘anak Tuhan’. Seekor anak, secara harfiah merujuk kepada suatu keturunan laki-laki dari seekor hewan. Untuk mengatakan Yesus adalah benar-benar anak Tuhan secara harfiah berarti seseorang menerima proses pemikiran kepada kesimpulan secara logis—akan berarti bahwa Tuhan memiliki tubuh kasar yang mampu menjadi ayah seorang anak dan Dia berpasangan dengan Maria, hasil dari ciptaannya sendiri yang menghasilkan keturunan dengan kelahiran Yesus, sebuah gagasan setengah-manusia-setengah-Tuhan yang tidak masuk akal. Pemikiran-pemikiran bahkan terhalang dari pikiran penghujatan seperti itu.

Karena itu, kedua belah pihak umat Kristen dan umat Islam tidak mendukung penafsiran-penafsiran secara harfiah istilah ‘anak Tuhan’ untuk Yesus (as). Keduanya memahami istilah itu adalah secara metafora (kiasan). Pertanyaan yang tertinggal adalah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut?

Kaum Muslim mengajukan sebuah penafsiran yang patuh pada batas monotheisme murni dan tidak memuja Yesus (as) dalam batas penggunaan historis Yahudi pada frasa ‘anak Tuhan’ dan berdasarkan pernyataan Yesus (as) sendiri. Kaum  Kristen pada umumnya memaksakan pada pemahaman ini dalam cara dimana akhirnya Yesus menjadi Tuhan.

Untuk mencapai pada kesimpulan semacam itu, seseorang harus mulai pada perjalanan untuk memahami istilah yang mendasari dan konteks yang didalamnya istilah ‘anak Tuhan’ digunakan pada masa Yesus (as) hidup.

Anak Tuhan — ditulis kapital atau huruf kecil?

Orang-orang Kristen kadang menulis kapital pada kata ‘anak Tuhan’ dengan ‘Anak Tuhan’ ketika berhubungan dengan Yesus (as) ini menjadi berat sebelah ketika istilah yang sama tidak ditulis kapital pada individu yang lain dalam Bible. Pada kasus semacam ini, hal ini dilakukan untuk mencoba dan menunjukkan sebuah perbedaan antara sifat anak Yesus dan sifat anak individu yang lain.

Baik naskah Perjanjian Lama Bahasa Ibrani maupun naskah perjanjian baru Bahasa Yunani tidak membedakan huruf kapital dan huruf kecilnya: “Pada masa kitab-kitab perjanjian baru ditulis, tulisan Yunani tidak membedakan antara huruf kapital dan huruf kecil. Naskah-naskah alkitab pada masa awal ditulis seluruhnya sesuai standar apa yang pada masa selanjutnya disebut huruf kapital. Naskah-naskah Yunani yang asli tidak memberikan petunjuk kepada penulisan huruf kapital.”[1]

Demikian pula, semua huruf kapital didasarkan pada ungkapan bahasa yang diterjemahkan dan berdasarkan pada pemahaman penerjemah pada subyek yang ada pada teks. Ungkapan Bahasa Inggris membolehkan penulisan huruf kapital untuk beberapa alasan.

Dalam situasi resmi untuk menuliskan huruf kapital pada kata ‘anak Tuhan’ jika penerjemah menganggap istilah itu adalah dirujukkan kepadanya sebagai Sang Raja Daud yang ditunggu-tunggu, yang secara khusus mendapatkan gelar ‘anak tuhan’. Atau, dirujukan kepadanya sebagai Nabi yang ditunggu-tunggu dan mesiah pada masanya.

Sayangnya, dan lebih sering daripada tidak, kesan yang didapatkan dari penulisan huruf kapital secara sepihak ini adalah Yesus adalah ‘kebenaran’ atau ‘tuhan’ anak, padahal yang lainnya anak-anak ‘kecil’.

Berlanjut ke bagian berikutnya : Anak Tuhan dalam Bible

Penerjemah: Raden Riyazi Arifin, Muhyiddin Ahmad dan Rismansyah, JAMAI Darjah Tsalitsah Studi Muwazanah Madzahib (Perbandingan Agama) tahun ajaran 2020-2021.  Editor dan pengajar tahun ajaran 2020-2021: Dildaar Ahmad Dartono


[1] ‘Truth in Translation: Accuracy and Bias in the English Translations of the New Testament’, Jason De Duhn, pg. 143