Baca bagian sebelumnya : Gelar Lain Yesus (as) selain “Anak Tuhan” | RajaPena.Org
Al-Qur’an dan literatur Islam lainnya memberi kita dasar untuk memahami berbagai gelar dan kata-kata Yesus (as) dalam kerangka monoteistik. Al-Qur’an menyatakan bahwa Yesus (as) menyebut dirinya sendiri sebagai Abd-ullah (عبد اللہ), yang berarti seorang hamba Tuhan: قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا “Dia (Isa) berkata, ‘Saya adalah hamba Allah. Dia telah memberi saya Kitab itu, dan menjadikan saya seorang Nabi.’” [19:31]
Di tempat lain dinyatakan, وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۚ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ “Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Pemurah telah mengambil seorang putra.’ Tidak, mereka hanya hamba-hamba yang dihormati. [21:27]
Semua nabi, bahkan seluruh umat manusia, disebut sebagai hamba-hamba Tuhan (5: 119). Ini menyoroti superioritas Tuhan atas ciptaan-Nya. Semua yang lain adalah hamba-Nya dan bagian dari ciptaan-Nya, sedangkan Dia adalah satu-satunya yang Ilahi. Sejalan dengan prinsip umum ini, Al-Qur’an tidak menyebut Yesus (as) yang menyatakan bahwa dia adalah ‘anak Tuhan’, atau orang lain yang menyebut dia seperti itu. Oleh karena itu, Alquran sangat mendukung klaim bahwa Yesus (as) memenuhi nubuatan Perjanjian Lama tentang kedatangan Mesias yang akan menjadi hamba Tuhan, dan mendukung gagasan bahwa dia tidak menggunakan istilah ‘anak Tuhan’ untuk dirinya sendiri.
Selain gelar hamba, Al-Qur’an juga memberinya gelar lain, seperti Ruh-ullah (roh Tuhan) dan Kalimatullah (firman Tuhan). Al-Qur’an menyebutkan banyak gelar yang diberikan kepada Nabi yang berbeda selama berabad-abad. Nabi Muhammad (saw) misalnya, dianugerahi banyak gelar, seperti Khatam-un-Nabiyyin (Kepala Para Nabi), Muhammad (yang terpuji), Ahmad (yang memuji), Nur (cahaya), dan lain-lain.
Tidak peduli gelar yang diberikan kepada para Nabi Tuhan, gelar-gelar itu tidak pernah ditafsirkan dengan cara yang bertentangan dengan konsep Tauhid, atau kesatuan Tuhan.
Islam – Arti ‘Anak Tuhan’
Meskipun Al-Qur’an tidak menyebut Yesus (as) sebagai anak Tuhan, namun tidak menyangkal bahwa istilah tersebut secara sah dapat digunakan secara metaforis untuk hamba-hamba Allah. Dalam satu ayat, Alquran menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap sebagai anak-anak Tuhan tidak harus dipahami sebagai yang ilahi – mereka hanyalah hamba-hamba-Nya yang terhormat, وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۚ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ “Mereka mengatakan, ‘Tuhan yang Pemurah telah mengambil seorang putra.’ Maha sucilah Dia. Tidak, mereka hanya para hamba yang dihormati.” [21:27]
Di tempat lain, ini memberitahu umat Islam untuk mengingat Allah seperti yang mereka lakukan pada ayah mereka, atau bahkan lebih, فَاذۡکُرُوا اللّٰہَ کَذِکۡرِکُمۡ اٰبَآءَکُمۡ اَوۡ اَشَدَّ ذِکۡرًا “…rayakan puji-pujian terhadap Allah seperti kalian merayakan pujian terhadap ayah kalian, atau bahkan lebih dari itu… [ 2: 201]
Nabi (saw) pernah menyebut ciptaan Tuhan sebagai anak-anak Tuhan, dalam arti bahwa Tuhan merawat mereka seperti orang tua terhadap anak mereka: Hadhrat Anas (ra) menceritakan bahwa Rasulullah (saw) menyatakan, “Ciptaan Allah adalah keluarga-Nya, dan yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang paling berguna bagi keluarga-Nya.”[1]
Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadits tidak langsung menolak penggunaan istilah ‘anak Tuhan’ dengan cara metaforis dan monoteistik. Ini tidak umum digunakan, dibandingkan dengan istilah lain, seperti hamba dan budak (عبد abd), mungkin karena kesalahpahaman yang dapat timbul dari penggunaan kata ini bila secara umum digunakan.
