Sebuah Fragmen Terpinggirkan dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

135
Sekelompok pemuda Ahmadiyah dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) bersama Hazrat Khalifatul Masih IIra, Qadian
Sekelompok pemuda Ahmadiyah dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) bersama Hazrat Khalifatul Masih IIra, Qadian

“Dia akan menjadi pembebas para tahanan.” 

(Ilham tentang Muslih Mau’ud)

Salah satu keagungan Putra yang dijanjikan, yakni Muslih Mau’ud berdasarkan nubuatan yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas adalah bahwa “dia akan menjadi pembebas para tahanan (terjajah)”. Sungguh merupakan ihsan Allah Ta’ala yang khas bagi Indonesia yang mendapat perhatian khusus dari sosok Muslih Mau’ud tersebut sebagaimana dilansir laman resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Kiprah Ahmadiyah Dalam Perjuangan Kemerdekaan R.I. bahwa pada akhir tahun 1946 tersiarlah sebuah pernyataan dari Imam Jemaat Ahmadiyah yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah ini diberitakan berbagai surat kabar, diantaranya “Kedaoelatan Rakjat” edisi Selasa Legi, tanggal 10 Desember 1947 dengan judul “Memperhebat Penerangan Tentang Repoeblik, Gerakan Ahmadiyah Toeroet Membantoe” yang darinya kita membaca: 

“Betapa besarnya perhatian gerakan Ahmadiyah tentang perdjoeangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahoei dari soerat-soerat kabar harian dan risalah-risalah dalam bahsa Oerdoe jang baroe-baroe ini diterima dari India. Dalam soerat-soerat kabar terseboet, didjoempai banyak sekali berita-berita dan karangan-karangan jang membentangkan sedjarah perdjoeangan kita….

Selain itoe tercantoem djoega beberapa pidato jang pandjang lebar, mengenai “seroean dan andjoeran kepada pemimpin-pemimpin negara Islam, soepaja mereka dengan serentak menyatakan sikapnya masing-masing oentoek mengakoei berdirinya pemerintahan Repoeblik Indonesia. Hal jang mengharoekan ialah soeatoe perintah oemoem dari Mirza Bashiroeddin Mahmoed Ahmad, pemimpin gerakan Ahmadiyah kepada pengikoet-pengikoetnya di seloeroeh doenia jang djoemlahnya 82 djoeta orang soepaya mereka selama boelan September dan Oktober jang baroe laloe ini, tiap-tiap hari Senin dan Kemis berpoeasa dan memohonkan do’a kepada Allah SWT goena menolong bangsa Indonesia dalam perdjoangannya, memberi semangat hidoep oentoek tetap bersatoe padoe dalam cita-citanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnya goena memadjoekan negaranya menempatkan roe’b (ketakoetan) di dalam hati moesoehnya serta tercapainya sekalian tjita-tjita bangsa Indonesia.” 

Hadhrat Muslih Mau’udra memandang kemerdekaan Indonesia akan berfaedah besar bagi dunia Islam. Untuk itulah mengapa beliau mendorong negara-negara Islam untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Seluruh utusan Ahmadiyah yang bertugas di India, Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Asia, Amerika Selatan dll, diperintahkan untuk mendengungkan kemerdekaan Indonesia serta menulis di surat kabar dan majalah yang berhubungan dengan perjuangan kemerdekaannya.

Semua peristiwa di atas boleh jadi tidak ternarasikan dalam arus utama penyejarahan Indonesia, namun sejarah seringkali memiliki jalanya sendiri untuk terbuka bila saatnya tiba.    

Tahun 2017 sejaring halus benang informasi ditebar Ariel Heryanto. Profesor untuk Studi Indonesia di Universitas Monash, Australia sekaligus wakil direktur Institut Asia Monash ini melalui kanal Jakartanicus memberikan paparan dengan tajuk Historiografi Indonesia yang Rasis. Ia menyinggung sebuah film dokumenter besutan Joris Ivens berjudul Indonesia Calling (1946). Satu tahun sebelumnya dalam artikelnya “Solidaritas Tersisih untuk Indonesia”, Ariel Heryanto (2016) menyebutkan bahwa Indonesia Calling berkisah tentang enam bulan awal dari empat tahun pemogokan oleh buruh kapal dan pelabuhan di Australia. Akibatnya, lebih dari 550 kapal terbengkalai. Sebagian kapal itu disiapkan mengangkut pegawai kolonial Hindia Belanda, serdadu dan persenjataan ke Indonesia. Belanda tentu saja ingin menguasai kembali Indonesia setelah ditinggalkan Jepang yang kalah Perang Dunia II.  Menurutnya, film ini dianggap film buruh lintas-bangsa pertama untuk solidaritas dekolonisasi di Dunia Ketiga.

Namun, gong-nya belumlah tiba. Kata-kata berikut inilah yang dimaksud:

“…Para pemeran pendukung terdiri dari anggota serikat buruh yang tidak dibayar. Sejumlah ongkos produksi lain didapat sebagai sumbangan dari serikat buruh Cina di Australia yang sudah anti-kolonial sejak Tiongkok dijajah Jepang.

Sumbangan terbesar datang dari buruh India yang bekerja untuk kapal-kapal Belanda di Australia. Mereka mengorbankan sumber nafkah dan keluarga di kampung halaman, dengan melakukan pemogokan besar-besaran di pelabuhan Australia. Semua ini demi solidaritas untuk perjuangan kemerdekaan sesama bangsa terjajah (Heryanto, 2016).”

Paragraf terakhir pada kutipan di atas secara serendipitas menambahkan impact dari kampanye dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia oleh Hadhrat Muslih Mau’udra khususnya kepada bangsa beliau sendiri yang berbahasa Urdu, Hindi dan Inggris.

Harian Al Fazl, 27 Agustus 1946, halaman 3, mengabadikan motif perhatian khusus Hadhrat Muslih Mau’udra terhadap Indonesia: 

“Kami tidak tertarik pada masalah politik, sebaliknya kami lebih tertarik pada dakwah. Tetapi kami akan mengerahkan segala upaya yang mungkin dilakukan setiap kali menyangkut masa depan Islam […] dan sesuai dengan kebutuhan, kami akan terus memperluas upaya kami. […] Jika alasan di balik simpati khusus kita kepada [dunia] Arab adalah karena kita telah mempelajari Islam dari orang-orang Arab, maka alasan di balik simpati khusus kita kepada orang-orang Indonesia adalah karena setelah India, wilayah ini berada di barisan terdepan dalam menerima Ahmadiyah. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengerahkan segala upaya yang mungkin untuk kemerdekaan negara ini.”Di penghujung tulisan, sebuah perkataan Hadhrat Muslih Mau’udra tentang keistimewaan Indonesia kembali membayang dalam ingatan. Dari Mln. Raden Ahmad Anwar dalam sebuah obrolan pada tahun 1995-an, konon Sang Putra yang Dijanjikan tersebut pernah berujar bahwa Indonesia adalah tanah air kedua bagi Ahmadiyah. Begitu kuatnya dampak kata-kata tersebut dalam pikiran hingga untuk mengkonfirmasi rujukan primernya menjadi sesuatu yang tak terpikirkan saat itu. Hanya saja, bagaimanapun juga, apa yang telah Sang Pembebas lalukan untuk Indonesia telah mengukuhkan apa yang dikatakannya. 


Oleh : Dodi Kurniawan