Kalam Ilahi, pada hakikatnya, tiada berbatas, namun dalam hikmah-Nya yang sempurna, Allah menurunkannya hanya sebatas yang dibutuhkan oleh umat manusia demi perbaikan kerusakan dan pemenuhan segala keperluannya.
Al-Qur’an diturunkan pada masa ketika segala kebutuhan hidayah telah mencapai puncaknya. Seluruh aspek kehidupan —akhlak, keyakinan, ucapan, dan perbuatan— telah rusak, dan keburukan telah merajalela dalam segala bentuknya. Dengan rahmat-Nya, Allah mengaruniakan kitab yang paling sempurna, yang mencakup seluruh tuntunan bagi umat manusia. Tidak ada lagi kebutuhan bagi kitab lain setelahnya, sebab setelah kesempurnaan, tiada lagi tingkatan yang tersisa.
Sesuatu yang bersumber dari Dzat Yang Maha Tak Terbatas pasti mengandung sifat-sifat yang tiada berhingga. Dalam salah satu makna Surah Al-Kahf ayat 110, seluruh makhluk merupakan “kalimat-kalimat Allah”. Jika segala ciptaan-Nya memiliki sifat dan keajaiban yang tak terbatas, maka tidaklah mungkin Al-Qur’an, sebagai Kalam Suci Ilahi, hanya terbatas pada makna-makna tertentu yang tertuang dalam kitab tafsir, seberapa pun banyaknya jilid yang ditulis, atau hanya sebatas yang disampaikan oleh Hadhrat Rasulullahsaw. Imam Jalāluddīn as-Suyūṭīrh mengungkapkan bahwa setiap ayat dalam Al-Qur’an mengandung enam ribu makna. Walhasil, sebagai Kalam Ilahi yang sempurna dan abadi, Al-Qur’an menuntut penafsiran yang dinamis sesuai perkembangan zaman dan kehendak Ilahi.
Di masa ini, kehendak Ilahi telah menetapkan bahwa Islam, dengan ajaran Al-Qur’annya, akan bangkit kembali dan unggul di atas seluruh agama melalui perantaraan utusan-Nya yang dijanjikan, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmadas, Imam Mahdi dan Masih Mau’ud. Mengenai kedatangan beliau pada abad ke-13 Hijriah, Hadhrat Rasulullahsaw telah menubuatkan bahwa beliau akan menikah dan dikaruniai anak-anak. Nubuatan ini bukanlah hal biasa, melainkan isyarat akan keturunan istimewa yang akan menjadi sarana penyebarluasan hidayah Islam. Semata-mata agar keagungan junjungan kita, Hadhrat Muhammadsaw termanifestasi di seluruh dunia.
Setelah menjalani khalwat selama 40 hari di Kota Hoshiarpur sesuai petunjuk Ilahi demi kemajuan Islam, Hadhrat Masih Mau’udas menuliskan sebuah selebaran yang kemudian disebarkan pada tanggal 20 Februari 1886. Di dalamnya, beliau menyampaikan kabar gembira dari Allah mengenai kelahiran seorang putra yang akan menjadi Mushlih Mau’ud, seorang yang dijanjikan sebagai pembaharu besar dengan berbagai keistimewaan.
Nubuatan agung ini dengan cemerlang tergenapi dalam diri putra beliau, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmadra. Sejak awal, Hadhrat Masih Mau’udas telah meyakini bahwa putra beliau inilah yang akan menjadi Mushlih Mau’ud dan senantiasa mendoakannya secara khusus. Namun, Hadhrat Mushlih Mau’udra sendiri tidak langsung mendakwahkan dirinya sebagai penggenapan nubuatan tersebut hingga Allah mengabarkan kepadanya dalam sebuah ru’ya yang panjang pada tahun 1944.
Jika kita menelaah perjalanan kehidupan Hadhrat Mushlih Mau’udra, nampak jelas bagaimana nubuatan ini terpenuhi dengan cara yang luar biasa. Sejak kecil, kesehatan beliau sangat lemah, bahkan beliau meninggalkan pendidikan formal tanpa memperoleh sertifikat kelulusan. Namun, takdir Ilahi tidak bergantung pada keterbatasan duniawi. Allah berkehendak membuktikan kepada dunia bahwa tidak ada halangan, betapapun besarnya, yang dapat menghambat penggenapan janji-Nya.
Karenanya, di tengah keadaan yang tampaknya tidak mendukung, Allah menepati firman-Nya yang diberikan kepada Hudhuras. Salah satu nubuatannya berbunyi:
علومِ ظاہری و باطنی سے پُر کیا جائے گا
“Dia akan dibekali penuh dengan ilmu-ilmu duniawi dan rohani.”
