Penghormatan Terhadap Kiblat

1934

Bagi kami yaitu orang Islam kata Kiblat bukanlah suatu hal yang asing lagi, melainkan sesuatu yang sudah diketahui sejak kami diajarkan shalat oleh kedua orangtua kami di waktu kami masih kecil. Ketika kami mendengar kata Kiblat, yang ada di benak kami adalah sebuah tempat dimana semua orang Islam mengarahkan pandangannya ke arah itu ketika sedang shalat.

Tempat itu adalah tempat yang sangat suci dan sangat dihormati sehingga untuk menjulurkan kaki ke arahnya saja kami tidak berani. Mengapa demikian? Mari kita simak pembahasan mengenai Kiblat dan penghormatan terhadapnya.

Kata Kiblat di dalam kamus besar bahasa Arab Al-Munawir berarti pusat pandangan atau hadapan. Dan di dalam ibadah agama Islam yaitu ketika kami melaksanakan shalat pandangan atau hadapan kami mengarah ke arah Kiblat. Kiblatnya orang Islam adalah Ka’bah yang terletak di kota Mekkah Mukaramah. Yang disebut BaituLlah yaitu rumah Allah adalah bangunan yang terbuat dari batu yang selalu ditutupi dengan kain penutup berwarna hitam yang terbuat dari sutra. Kira-kira panjangnya sekitar 44 kaki (13,1 M), lebar 33 kaki (10 M) dan tinggi 45 kaki (13,4 M). tinggi pintunya 7 kaki (2 M) dari tanah. Masjid-masjid di seluruh dunia mengarah ke arah Ka’bah. BaituLlah tidak berarti bahwa, naudzubiLlah, bahwa Allah Ta’ala tinggal di dalamnya. Maksud dari mengatakan bangunan suci itu disebut BaituLlah adalah bahwa semenjak munculnya agama di dunia. Ini merupakan bangunan pertama yang dibangun murni hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala (QS. Ali Imran 3: 97) :

“Sesungguhnya rumah yang pertama didirikan untuk faedah manusia adalah yang di Bakkah (Mekkah) yang penuh dengan berkat dan petunjuk bagi seluruh alam.”

Sebelum masa Ibrahim as, bangunan ini telah hancur dan penduduknya pun telah punah. Setelah mendapat perintah dari Allah Ta’ala beliau pun membangun kembali bangunan ini bersama dengan putra sulung beliau yakni Hadhrat Ismail as. Dan dengan karunia Allah Ta’ala bangunan ini masih berdiri sampai saat ini.

Semejak Hadhrat Rasulullah saw tinggal di Mekkah beliau saw mengerjakan shalat ke arah bangunan ini. Lalu setelah hijrah ke Madinah beliau menghadap ke arah Baitul Maqdis (Palestina). Setelah itu Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk menghadap ke Ka’bah selama-lamanya (QS. Al-Baqarah 2:145) :

“Sesungguhnya Kami sering melihat wajah engkau menengadah ke langit, karena itu kami akan memalingkan engkau ke arah Kiblat yang engkau suka, maka palingkanlah wajah engkau ke Masjidilharam, dan di manapun kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sungguh orang-orang yang telah diberi kitab, mereka mengetahui bahwa ini kebenaran dari Tuhan mereka, dan Allah tidak lengah dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Setelah kita mengetahui apa itu Kiblat (Ka’bah) dan bagaimana sejarahnya, maka penulis akan kemukakan inti dari pembahasan artikel ini. Yaitu tentang penghormatan terhadap Kiblat. Timbul pertanyaan, bahwa mengapa kita harus sedemikian rupa menghormati Kiblat (Ka’bah)?. Berkenaan dengan hal ini Hadhrat Masih Mau’ud as pernah menjawab sebuah pertanyaan dari seseorang.

“Seseorang bertanya: “jika tidur dengan menjulurkan kaki ke arah Kiblat, apakah dibenarkan atau tidak?” Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tidak dibenarkan sebab bertentangan dengan rasa hormat.”  Si penanya mengatakan: “hal itu tidak ada larangannya di dalam  hadits.” Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “itu bukan suatu dalil. Jika seseorang karena melihat bahwa di dalam hadits tidak ada diuraikan, lalu dia berdiri menginjak-injak Quran Syarif di bawah telapak kakinya, apakah itu dibenarkan atau tidak? Sama sekali tidak.”

(Malfuzat, add. Nazir Isyaat, London, 1984, jilid 7 hal. 101/MI 23.12.99)

Dari sabda beliau as kita dapat mengetahui bahwa, meskipun penghormatan terhadap Kiblat atau pun larangan menjulurkan kaki ke arahnya tidak terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadits, akan tetapi di balik itu semua adalah berkaitan dengan rasa hormat. Karena sesuai dengan penjelasan mengenai Kiblat di awal, bahwa Kiblat adalah tempat yang sangat suci dan sangat dijujung tinggi oleh umat Islam, bahkan oleh umat sebelum Islam.

Jadi setelah mengetahui akan hal ini, masihkah kita berani untuk tidur menjulurkan kaki ke arah Kiblat?

Sumber:

  1. Fikih Ahmadiyah, Bab Shalat dalam Islam.
  2. Al-Fazl 24 April 1966.
  3. Malfuzat.

image : unsplash.com


Kontributor : Muhammad Dahlan