Hukum Bermakmum kepada Imam yang Berbeda Mazhab

2084

Bolehkah kita bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab? Bagaimana sikap kita bila ada kelompok muslim tertentu yang tidak berkenan bermakmum kepada imam yang berbeda mazhabnya? Banyak sekali pendapat mengenai hal ini dan sekurang-kurangnya ada empat pendapat ulama. Kali ini kita akan membahasnya sehingga kita bisa bertoleransi kepada kelompok-kelompok muslim yang memang tidak berkenan bermakmum kepada kelompok lainnya.  

Menurut imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat.

اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)    

أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ

“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ

“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajibannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

وَالثَّالِثُ– إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ

“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai  kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

 وَالرَّابِعُ– وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ

“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.”  (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)  

Mahbub Ma’afi Ramdlan berpendapat bahwa pendapat kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitan. Jadi, empat pendapat tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam melakukan apa yang diwajibkan atau disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya[1].

Alhasil sangat penting bagi seorang makmum dan imam memiliki itikad dan keyakinan yang sama akan syarat sah shalat. Bila imam tidak memiliki keyakinan dan amalan yang sesuai dengan keyakinan makmum  maka shalat akan dikhawatirkan tidak sah.

Kita ketahui Jamaah Muslim Ahmadiyah memiliki keyakinan bahwa mereka tidak boleh bermakmum kepada orang yang belum mengimani dan meyakini Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Al-Masih dan Imam Mahdi yang dijanjikan (bai’at).

Berdasarkan penjelasan imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dan Abu Ishaq al-Isfarayini diatas: shalat bisa tidak sah bila imam dan makmum berbeda keyakinan, hal ini mengingat pentingnya adanya kesamaan akan keyakinan dalam hal sah shalat antara Imam dan makmum. Jadi penting bagi seorang imam untuk memiliki dan menjalankan keyakinan akan syarat sah shalat yang makmumnya yakini.

Dengan demikian adalah wajar dan dapat ditolerir bila ada kelompok muslim termasuk Ahmadiyah yang tidak mau bermakmum kepada mereka yang tidak sama keyakinannya.

Catatan:

Dasar aqidah dalam Jamaah Ahmadiyah bahwa para anggotanya tidak boleh bermakmum kepada imam yang bukan Ahmadi adalah perintah langsung dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as yang diyakini sebagai Al-Masih dan Imam Mahdi yang dijanjikan oleh Rasulullah saw (Al-Hakam 10 Agustus 1901, halaman 3). Sedangkan keputusan Al-Masih adalah suatu hal mutlak untuk ditaati mengingat Rasulullah saw sendiri menjulukinya sebagai hakim yang adil (HR.Musnad Ahmad bin Hambal, jilid II, hal.156). Sekalipun demikian Jamaah Ahmadiyah tidak pernah memiliki keyakinan kalau kelompok dan imam yang bukan Ahmadiyah adalah kafir atau di luar Islam.


Oleh: Ammar Ahmad

Sumber:
[1] http://www.nu.or.id/post/read/56350/bermakmum-dengan-imam-yang-beda-madzhab yang diakses pada tanggal 07 September 2018

Sumber Gambar: www.rferl.org