Al-Masih yang dijanjikan, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) menjelaskan di satu tempat penggunaan metafora monoteistik pada istilah ‘anak’ atau ‘anak-anak’ Tuhan: “… mereka yang kehilangan dirinya di dalam Tuhan disebut anak-anak Tuhan. Namun, ini tidak berarti mereka secara harfiah adalah anak-anak Tuhan. Akan menjadi penghujatan belaka untuk mengatakannya; karena, Tuhan itu Kudus dan tidak memiliki anak laki-laki. Tetapi mereka telah disebut ‘anak-anak Tuhan’ hanya sebagai kiasan karena, seperti anak yang tidak bersalah, mereka terus mengingat Tuhan dengan penuh semangat. Menunjukkan tingkatan spiritual yang sama, Al-Qur’an mengatakan: Artinya, فَاذۡکُرُوا اللّٰہَ کَذِکۡرِکُمۡ اٰبَآءَکُمۡ اَوۡ اَشَدَّ ذِکۡرًا ‘Ingatlah Tuhan dengan cinta dan kasih sayang yang tulus seperti seorang anak mengingat ayahnya.’
Inilah mengapa Tuhan disebut sebagai Ab atau Pita [artinya ‘Bapa’] dalam kitab suci setiap orang. Secara kiasan, Tuhan memiliki kemiripan dengan seorang ibu juga dan seperti seorang ibu yang membesarkan anaknya di dalam rahim, begitu pula para kekasih Tuhan dipelihara dalam pangkuan kasih Tuhan. Mereka diberikan tubuh suci dari asal yang kotor. Inilah mengapa para auliya’ (sahabat Allah) disebut’ anak-anak Tuhan ‘oleh para mistikus (Sufi). Itu hanya kiasan. Jika tidak demikian, Tuhan tidak memiliki anak, dan Tuhan adalah, لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ‘Dia tidak beranak dan Dia tidak diperanakkan.’”[2]
Di tempat lain, Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan proses spiritual yang dengannya seseorang menjadi bagian dari ‘keturunan’ Tuhan melalui Roh Kudus, “Jika Anda bertanya apa sebenarnya kemiripan kualitas dan kekuatan ruhani kami berdua — Mesias putra Maryam dan diri saya yang bersahaja ini — , jawabannya adalah itu kualitas keseluruhan yang dengannya kepekaan spiritual kami berdua telah diberkahi. Di satu ujung, rantai membentang jauh di bawah, dan di ujung lainnya, mencapai tinggi di atas. Turunnya menandakan kesedihan dan kepedulian yang luar biasa terhadap kebaikan makhluk Tuhan. Ini memperkuat ikatan yang sudah dekat dan kuat yang ada antara Utusan Tuhan dan murid-muridnya yang setia dan mentransmisikan vitalitas spiritual (kesegaran ruhani) yang melekat pada pribadi suci utusan Tuhan ke semua cabang yang hijau dan bersemangat.
Perjalanan ke atas melambangkan cinta yang unggul, yang berakar pada iman yang kuat. Tuhan menghendaki bahwa cinta kasih pada awalnya bertunas di hati penyembah Tuhan dan kemudian menarik cinta Yang Mahakuasa Sendiri. Ketika dua cinta bertemu — masing-masing berfungsi sebagaimana pasangan pria dan wanita — mereka melahirkan persekutuan yang kuat dan kedekatan yang kuat antara Sang Pencipta dan ciptaan.
Api cinta Ilahi yang berkobar membakar kayu bakar cinta manusia yang mudah terbakar, melahirkan fenomena ketiga yang dikenal sebagai Ruhul Qudus. Kelahiran spiritual manusia pada tingkat ini dianggap terjadi ketika Tuhan Yang Maha Kuasa secara khusus menghendaki lahirnya cinta tersebut. Berbicara secara kiasan, tidak salah untuk mengatakan bahwa roh ini, yang dipenuhi dengan kasih Tuhan, memberikan kelahiran baru bagi jiwa manusia yang, melalui kehendak Tuhan, sekarang dipenuhi dengan kasih-Nya. Itulah mengapa roh yang sarat cinta ini, sekali lagi secara kiasan, seperti keturunan dari roh Ilahi, pencipta cinta ini. Karena Ruhul Qudus lahir dalam hati manusia sebagai hasil dari penyatuan dua jiwa, kami dapat mengatakan bahwa itu seperti seorang putra bagi keduanya.
Ini memang trinitas (tritunggal) suci yang merupakan pendamping yang diperlukan bagi cinta pada tingkat ini dan yang telah disalahartikan dengan ketidaksucian hati secara politeistik (musyrik). Mereka telah berupaya untuk menyamakan partikel yang sangat kecil dari semata-mata kemungkinan belaka yang begitu meniadakan diri sendiri dan tidak nyata, dengan Tuhan Yang Maha Esa.”[3]
Artinya, begitu seseorang menerima Roh Kudus, ia dapat disebut sebagai ‘anak Tuhan’.