Sebagai pemenuhan janji ini, Hadhrat Mushlih Mau’udra sendiri bersabda, “Dengan karunia-Nya, Allah telah mengutus para malaikat untuk mengajariku dan menetapkanku sebagai guru bagi dunia untuk mengajarkan Al-Qur’an di zaman ini, serta menyampaikan nama Muhammadsaw dan Al-Qur’an ke pelosok-pelosok dunia.”
Meskipun kesehatannya terganggu, Hadhrat Mushlih Mau’udra, setelah mengenakan jubah Khilafat, tidak pernah meninggalkan pekerjaannya. Salah satu karya monumental beliau adalah tafsir rinci terhadap Al-Qur’an yang dikenal sebagai Tafsīr-e-Kabīr. Tafsir ini merupakan yang pertama dalam jenisnya, menghadirkan penjelasan baru atas ayat-ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya kepada ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan modern. Selain itu, beliau juga menulis tafsir Al-Qur’an singkat, Tafsīr-e-Ṣagīr, yang berjumlah 1.071 halaman.
Dalam tafsirnya, beliau membahas keunikan susunan surah dan ayat dalam Al-Qur’an, hubungan antara tema-temanya, serta ketepatan penyusunan setiap kata. Beliau juga menyoroti relevansi eskatologis surah tertentu dengan masa kini dan membantah keberatan orientalis non-muslim terhadap Al-Qur’an, mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teologi, fiqh, politik, sejarah, antropologi, filsafat, geografi, sosiologi, psikologi, dan leksikografi. Hal ini menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu yang dianugerahkan Allah kepada beliau. Tafsīr-e-Kabīr terdiri dari sepuluh jilid yang mencakup tafsir terhadap 59 surah Al-Qur’an. Bahkan, Hadhrat Khalifatul Masih IIIrh menerangkan bahwa selain tafsir tersebut, beliaura telah menulis banyak buku lain tentang Al-Qur’an yang jika dikumpulkan mencapai delapan hingga sepuluh ribu halaman.
Luasnya ilmu duniawi dan rohani beliau menjadikan para pecinta Al-Qur’an, termasuk mereka yang di luar Jemaat Ahmadiyah, mengakui kehebatan pemikiran beliau. Bahkan para penentang pun tidak dapat mengingkari keunggulan beliau dalam ilmu Al-Qur’an. Di antara mereka yang memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap beliaura adalah Maulwi Zafar Ali Khan, Allamah Niyaz Fatah Puri, dan Maulwi Abdul Majid Dariya Abadi.Karya monumental Hadhrat Mushlih Mau’udra dalam penafsiran Al-Qur’an menunjukkan betapa cemerlangnya nubuatan Ilahi dalam diri sosok yang dijanjikan akan mengharumkan nama Sang Muṣṭafāsaw serta mendukung Hadhrat Masih Mau’udas dalam memenangkan Islam di atas semua agama.
Oleh : Aleem Ahmad Chusna
Referensi :
- Barāhīn Aḥmadiyyah Bagian Keempat dalam Rūḥānī Khazā’in, jld. 1, hlm. 101-102, catatan kaki no. 9
- Karāmat-us-Sādiqīn, Rūḥānī Khazā’in, jld. 7, hlm. 60-62
- Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, jilid 1
- An-Najm ats-Tsāqib, jld. 2, hlm. 209
- Misykat al-Maṣābīḥ, kitāb ar-Riqāq, bab Nuzūl ‘Īsā, hadits no. 5508, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, cet. 2003
- Risālah Sirāj Munīr bar Nisyān hae Rabbī Qadīr (Risalah Terang Benderang mengenai Tanda-tanda Tuhan Yang Maha Kuasa)
- Al-Hakam, 28 Desember 1939
- Da’wa-e-Mushlih-e-Mau‘ud dalam Anwār al-‘Ulūm, jld. 17, hlm. 161, cet. Rabwah
- Fazl-e-Umar, hlm. 41-42
- Majmū‘ah Isytihārāt, jld. 1, hlm. 95-96, no. 33, tgl. 20 Februari 1886, cet. Rabwah
- Al-Mau‘ūd dalam Anwār al-‘Ulūm, jld. 17, hlm. 613-614, cet. Rabwah
- Khutbah Jum’at Hadhrat Khalifatul Masih Vatba pada 21 Februari 2020
- Ibid.
- Mahānah Anṣārullāh, no. Hadhrat Mushlih Mau’ud, Mei-Juni-Juli 2009, hlm. 64-65
- Fazl-e-Umar, hlm. 267-268
- Bulanan “Khalid” Sayyidina Mushlih Mau’ud nomor Juni-Juli 2008, halaman 324
- Ibid., hlm. 325