Poligami dalam Islam, Bagaimana Memaknainya?

1331

Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk melangsungkan keturunan, berkembang biak, dan menjaga kelestrarian hidup. Pernikahan baru dapat dilaksanakan jika pasangan suami dan istri siap melakukan perannya secara positif. Terdapat dua jenis pernikahan, yaitu pernikahan monogami ataupun pernikahan poligami.

Poligami secara etimologi berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu. Hingga saat ini, poligami menjadi isu yang sensasional dan kontroversial, dikarenakan masyarakat hanya memahami aturan poligami sepotong-potong. Salah satunya adalah rencana poligami yang dilakukan oleh Aldi Taher yang menjadi isu kontroversial [1]. Tidak hanya itu, masih banyak praktek poligami di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bagaimana Islam memaknainya?

Pandangan Poligami dalam Islam

Poligami dalam Islam memiliki anturan yang ketat. Terdapat perbedaan pendapat mengenai poligami. Ada yang berpendapat bahwa poligami adalah boleh secara mutlak dengan maksimal empat orang istri, ada pula membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan melihat situasi serta kondisi tertentu yang sangat terbatas.

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’(4) ayat 3 [2]:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kemudian syarat poligami dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 57: “Suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberi izin apabila:

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Sejarah Poligami

Jika merujuk ke sejarah poligami, izin berpoligami sangat berhubungan dengan perlindungan terhadap anak yatim dan masyarakat terlantar. Poligami dapat dilakukan jika jalan yang tersisa untuk melindungi anak yatim adalah hanya dengan menikahi ibunya (janda) atau perempuan yang mengasuhnya [3]. Pada kondisi tersebut, izin poligami dapat diberikan bahkan poligami sangat tepat dan perlu untuk dilakukan. Pada umumnya, sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau dalam poligami adalah untuk melindungi anak yatim dengan menikahi ibunya atau melindungi janda yang ditinggal mati oleh suaminya di medan perang. Inilah kenapa poligami diberlakukan. Poligami lebih menjadi solusi bagi anak yatim, janda, masyarakat bahkan negara yang terlantar terutama akibat peperangan. Artinya, tidak sembarangan bisa berpoligami apalagi bila hanya demi memuaskan birahi.

Kondisi saat Ini

Pada kondisi saat ini, bisa dikatakan tidak memiliki kesesuaian jika mengacu pada makna dan sejarah poligami. Hal ini dikarenkana masih ada yang tidak bisa bersikap adil dalam poligami, sehingga menimbulkan kesenjangan di lingkungan sosial.

Di Indonesia sendiri, praktek poligami marak dilakukan oleh kalangan masyarakat, baik oleh masyarakat awam, kalangan elite, public figure, pejabat, hingga tokoh agama dengan alasan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan untuk menghindari dari tindakan zina. Seakan-akan, tindakan poligami sangat mudah untuk di praktekkan di Indonesia. Alasan tersebut, seperti zina, prostitusi, dan semacamnya dianggap sebagai hal yang mengada-ada, karena hanya untuk melegitimasi poligami dengan membandingkan poligami pada alasan yang bukan levelnya. Tidak hanya itu, masih banyak lagi alasan yang digunakan untuk membenarkan praktek poligami, salah satunya untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, khususnya perempuan berekonomi rendah. Alasan tersebut semakin merendahkan martabat perempuan, karena menganggap perempuan tidak mampu secara ekonomi dan perlu dibantu dengan cara dikawinkan.

Selain itu, terdapat realita yang menunjukkan bahwa terjadi penderitaan dari istri yang dipoligami, baik itu istri pertama, kedua, dan selebihnya. Menurut Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020, terdapat 759 kasus perceraian yang disebabkan oleh poligami [4]. Sebuah data menunjukkan dari 106 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK pada tahun 2001-2005 menunjukkan kekerasan terhadap istri dan anak-anak mereka, mulai dari penganiayaan fisik, tekanan psikis, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman terror, serta pengabaian hak seksual istri, dan banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas [5]. Selain itu, poligami mendorong tingginya angka perceraian yang diajukan istri (gugat cerai) sebanyak 214,970 kasus [4]. Dihubungkan dengan fenomena perempuan dalam poligami, maka nilai universal yang membawa kemashlahatan bagi perempuan adalah prinsip kesetaraan dan gender.