Dalam satu ayat Alquran, Allah menyatakan bahwa orang Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan, tetapi menolak penerapan istilah tersebut dalam kasus mereka, dengan menyatakan bahwa mereka berada di bawah hukuman-Nya: Orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen mengatakan bahwa kami adalah anak-anak Allah dan orang-orang yang dicintai-Nya. Katakan, ‘Lalu mengapa Dia menghukum Anda karena dosa-dosa kallian? Bahkan, kamu hanyalah manusia dari antara mereka yang diciptakan-Nya.’ Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menghukum siapa yang Dia kehendaki. Dan milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, dan kepada-Nya akan kembali. [5:19]
Di sini Al-Qur’an tidak menyatakan bahwa klaim mereka sebagai ‘anak-anak Tuhan’ secara inheren menghujat, tetapi hanya menolak istilah tersebut dapat diterapkan pada mereka. Allah menyatakan bahwa jika mereka benar-benar anak-anak Tuhan, maka mereka tidak akan menderita di bawah hukuman-Nya. Dalam hal ini, istilah tersebut telah digunakan secara simbolis untuk menunjukkan mereka yang melakukan kehendak Allah dan dengan demikian dalam arti tertentu menjadi anak-anak angkat-Nya dan tercinta-Nya, setelah menikmati berkah-Nya. Mereka yang berada di bawah hukuman Allah sama sekali tidak bisa disebut sebagai anak-anak-Nya.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan: “Allah telah menyebutkan dalam Alquran sebuah perkataan orang Yahudi, dan perkataan itu adalah ‘kami adalah anak-anak Allah dan para kekasih-Nya’. Di tempat ini, Allah tidak menolak istilah ‘anak’ dengan menyatakannya sebagai hujatan, melainkan Dia menyatakan, ‘Jika kalian adalah para kekasih Tuhan, lantas mengapa Dia menghukum kalian?’ Setelah itu, Dia sama sekali tidak lagi menyebut ‘anak-anak’. Dari sini, dapat dipahami bahwa di dalam kitab-kitab orang Yahudi, orang-orang yang dicintai Allah disebut juga anak-anak-Nya.”[4]
Baca bagian selanjutnya : Bagaimana Yesus Menjadi Putra Ilahi Allah? Plot (Rancangan) kaum Yahudi Melawan Yesus (as) | RajaPena.Org
[1] (مسند أبي يعلى، مسند انس بن مالک،ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسٍ، حدیث ۳۳۱۵) Masnad Abi Ya’la, Masnad of Anas bin Malik, Thabit Al-Bunani from Anas, Hadith 3315: عَنْ أَنَسٍ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْخَلْقُ عِيَالُ اللَّهِ، فَأَحَبُّهُمْ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِعِيَالِهِ» .
[2] (روحانی خزائن، جلد ۲۲، حقیقة الوحی، صفحہ ۵۸۲) Haqiqatul Wahi (The Truth of Revelation), pg. 582. Ruhani Khazain (Spiritual Treasures), vol. 22, Eng. Trans. Pg. 729: خدا میں فانی ہونے والے اطفال اللہ کہلاتے ہیں لیکن یہ نہیں کہ وہ خدا کے درحقیقت بیٹے ہیں کیونکہ یہ تو کلمۂ کفر ہے اور خدا بیٹوں سے پاک ہے بلکہ اس لئے استعارہ کے رنگ میں وہ خدا کے بیٹے کہلاتے ہیں کہ وہ بچہ کی طرح دلی جوش سے خدا کو یاد کرتے رہتے ہیں۔ اِسی مرتبہ کی طرف قرآن شریف میں اشارہ کرکے فرمایا گیا ہے فَاذۡکُرُوا اللّٰہَ کَذِکۡرِکُمۡ اٰبَآءَکُمۡ اَوۡ اَشَدَّ ذِکۡرًایعنی خدا کو ایسی محبت اور دلی جوش سے یاد کرو جیسا کہ بچہ اپنے باپ کو یاد کرتا ہے۔ اِسی بنا پر ہر ایک قوم کی کتابوں میں اَب یا پِتَا کے نام سے خدا کو پکارا گیا ہے۔ اور خدا تعالیٰ کو استعارہ کے رنگ میں ماں سے بھی ایک مشابہت ہے اور وہ یہ کہ جیسے ماں اپنے پیٹ میں اپنے بچہ کی پرورش کرتی ہے ایسا ہی خدا تعالیٰ کے پیارے بندے خدا کی محبت کی گود میں پرورش پاتے ہیں اور ایک گندی فطرت سے ایک پاک جسم اُنہیں ملتاہے۔ سو اولیاء کو جو صوفی اطفال حق کہتے ہیں یہ صرف ایک استعارہ ہے ورنہ خدا اطفال سے پاک اور لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ہے۔ .
