23 Maret 1889 dan 23 Maret 1868 adalah dua tanggal bersejarah bagi saya. Pada tanggal 23 Maret 1889, pendiri Jemaat Ahmadiyah dan juga Sang Imam Mahdi yang dijanjikan, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) mengadakan baiat pertama dan Jemaat Ahmadiyah dimulai sejak saat itu. Oleh karena itu segenap pengikut Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi) di seluruh dunia merayakan hari bersejarah ini dengan cara memaknai tujuan kedatangan Hazrat Ahmad (as). Hari bersejarah ini biasa disebut Hari Hazrat Masih Ma’ud (as). Dua puluh satu sebelum berdirinya Jemaat Ahmadiyah ,salah satu universitas tertua dan terbaik di California (UC Berkeley) didirikan.
Lalu apa hubungannya Hari Hazrat Masih Ma’ud (as) dengan 153 tahun berdirinya UC Berkeley? Sebagai seorang Ahmadi dan Alumnus UC Berkeley, keduanya membentuk jati diri saya. Sebagai seorang Ahmadi, Allah telah menjanjikan bahwa orang Muslim adalah khaira ummah (umat terbaik). Jadi, jika seorang Ahmadi akan menjadi yang terbaik apabila benar-benar mengikuti setiap ajaran Islam.
Menduduki peringkat ke-enam di dunia, UC Berkeley menghasilkan lulusan-lulusan yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan dunia. Lulusan UC Berkeley dikenal bersifat kritis dan memberikan terobosan baru. Beberapa alumnus UC Berkeley adalah pendiri Apple–Steve Wozniak ; 31 pemenang Penghargaan Nobel dan yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia adalah sekelompok ahli ekonomi dan keuangan yang menjadi arsitek perekenomian dan menjadi menteri-menteri di era Presiden Suharto. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, Subroto dan Ali Wardhana.
Menurut saya tujuan pendidikan itu sama dengan tujuan kedatangan Imam Mahdi di akhir jaman. Pendidikan dinilai dapat mengakhiri degradasi moral, seperti kejahatan, perampasan hak, kemiskinan, ketidak-setaraaan, korupsi, pertikaian kekuasaan, kebencian, rasisme dan diskriminasi. Hal-hal ini adalah sedikit contoh dari kekacauan yang dunia sedang hadapi saat ini. Oleh karena itu, Allah mengutus sang Imam Mahdi agar umat manusia menyadari tujuan utama penciptaan mereka, yakni beribadah pada Sang Pencipta. Allah mengutus sang juru selamat untuk mengajarkan umat manusia yang benar dan yang salah, menyebarkan perdamaian dan memberantas berbagai macam kebajikan di dunia ini.
Mengenyam pendidikan di UC Berkeley membuat saya sadar akan jati diri sebagai Ahmadi. Dulu ketika di Indonesia, saya selalu diajak orang tua untuk menghadiri kegiatan di masjid. Orang tua saya mengajarkan akidah Islam, bagaimana seorang Ahmadi harus berperilaku. Namun tidak pernah tersirat untuk bertanya mengapa saya Ahmadi? Apakah Ahmadiyah ini sebuah kebenaran?
Menariknya, ketika kuliah saya sadar bahwa menjadi seorang wanita Muslim berjilbab di Amerika Serikat itu bagaikan sebuah bunga mawar yang berusaha sekeras mungkin untuk tumbuh di tengah gurun pasir. Terpaan Islamophobia dan prasangka buruk yang kerap terjadi kepada kaum minoritas adalah salah satu tantangan bagi Muslimah seperti saya. Dalam benak saya, sering muncul pertanyaan, apa yang harus dilakukan agar tidak dipandang sebelah mata? Apa yang harus dilakukan untuk menguatkan dan mempertahankan jati diri?
Suatu hari saya menghadiri acara “True Islam versus the Extremist” yang diselenggarakan oleh UC Berkeley Ahmadiyya Muslim Students Association (AMSA). Ketika dibuka sesi tanya jawab, seorang siswa yang mengaku dirinya adalah ateis, bertanya: bagaimana kamu tau apa yang kamu yakini itu adalah sebuah kebenaran? Pertanyaan itu masih saya ingat sampai hari ini.
