Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah tulisan di vice.com yang berjudul “Mantan Teroris Jelaskan Motivasi & Taktik Kelompok Radikal Indonesia Rekrut Anak Muda.” Nasir Abbas, alumni Jemaah Islfamiyah (JI) menceritakan salah satu alasan anak muda Indonesia tertarik kedalam kelompok radikal karena mereka ingin berubah menjadi lebih baik. Mereka bertemu kelompok radikal dan diajarkan bahwa cara mudah dan cepat untuk menghapus dosa adalah mati syahid, yang suka disebut sebagai jalan shortcut atau jalan pintas menuju surga.[1] Saya jadi ingat kisah masa kecil. Ketika saya berumur enam tahun, orang tua saya rutin mengantar ke madrasah di mesjid Bandung (An-Nashir dan Mubarak). Waktu itu, saya belum paham mengapa menghadiri kegiatan di mesjid seperti madrasah itu penting . Namun orang tua saya yakin dengan doa dan karunia Ilahi ketika suatu saat saya harus tinggal jauh dari mereka, saya akan mengerti pentingnya menghadiri kegiatan di mesjid.
Empat belas tahun kemudian, saya kuliah ke luar kota Los Angeles dan saya harus tinggal di asrama, jauh terpisah dari orang tua. Hanya dengan karena karunia Allah Ta’ala , saya dapat mengikuti kegiatan di mesjid walaupun harus mengorbankan waktu senjang di hari Sabtu, Minggu dan harus menempuh perjalanan total dua jam pulang pergi menggunakan kereta. Jalan kereta dari kampus ke mesjid Baitul Basir yang berada di kawasan Sillicon Valley itu jalannya lurus, bukan jalan pintas.
Selagi di kereta kadang saya suka berpikir : “Ngapain ya aku jauh-jauh ke mesjid pake kereta pulang pergi memakan waktu dua jam, kan tinggal nonton ceramah Khalifah atau pak Mubaligh aja di kamar asrama . Sama aja kok dapet ilmu agama.” Tapi saya sadar pikiran itu salah. Menonton program Jemaat di Youtube di kamar asrama itu jalan pintas dan tidak memerlukan pengorbanan harus menghabiskan waktu satu jam perjalanan pergi, dua jam acara di mesjid, dan satu jam perjalanan pulang. Saya sadar jika saya hanya mengandalkan ‘jalan pintas’ untuk belajar agama, untuk mendapatkan pencerahan hati, saya akan kehilangan jati diri saya sebagai Muslim.
Saya bisa saja menempuh ‘jalan pintas’ dengan hanya menjadi orang Islam hanya namanya saja. Tidak usah pergi ke mesjid, tidak usah pakai jilbab. Yang penting jadi orang baik. Toh, agama kan urusan seseorang dengan Tuhan-nya. Tapi saya sadar, jika menempuh ‘jalan pintas’ ini, saya akan tersesat. Mempertahankan jati diri sebagai Ahmadi Muslim di tempat yang jauh dari orang tua dan tempat yang bukan lingkungan Islam itu sulit. Saya suka mengibaratkan jalan menuju surga itu dibuat oleh Allah di langit. Saya suka berimajinasi surga itu ada di langit. Lalu ada tali panjang sekali dari dasar bumi menuju langit itu. Lalu ada tangga-tangga di tali itu untuk mencapai jalan surgawi itu. Mungkin imajinasi saya ini kurang tepat. Tapi Islam mengajarkan saya bahwa untuk menuju surga itu tidak pakai jalan pintas, tapi jalan lurus—Ihdinash shiraathaal mustaqiim yang artinya tunjukilah kami jalan yang lurus. Ya, pada fitratnya jiwa manusia membutuhkan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk membimbing kita semua di jalan yang lurus menuju surga bukan jalan pintas.
Jalan lurus ini bisa ditemui dalam Ahmadiyah. Ahmadiyah mendidik anak-anak dari sejak dini tentang tujuan penciptaan manusia sesuai dengan ajaran Al-Quran yakni beribadah kepada Allah dengan memenuhi hak kepada Allah dan memenuhi hak kepada sesama manusia. Inilah jalan surga menurut Ahmadiyah.
Memenuhi hak kepada sesama manusia bisa dilakukan dengan berbuat baik dan tidak menciptakan keonaran. Badan-badan organisasi Ahmadiyah seperti Nasirat, Lajna,Atfal, Khuddam dan Anshar senantiasa mendidik para anggotanya untuk melakukan kebaikan seperti belajar tafsir Qur’an, mengikuti bakti sosial atau menulis dengan tujuan menyebarkan ajaran damai Islam. Kemudian setiap Jum’at anggota Ahmadiyah yang tersebar di lebih dari 220 negara, yang ada di desa maupun di kota, menyimak Khutbah Jum’ah dari sang Khalifah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (atba) yang selalu mengajarkan agar manusia berbuat kebaikan dan berupaya memperbaiki diri.