[3] Taudih-e-Maram (Elucidation of Objectives), halaman 62-63, Ruhani Khazain (Spiritual Treasures), vol. 3, Eng. Trans. pg. 18-20: اگریہ استفسار ہو کہ جس خاصیت اور قوت روحانی میں یہ عاجز اور مسیح بن مریم مشابہت رکھتے ہیں وہ کیا شے ہے تو اس کا جواب یہ ہے کہ وہ ایک مجموعی خاصیت ہے جو ہم دونوں کے روحانی قویٰ میں ایک خاص طور پر رکھی گئی ہے جس کے سلسلہ کی ایک طرف نیچے کو اور ایک طرف اوپر کو جاتی ہے۔ نیچے کی طرف سے مراد وہ اعلیٰ درجہ کی دل سوزی اور غم خواری خلق اللہ ہے جو داعی الی اللہ اور اس کے مستعد شاگردوں میں ایک نہایت مضبوط تعلق اور جوڑ بخش کر نورانی قوّت کو جو داعی الی اللہ کے نفس پاک میں موجود ہے ان تمام سرسبز شاخوں میں پھیلاتی ہے۔ اوپر کی طرف سے مراد وہ اعلی درجہ کی محبت قوی ایمان سے ملی ہوئی ہے جو اوّل بندہ کے دل میں بارادہ الٰہی پیدا ہو کرربِّ قَدِیر کی محبت کو اپنی طرف کھینچتی ہے اور پھر اُن دونوں محبتوں کے ملنے سے جو درحقیقت نر اور مادہ کا حکم رکھتی ہیں ایک مستحکم رشتہ اور ایک شدید مواصلت خالق اور مخلوق میں پیدا ہو کر الٰہی محبت کی چمکنے والی آگ سے جو مخلوق کی ہیزم مثال محبت کو پکڑ لیتی ہے۔ ایک تیسری چیز پیدا ہو جاتی ہے جس کا نام روح القُدس ہے سو اس درجہ کے انسان کی روحانی پیدائش اس وقت سے سمجھی جاتی ہے جب کہ خدائے تعالٰے اپنے ارادہ خاص سے اس میں اس طور کی محبت پیدا کردیتا ہے اور اس مقام اور اس مرتبہ کی محبت میں بطور استعارہ یہ کہنا بے جا نہیں ہے کہ خدا ئے تعالیٰ کی محبت سے بھری ہوئی روح اس انسانی روح کو جو باارادہ الٰہی اب محبت سے بھر گئی ہے ایک نیا تولد بخشتی ہے۔ اسی وجہ سے اس محبت کی بھری ہوئی روح کو خدائے تعالیٰ کی روح سے جو نافخ المحبت ہے استعارہ کے طور پر ابنیت کا علاقہ ہوتا ہے اور چونکہ روح القدس ان دونوں کے ملنے سے انسان کے دل میں پیدا ہوتی ہے اس لئے کہہ سکتے ہیں کہ وہ ان دونوں کے لئے بطور ابن ہے اور یہی پاک تثلیث ہے جو اس درجہ محبت کے لئے ضروری ہے جس کو ناپاک طبیعتوں نے مشرکانہ طور پر سمجھ لیا ہے اور ذرّہ امکان کو جو ھالکة الذات، باطلة الحقیقت ہے حضرت اعلیٰ واجب الوجود کے ساتھ برابر ٹھہرا دیا ہے۔
(توضیح مرام، صفحہ ۶۲ تا ۶۳، روحانی خزائن، جلد ۳) .
[4] Haqiqatul Wahi (The Truth about Revelation), pg. 67, Ruhani Khazain (Spiritual Treasures) vol. 22 (حقیقة الوحی صفحہ ۶۷، روحانی خزائن جلد ۲۲): خدا تعالیٰ نے یہودیوں کا ایک قول بطور حکایت عن الیھود قرآن شریف میں ذکر فرمایا ہے اور وہ قول یہ ہے کہ نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ یعنی ہم خدا کے بیٹے اور اُس کے پیارے ہیں۔ اِس جگہ ابناء کے لفظ کا خدا تعالیٰ نے کچھ ردّ نہیں کیا کہ تم کُفر بکتے ہو بلکہ یہ فرمایا کہ اگر تم خدا کے پیارے ہو تو پھر وہ تمہیں کیوں عذاب دیتا ہے اور ابناء کا دوبارہ ذکر بھی نہیں کیا۔ اِس سے معلوم ہوا کہ یہودیوں کی کتابوں میں خدا کے پیاروں کو بیٹاؔ کرکے بھی پکارتے تھے۔ .