Tuhan Yang Mungkin Ada

2096

Saya percaya bahwa di luar angkasa di antara Planet Bumi dan Mars, ada sebuah teko yang sangat kecil ukurannya, ia berputar mengelilingi matahari dalam orbitnya sendiri. Tapi ukurannya yang kecil membuatnya tidak dapat dilihat menggunaan teleskop, dan jarak antara Bumi dan Mars yang mencapai ratusan juta kilometer menjadikannya paku dalam samudera jerami.

Keberadaannya sulit untuk dibuktikan. Oleh karena tidak masuk akal, tentu anda tidak akan percaya akan keberadaan teko tersebut. Tapi sama seperti saya, anda juga tidak bisa membuktikan bahwa teko itu tidak benar-benar ada.

Analogi di atas diungkapkan oleh seorang filsuf Inggris bernama Bertrand Russell di pertengahan abad ke 20. Dalam analogi tersebut, Russell menyatakan bahwa tidak mungkin kita dapat memberi bukti bahwa teko itu ada atau tidak ada. Beliau menambahkan, jika keberadaan teko tersebut tercantum dalam buku suci berusia ribuan tahun dan keberadaannya juga diajarkan kepada anak-anak setiap hari Minggu, tentu memiliki kepercayaan terhadap suatu hal yang mustahil adalah suatu hal yang biasa.

Dapat kita lihat bahwa Russell menghubungkan teko tersebut dengan eksistensi Tuhan, dan menjelaskan bahwa beban untuk membuktikan sesuatu kepercayaan berada di pundak orang yang mempercayai kepercayaan tersebut. Artinya jika kita percaya atas keberadaan Tuhan, maka kita yang harus membuktikan keberadaannya.

Namun, keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa dibuktikan dengan kaidah sains karena salah satu syarat subyek saintifik adalah harus observable (dapat diamati) dan jelas, Tuhan tidak dapat kita amati dengan alat indera kita yang terbatas, maupun oleh alat-alat bantu observasi yang kita ciptakan.

Bahkan dalam kaidah logika dan nalar pun tidak akan menghasilkan sebuah konsensus. Buktinya, selama ratusan tahun para pemikir di seluruh dunia melepaskan argumen-argumen mereka atas Tuhan, dan sampai sekarang belum juga menemui titik resolusi.

Bagaimana yang Al-Quran katakan dalam hal menggunakan permisalan logika terhadap keberadaan Tuhan? Mari perhatikan surat An-Nahl ayat 75 berikut:

Maka jangan kamu membuat persamaan-persamaan bagi Allah. Sesungguhnya, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.

Al-Quran jelas menempatkan Tuhan dalam sifat ghaib, tidak dapat diamati dengan panca indera dan tidak dapat pula dibayangkan dengan permisalan-permisalan belaka. Tidak ada suatupun yang serupa dengan Dia, Dia tidak dilahirkan, tidak pula melahirkan, Dia lah Tuhan Yang Maha Esa.

Jika Tuhan tidak dapat dibuktikan dan kemampuan nalar hanya dapat menyimpulkan bahwa Tuhan itu mungkin ada, bagaimana kita dapat beriman kepada-Nya, kepada zat yang kita bahkan tidak dapat imajinasikan?

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pembela Islam, seorang mujaddid abad ini, Al-Masih yang dijanjikan berkata bahwa:

“Pencarian Tuhan adalah masalah yang pelik. Observasi langit dan bumi dan refleksi atas keteraturan alam semesta hanya akan mengarah pada kesimpulan bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan, namun tidak ada bukti yang dapat mengatakan bahwa Sang Pencipta itu ada. Merupakan sebuah perbedaan yang besar antara mungkin ada dan benar-benar ada. Tugas utama seseorang, adalah untuk menemukan kepastian atas keberadaan Tuhan. Bagaimana kepastian ini bisa didapat? Tidak bisa didapatkan melalui kisah saja atau argument saja. Satu-satunya cara adalah untuk merasakan kehadiran Tuhan dengan berbincang dengan-Nya atau menyaksikan tanda-tanda-Nya yang Agung.”

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mengambil sikap subyektifitas dalam hal ini. Beliau menyatakan bahwa seseorang dapat meyakini keberadaan Tuhan ketika dirinya berinteraksi atau memiliki pengalaman-pengalaman pribadi dengan Tuhan.

Misalnya, setiap orang pasti mengalami suatu life changing moment, suatu momen yang sangat besar dan dapat merubah sudut pandangnya atas hidupnya yang membuatnya sadar bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Tetapi, bagi mereka yang memilih untuk tidak percaya terhadap eksistensi Tuhan, pengalaman seperti itu tidak dapat terjadi.

Bagaimana mungkin seseorang dapat berinteraksi dengan suatu hal yang keberadaannya tidak mereka anggap? Bagaimana sebuah pesan dapat diterima jika sang penerima pesan tidak tahu cara membaca pesan tersebut? Bagi mereka, logika dan nalar yang mereka gunakan merupakan suatu kabut yang semakin direnungi akan semakin lebat, menyesatkan mereka jauh dari kebernaran. Mereka tidak sadar bahwa mereka senantiasa memuja sebuah wujud “tuhan”, mereka menuhankan diri mereka sendiri.


Oleh: Rafif Adianto Abdul Wahab

Sumber:

  1. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat Bahasa Indonesia, Neratja Press, Jakarta, 2014

2. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, The Essence of Islam, Vol.1, Islam International Publications, Ltd. U.K., 2004.

3. Bertrand Russel, Is There a God?, Article on London Magazine. Published on 12 January 1952

Sumber Gambar: unsplash.com