Sebagai seorang Ahmadi saya tidak pernah berpikir untuk ‘mempertanyakan’ keyakinan saya. Namun pertanyaan siswa ateist itu membuka mata. Saya jadi bertanya dalam hati: mengapa saya Ahmadi? Apakah Ahmadiyah benar-benar sebuah kebenaran yang saya pilih? Apakah saya menjadi seorang Ahmadi hanya karena saya terlahir sebagai Ahmadi?
Allah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jurusan kuliah yang saya ambil adalah Peace and Conflict Studies. Disitu saya belajar mengapa terjadi konflik dan upaya apa yang harus digunakan untuk mencapai perdamaian. Nasihat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dan para Khalifah tentang perdamaian membantu proses pembelajaran saya.
Dan ada satu kelas yang saya selalu ingat. Pembahasannya mengenai kosmopolitanisme. Ideologi ini bisa diartikan bahwa seluruh umat manusia itu adalah citizen of the world, penduduk dunia yang memiliki tujuan yang sama, contohnya tujuan perdamaian. Dalam komunitas kosmopolitanisme, orang-orang dari latar belakang yang berbeda dituntut untuk saling menghargai.
Setelah selesai kelas, saya sadar Jemaat Ahmadiyah adalah pembuktian kosmopolitanisme yang hakiki karena kita bernaung di bawah Khalifah. Jemaat Ahmadiyah tersebar di lebih dari 200 negara. Anggotanya terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa dan warna kulit. Namun perbedaan ini menjadi sarana untuk menghargai satu sama lain dan seluruh anggota Ahmadiyah dimanapun berada dipersatukan oleh Khalifah.
Kemudian Allah memberikan karunia yang lain pada saya. Sebuah karunia yang menyadarkan saya akan kebenaran Ahmadiyah. Ada satu wahyu Allah yang diterima Imam Mahdi: “Aku akan sampaikan ajaran engkau ke seluruh penjuru dunia.” Yakni Allah menjamin bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Imam Mahdi akan tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Ketika saya kuliah, saya ditunjuk untuk mengadakan kuliah umum dengan topik “Jesus, Muhammad and the Modern State”. Sebagai latar belakang, di sistem pendidikan UC Berkeley, para mahasiswa dapat membuat kelas perkuliahan sendiri. Sistem kelas ini dinamakan democratic education karena kelasnya dibuat oleh mahasiswa dan ditujukan untuk para mahasiswa. Kelas “Jesus, Muhammad and the Modern State” ini dibuat oleh dua orang siswa Ahmadi beberapa tahun sebelum saya mulai kuliah. Tujuan dari kuliah ini adalah untuk mengajarkan hubungan antara Kristen, Islam dan isu-isu kontemporer dari sudut pandang Ahmadiyah.
Kuliah ini menjadi sarana menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Imam Mahdi. Yang menariknya lagi, jika dilihat dari peta California, Berkeley terletak di ujung California dan California berada di ujung Amerika Serikat. Artinya, wahyu Allah kepada Imam Mahdi yang telah disebutkan di atas terbukti lewat kelas ini. Saya pun tersadar, inilah salah satu dari sekian banyak bukti-bukti kebenaran Mirza Ghulam Ahmad (as) sebagai Imam Mahdi.
Sekarang mata saya terbuka. Saya menjadi seorang Ahmadi bukan karena pengaruh keluarga. Saya memilih Ahmadiyah karena saya menemukan kebenaran di dalamnya. Saya memilih Ahmadiyah karena Ahmadiyah memberikan jawaban dari setiap kegundahan yang ada di hati. Ahmadiyah mengajarkan saya untuk tidak terpengaruh oleh dunia sehebat apa pun itu. Dan nasihat emas inilah yang menjadi jati diri saya.
“Instead of getting influenced by the world and walk behind them you should make the world follow you.” — Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifah kelima dan Pemimpin Jemaat Ahmadiyah sedunia.
Penulis: Khalida Jamilah
Sumber :
https://www.alislam.org/friday-sermon/2011-02-04.html