Segunduk Amuk di Tengah Pagebluk

1674

Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh otoritas pemerintah berbuntut pada aksi demonstrasi sekelompok buruh dan mahasiswa. Hal ini lantaran mereka tak terima dengan keputusan tersebut karena dinilai merugikan kaum buruh dan menguntungkan pihak tertentu. Dengan demikian, jalan untuk menolak keputusan tersebut adalah melakukan demonstrasi hingga diwarnai anarkisme. Persitiwa ini tidak hanya terjadi di Ibu Kota saja, sejumlah buruh dan mahasiswa dari penjuru daerah di Indonesia pun serempak melakukan aksi tersebut.

            Dilansir dari laman berita Channel News Asia (CNA), aksi demonstrasi setidaknya dilakukan di 12 daerah pada Rabu, 7 Oktober 2020. Sekitar 183 pengunjuk rasa di Palembang, Sumatera Selatan ditahan oleh polisi dan menahan lebih dari 200 pengunjuk rasa untuk diinterogasi di Jakarta, sehari setelah gas air mata dan meriam air digunakan untuk membubarkan massa di berbagai kota. Demonstran yang berasal dari kaum mahasiswa di Bandung dan Jakarta pun menggencarkan aksi lempar batu dan bakar ban.

            Narasi ini tidak akan membahas substansi materi Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi bahan peledak amukan buruh dan mahasiswa hingga menyuguhkan potret lautan manusia dengan tindak tanduk perlawanan ‘atas nama keadilan’ yang disajikan di kanal-kanal pemberitaan media hari ini. Aksi-aksi demonstrasi yang kerap terjadi di tanah air ketika ada ketimpangan antara keputusan pemerintah dan rakyat bukanlah hal yang asing. Namun di tengah pagebluk Covid-19 ini, aksi demonstrasi menjadi daya tarik untuk diangkat menjadi sebuah diskursus.

            Kabar terkini menyebutkan bahwa per 7 Oktober 2020, angka kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 315.714 kasus, 240.091 orang dinyatakan sembuh, dan 11.472 orang meninggal dunia. Meski wilayah tertentu menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali, seperti Provinsi DKI Jakarta, namun prevalensi Covid-19 tak kunjung mereda. Dilansir dari CNBC Indonesia, provinsi dengan angka penambahan tertinggi yakni DKI Jakarta yang bertambah 1.211 orang. Pertambahan kasus baru tersebut membuat akumulasi kasus melebihi 80.000 orang atau tepatnya 82.190 orang. Pada hari yang sama, Ibu Kota mencatat 986 pasien sembuh sehingga totalnya menjadi 67.216 orang. Dengan demikian, kelirukah jika premis bahwa PSBB tidak memengaruhi penurunan kasus Covid-19?

            Disinyalir banyak klaster-klaster bermunculan menjadi penyebab bertambahnya kasus Covid-19, seperti klaster perkantoran, klaster industri, hingga kluster keluarga. Longgarnya penerapan protokol kesehatan juga mendukung penyebaran virus corona semakin menjadi-jadi. Banyak masyarakat yang tidak mengindahkan jaga jarak sosial, enggan mengenakan masker saat di luar rumah, serta tidak mencuci tangan secara teratur. Alhasil, tenaga medis harus kembali berjibaku menggencarkan upaya promotif, preventif, edukatif dan kuratif dalam penanganan kasus Covid-19 ini. Banyak masyarakat yang mulai berspekulasi bahwa Covid-19 hanya konspirasi dibalik orang-orang yang berkepentingan sehingga menurutnya untuk apa memerangi virus yang sebetulnya tidak usah ‘lebay’ disikapi.

            Seperti sebuah paradoks, alih-alih melihat pandemi ini bak jalan tak berujung, di saat segelintir masyarakat ‘mati-matian’ berupaya meredam pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan, di saat tenaga medis dan otoritas kesehatan kewalahan menangani pasien Covid-19, pun ketika menghadapi lonjakan pasien hingga kapasitas fasilitas kesehatan dirasa tidak mencukupi, belum lagi jawatan bidang pemakaman di suatu daerah yang kelimpungan mengatur lahan pekuburan jenazah Covid-19 karena semakin hari semakin banyak pasien meninggal, di saat itu pula meletuslah huru-hara demonstrasi yang melibatkan ratusan hingga ribuan demonstran untuk saling berkumpul, berdesak-desakan, merapatkan barisan, mengujarkan cacian, bertindak anarkis, dalam rangka menyalurkan aspirasi dan gugatan agar bisa menarik hati sang pengampu kebijakan untuk mencabut keputusan mereka yang dinilai menyengsarakan para demonstran. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia juga menilai aksi demonstrasi yang telah dilakukan tidak mematuhi protokol kesehatan.

            Mahasiswa merupakan salah satu unsur yang turut mewarnai demonstrasi yang melanggar protokol kesehatan. Jumadi (2009) berpandangan bahwa gerakan mahasiswa secara umun identik dengan sifat keras-radikal, bahkan cenderung berpaham anarkis. Sisi heroisme yang berlebihan diidentikkan dengan anarkisme atau tindakan kekerasan sehingga dalam setiap melakukan demonstrasi, tanpa kekerasan aksi sepertinya tidak ‘afdhal’.

Kenapa harus dengan aksi anarki? Seorang kritikus seni asal Inggris, Herbert Read, mengatakan bahwa anarkisme merupakan kesadaran akan mutualisme manusiawi yang menguasainya. Anarkisme praktis dipremiskan dalam manusia sebagai makhluk sosial yang bermutualisme satu sama lain, selalu menemukan cara untuk hidup, bekerja dan bermain bersama. Rasa mutualisme ini terkadang diekspresikan dalam bentuk solidaritas antar-komunitas dan secara umum dapat dijumpai dalam aksi-aksi demonstrasi (Armster, 2012).