Jika dilihat dari syarat poligami, bahwa istri dituntut untuk dapat melakukan pelayanan secara “sempurna”. Cacat badan, penyakit berat, serta terganggunya fungsi reproduksi telah berakibat perempuan tidak layak dijadikan sebagai istri. Rumusan syarat poligami, terutama keuzuran biologis istri untuk menjalani fungsi reproduksi, telah dijadikan alat bagi suami untuk menikah lagi. Kondisi dalam kekurangan tersebut, tidak hanya menjadi kekecewaan suami, tetapi juga kekecewaan istri. Maka tidak logis rasanya kondisi tersebut diselesaikan dengan cara poligami.

Firman Allah SWT dalam QS An-Nisa’: 129 yang berbunyi [6]:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar [7]:

“Sesungguhnya Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya. Kecuali jika ia menginginkan Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku baru menikahi putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku. Apa yang meragukannya, itu membuatku ragu. Apa yang mengganggunya, itu membuatku terganggu.”

Jika memperhatikan hadits Rasulullah yang melarang Ali berpoligami atau memadu Fatimah, dapat dipahami bahwa poligami cenderung menyakiti perempuan karena Rasulullah menyatakan bahwa “sakitnya Fatimah, sakitnya aku”. Dengan demikian, dalam pernikahan secara poligami terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan perempuan dalam rumah tangga.

Adapun menikah dengan dua orang atau lebih dapat dilakukan ketika banyak sekali perempuan yang menjadi janda akibat ditinggal mati suami di medan perang (sehingga perlu perlindungan segera). Sekarang, apakah timbul situasi demikian (perang) sehingga ada yang mau menikahi dua perempuan atau lebih?

Hz. Masih Mau’ud as bersabda jika seorang laki-laki mengetahui betapa besar tanggung jawab yang harus dia penuhi kepada istrinya dan dosa besar serta pertanggungjawaban yang kelak dituntut disisi Tuhan akibat tidak memenuhinya. Khalifah Ke-2 Jamaah Muslim Ahmadiyah bersabda (tentang ayat izin poligami kenapa disebutkan maksimal 4) “Jika kalian hendak melakukan 4 kali pernikahan bagaimana kalian akan tahu bahwa kalian mampu berbuat adil?” [8].

Kesimpulan

Poligami hanya merupakan pembenaran yang sifatnya kontekstual. Secara penerapan, manusia tidak akan mungkin bisa berlaku adil terhadap para istri karena pada hakikatnya manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau dituruti secara terus-menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang. Idealnya, pernikahan adalah monogami, sehingga poligami bukanlah solusi yang tepat dipraktekkan dewasa ini karena bertentangan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya, bentuk keluarga ideal (sakinah, mawaddah wa rahmah), adalah kesediaan dua belah pihak untuk menghargai, menghormati, dan menerima kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Wallahualam.


Penulis : NHA

Daftar Pustaka:

  1. Detikcom. Aldi Taher Minta Izin Istri Untuk Poligami, Ini Jawabannya. Available from: https://hot.detik.com/celeb/d-5504685/aldi-taher-minta-izin-istri-untuk-poligami-ini-jawabannya [Accessed 4th April 2021].
  2. TafsirQ. Surat An-Nisa’ Ayat 3. Available from: https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-3 [Accessed 4th April 2021].
  3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Al-Quran Terjemahan dan Tafsir Singkat Bahasa Indonesia. Jakarta: Neratja Press. 2014.
  4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2020. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 2020.
  5. Hikmah S. Fakta Poligami sebagai bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. SAWWA: Jurnal Studi Gender. 2012; 7(2):1-20.
  6. TafsirQ. Surat An-Nisa’ Ayat 129. Available from: https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-129 [Accessed 4th April 2021].
  7. Kumparan. Islam dan Feminisme: Benarkah Bertentangan? Available from: https://kumparan.com/aisyah-syihab/islam-dan-feminisme-benarkah-bertentangan-1vJbIP2YY14/full [Accessed 4th April 2021].
  8. Raja Pena. Bolehkah Menikahi Dua Perempuan Sekaligus Menurut Islam dan Negara? Available from: https://rajapena.org/bolehkah-menikahi-dua-perempuan-sekaligus-menurut-islam-dan-negara/ [Accessed 4th April 2021]