Jadi semua ajaran Islam dan bimbingan Khalifah Ahmadiyah seperti contohnya datang ke kegiatan di mesjid dengan mengorbankan waktu, mendengarkan Khutbah Jum’at dari Khalifah itu layaknya benang-benang yang merajut tali Allah. Tali yang lurus dan kokoh membentang dari dasar bumi menuju langit surga. Seperti yang Allah Ar-Rahman telah firmankan dalam surat Ali Imran ayat 103 yang artinya: “Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah dan janganlah tercerai-berai…”Allah Maha Mengetahui bahwa manusia lemah dan oleh karena itu berpegang teguhlah pada tali Allah tersebut sehingga manusia bisa menyadari siapa jati diri dia sebenarnya, mengapa ia diciptakan dan mengerti jalan apa yang harus ditempuh untuk menuju surga.
Dan kabar baiknya, seorang mukmin sejati dapat mewarisi surga jika memiliki sifat-sifat yang dijelaskan secara indah oleh Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra). Beliau (ra) mengibaratkan sifat seorang Muslim sejati seperti sebuah mangga yang harum, manis, indah dan menyenangkan hati (delightful). Hazrat Muslih Ma’ud (ra) bersabda mereka yang mengaku percaya pada Kalimat Tayyiba, mereka yang mengucapkan dua kalimat syahadat “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah” harus merenungkan apakah mereka memiliki keempat sifat ini. Arti pertama dari Tayyiba itu indah. Pertimbangkan apakah pengabdianmu pada iman itu indah. Anda secara lisan mengklaim bahwa anda adalah seorang Ahmadi, tetapi apakah penampilan luar anda mencerminkan seorang Ahmadi? Tidak peduli seberapa unggul kualitas mangga itu, jika buahnya terlihat rusak dari luar tidak ada yang akan membelinya. Makna kedua dari Kalima Tayyiba adalah wangi. Semakin baik kualitas buah mangganya, maka aromanya pun akan semakin harum. Jadi, Allah memerintahkan kita bahwa karena anda telah beriman, maka keyakinan anda harus menebarkan keharuman. Tetangga anda harus bisa menghirup wangi perbuatan baik anda hanya dengan menatap anda. Kemudian, barulah mereka akan mengakui bahwa agama Islam ini agung.
Arti ketiga dari Tayyiba adalah menjadi seseorang yang menyenangkan (delightful). Buah mangga yang berkualitas premium rasanya nikmat, manis dan dapat menyenangkan hati seseorang yang memakannya. Sifat menyenangkan hati (delightful) ini diperlukan dalam diri seorang mukmin. Janganlah menjadi seseorang yang melakukan ibadah shalat dan berpuasa, namun masih membicarakan orang lain dari waktu fajar sampai senja, menjelaskan tentang siapa melakukan apa. Arti keempat dari Tayyiba adalah ‘manis’. Ada orang yang memberi ceramah atau nasihat dengan cara yang sangat fasih dan terpelajar, perkataannya menyenangkan, tetapi dia tidak selalu menginspirasi. Namun ada orang yang berbicaranya tidak hanya fasih, tetapi kata-katanya menggerakkan hati dan meningkatkan ketakwaan yang mendengarnya. Tutur katanya dianggap manis karena dapat merubah hati. Indah, wangi, menyenangkan hati dan manis adalah empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang beriman. Jika anda menjadi seperti ini, anda akan mewarisi surga. Apakah surga itu? Pohon-pohon surga adalah orang-orang beriman dan aliran sungai jernih dibawah surga itu adalah perbuatan baik mereka.[2]
Pada akhirnya, empat makna dari Kalimat Tayyiba (kalimat syahadat) yang dijelaskan oleh Hazrat Muslih Ma’ud (ra) adalah jalan lurus menuju surga di dunia bukan dengan membunuh diri sendiri dengan bom, bukan dengan mengkafir-kafirkan orang yang memiliki kepercayaan berbeda. Untuk bisa memiliki empat sifat tersebut seorang mukmin harus berpegang erat pada tali Allah, sebuah tali keimanan yang Allah turunkan melalui Rasulullah (saw) dan ketika Nabi Muhammad (saw) wafat, talinya tidak pernah putus. Namun Allah Ta’ala meneruskan tali menuju surga itu melalui Sang Imam Akhir Zaman – Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dan para Khalifahnya.
Penulis: Khalida Jamilah
Sumber:
[2] Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra) . Orhni Waliyon ke liye Phool (Bunga untuk Wanita Berkerudung) hal. 263-264. lajnausa.net