            Lantas, adakah cara yang lebih diplomatis dari masyarakat, khususnya golongan mahasiswa, untuk menggugat ketimpangan keputusan dari perwakilan rakyat di parlemen? Apakah hanya dengan cara demonstrasi anarkis demikian? Seorang peneliti dari Prodes Institute, Khalid Walid Djamaludin, mengungkapkan bahwa menggugat permasalahan hal serupa dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan instrumen yang ada. Namun persoalannya, rakyat masih mempertanyakan moral para legislator, birokrat, penegak hukum, dan hakim.

            Lalu bagaimana Islam memandang pemerintahan yang tidak adil dan masyarakat yang melakukan praktik demonstrasi anarkis?

            Dalam sebuah pidato di Military Headquarters Koblenz, Jerman 2012, Hadhrat Mirza Masroor Ahmadaba menyampaikan amanat bahwa telah dijelaskan dalam Al-Quran yaitu orang-orang harus menjauhi segala jenis bentuk yang tidak sopan, tak menyenangkan dan pembangkangan. Di dalam bahasa arab dikatakan baghiya (بغي ) yang artinya yaitu:

  1. Orang-orang atau perilaku orang yang menyebabkan kerugian kepada negaranya.
  2. Orang-orang yang ikut serta dalam praktek yang salah atau yang menyebabkan kerugian bagi orang lain.
  3. Orang-orang yang menipu dan berusaha membuat sesuatu yang tidak sah menjadi sah.
  4. Orang-orang yang melampaui batas dan membuat kerusakan.

Agama Islam memerintahkan kepada umat muslim untuk meraih keridhaan Tuhan, dan keridhaan Tuhan itu terletak pada sifat loyalitas terhadap perintah-perintah Tuhan. Tuhan telah melarang setiap bentuk penghianatan dan pemberonatakan, baik itu terhadap Tuhan maupun negara. Oleh karena itu, akibat dari ketidaksetiaan kepada negara atau menyebabkan kerugian terhadap negara diklasifikasikan termasuk baghiya (بغي ).

Dijelaskan dalam Al-Quran:

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu menghakimi dengan adil” (QS An-Nisa:59)

Oleh karena itu, loyalitas terhadap negara membutuhkan kekuatan pemerintah yang harus diberikan kepada mereka yang benar-benar menerima amanat, maka negara dapat maju dan berdiri di barisan terdepan di antara bangsa lainnya. Dalam hal lain, banyak orang-orang yang melakukan protes dengan merusak barang milik atau properti kepunyaan negara atau masyarakat. Meskipun mereka menyatakan bahwa protes yang dilakukan mereka itu atas nama cinta, pada kenyataannya itu merupakan perilaku yang tidak berhubungan loyalitas atau cinta untuk negara.

            Sebagai pemuda yang menjadi bagian dari murid Imam Mahdi, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmadas, hendaknya kita mengingat pasal-pasal yang diterbitkan melalui maklumat Sadr MKAI tahun 2019 berkenaan dengan demonstrasi mahasiswa, diantaranya mengingat poin dalam Janji Bai’at untuk menghindarkan diri dari huru-hara, memberontak dan tidak kalah dengan hawa nafsu, tidak mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak ada pada tempatnya terhadap makhluk Allah, juga instruksi untuk melaksanakan Shalat Tahajjud, Puasa Nafal, dan berdoa untuk keselamatan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Meski pandemi masih menghantui, ada saja yang ingin memperuntung diri. Sekelompok orang atas nama rakyat bersuara dari hati yang tersayat. Berbuat amuk di tengah pagebluk, tak lantas membuat massa takluk. Alih-alih segelintir pihak berupaya keras membasmi laju pandemi, pelanggaran protokol kesehatan dilakukan tanpa kompromi demi menggencarkan demonstrasi yang anarki. Menyikapi keadilan negara yang menyublim, lantas sikap apa yang ditunjukkan seorang Muslim? Di tengah gemerlap fatamorgana dan ketidakpastian, Islam menghadirkan ajaran yang menyentuh iman. Cinta terhadap negara dan melawan keadilan yang berpura-pura, tidak perlu berhuru-hara. Tetap berdoa untuk keselamatan dan kemajuan bangsa.


Oleh: Umar Farooq Zafrullah

Sumber  :

1. https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-protests-jobs-law-omnibus-bill-demonstrations-13221370 Hundreds held in Indonesia as tempers flare on second day of protests over new jobs law. Diakses 8 Oktober 2020
2. Amster, Randall. 2012. Anarchism Today. California, United States of America: ABC-CLIO, LLC.
3. covid19.go.id
4.https://www.cnbcindonesia.com/news/20201008081446-4-192693/kasus-aktif-covid-19-dki-jabar-nanjak-terus-nih Kasus Aktif Covid-19 DKI & Jabar Nanjak Terus Nih! Diakses 8 Oktober 2020
5. Hasse, J. (2012). Anarkisme Demonstrasi Mahasiswa: Studi Kasus Pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Muhammadiyah University Yogyakarta.
6. Pidato Hadhrat Mirza Masroor Ahmadaba “Loyalitas Sejati Terhadap Tanah Air” di Military Headquarters Koblenz, Jerman 2012 diterjemahkan oleh Nasir A. Tahir
7. Pernyataan Sikap Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia Nomor 165/PPMKAI/IX/2019 Tanggal 25 September 2019

Sumber gambar : Media.com