Hari Raya Di Tengah Pandemi, Bahagia Dalam Kesederhanaan

1968

Hari raya Idul Fitri adalah moment yang paling dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Raut wajah kegembiraan terpancar dari air muka yang berseri-seri ketika menyambut hari lebaran. Mereka berbondong-bondong ke masjid dengan pakaian baru, harum, dan bersih melambangkan kesucian jiwa setelah menunaikan ibadah-ibadah selama bulan suci Ramadhan. Pulang dari masjid, saatnya menyantap hidangan lezat khas lebaran bersama ketupat, makanan ikonis di hari raya. Tak lupa kudapan-kudapan manis dan camilan seperti kastengel (kue keju) dan kue nastar yang disajikan dengan cantik di atas meja untuk menjamu para tamu yang datang ke rumah dalam rangka bersilaturahmi dan ‘bermaaf-maafan’. Ketika famili dan handai tolan berkunjung, tak sedikit dari mereka yang membawa bingkisan parsel. Keceriaan anak-anak pun turut memeriahkan semarak hari raya, ekspresi bahagia terlihat ketika sanak saudara mereka memberikan angpau berisi uang THR (Tunjangan Hari Raya).

            Akan tetapi, suasana tersebut tampaknya berbeda pada hari raya kali ini. Tanpa Shalat Ied berjamaah di masjid, tidak beramai-ramai mengunjungi rumah tetangga dan saudara, tidak mengenakan baju lebaran baru, tanpa ritual salam dan pelukan, bahkan mungkin ada yang merayakannya tanpa ketupat, tanpa kue-kue kering dan tanpa keluarga yang hadir di tengah-tengah mereka. Silaturahmi memang masih bisa dilakukan secara daring, namun beda rasanya ketika berjumpa secara langsung.

            Memang, kadar kebahagiaan ketika kita bersilaturahmi secara langsung seperti berjabat tangan dan berpelukan berbeda dengan bersilaturahmi secara virtual. Secara biologis, manfaat dari kontak sosial secara fisik diantaranya berperan sebagai regulator fisiologis dalam tubuh, serta mengatur termoregulasi sosial yang melibatkan jalur termosensor dan somatosensori taktil. Selain itu, sentuhan langsung juga mampu mencegah pemisahan sosial1. Dan dalam kondisi bahagia itu, tubuh akan memproduksi hormon dopamin yang berperan sebagai neurotransmitter (pembawa pesan melalui sistem endokrin) dan menyebabkan kinerja otak menjadi harmonis apabila neurotransmitter tersebut bekerja dalam tingkat yang normal2. Akan tetapi, dalam kondisi pandemi virus corona seperti ini, silaturahmi dengan kontak fisik langsung lebih berpotensi mendatangkan mudarat daripada manfaat.

            Tidak hanya berpelukan dan bersalam-salaman, banyak orang yang merayakan kebahagiaan hari raya dengan menghabiskan uang THR untuk berbelanja pakaian baru, belanja kue-kue lebaran, belanja barang-barang baru, mengadakan kegiatan halal bi halal, dan pergi liburan. Di Indonesia sendiri hal seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah dan justru (bagi sebagian orang) akan merasa ‘aneh’ apabila moment lebaran tidak melakukan kegiatan-kegiatan demikian.

            Namun bila kita melihat kondisi saat ini, akankah masih terbesit dalam pikiran untuk melakukan hal-hal seperti itu agar kesan lebaran itu terasa? Pandemi virus corona atau Covid-19 belum berakhir meski dalam bulan suci Ramadhan sekalipun. Per 25 Mei 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-32 dunia dalam kasus Covid-19 dengan jumlah kasus sebanyak 22,750 jiwa, dengan angka kematian mencapai 1,391 jiwa, dan 5,642 jiwa dinyatakan sembuh3. Kendati upaya-upaya untuk menekan prevalensi angka positif Covid-19 terus dilakukan oleh pemerintah, otoritas kesehatan, aparat keamanan dan masyarakat sipil, seperti penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang hampir menyeluruh di wilayah di Indonesia, masih ada saja sebagian masyarakat yang acuh menyikapinya.

            Dalam hal ini, pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota di Indonesia menjadi sorotan. Alih-alih menerapkan PSBB yang berprinsip pada pelarangan aktivitas-aktivitas komunal seperti berkerumun dan berkumpul, masyarakat justru melakukan kegiatan jual-beli tanpa mengindahkan physical distancing. Banyak masyarakat yang ingin tampil modis ketika hari raya tiba, dan masih banyak masyarakat juga yang ingin menikmati hidangan ketupat dan rendang seusai Shalat Ied dilaksanakan. Padahal di luar sana banyak saudara-saudara kita yang belum dikaruniai kenikmatan merayakan hari ied dengan bermewah-mewahan.

            Dilansir dari Kumparan Sains, menurut psikolog Bimo Wikantiyoso, M.Psi, ada tiga pendekatan yang menjadi alasan mengapa banyak masyarakat yang masih nekat berbelanja memenuhi kebutuhan lebaran di tengah pandemi. Pendekatan pertama, yakni tradisi. Sebagaimana yang terjadi setiap tahunnya, proses untuk mengubah kebiasaan ini akan sulit. Pendekatan kedua adalah adanya perbandingan sosial. Dalam sebuah tradisi, ketika ada orang yang tidak melakukan tradisi yang berlaku di lingkungannya (seperti belanja baju baru untuk lebaran), maka sebagai konsekuensinya, mereka bisa mendapat stigma negatif dari kelompok sosialnya. Dan pendekatan ketiga adalah kejenuhan masyarakat atas kebijakan PSBB yang terkesan ‘mengekang’ diri di rumah. Begitu ada kesempatan, seperti dibukanya pusat perbelanjaan dan transportasi, masyarakat langsung melampiaskan kebosanannya dengan mendatangi pasar dan mal4.

            Seandainya masyarakat bisa menggunakan akal sehat, tentu besar harapannya untuk mengakhiri pandemi ini. Di kala para tenaga medis berjibaku merawat pasien-pasien positif Covid-19, di saat pemerintah terus memikirkan kebijakan-kebijakan ampuh untuk meredam pandemi, ketika aparat keamanan berusaha menegakkan hukum bagi pelanggar PSBB, dan ketika sebagian masyarakat rela mengorbankan kesenangannya dengan senantiasa diam di rumah, sebagian masyarakat lain justru bersikap apatis dengan perjuangan yang telah dilakukan orang-orang tadi untuk menghentikan pandemi ini dengan memanfaatkan moment lebaran untuk berbelanja demi memenuhi hasrat pribadi agar ‘bahagia’ di saat hari raya nanti.

            Bila kita melihat Hari Raya Ied dari kacamata agama, sesungguhnya Islam tidak menuntut setiap umat untuk memiliki baju lebaran baru, membeli barang-barang baru untuk dipamerkan kepada saudara-saudara, juga tidak menuntut untuk menghidangkan menu-menu mewah yang biasa kita jumpai saat hari kemenangan tiba.

            Mari kita lihat sejenak arti ‘Idul Fitri’ secara terminologi. Menurut sebuah artikel dari Review of Religions, kata Idul-Fitri terpisahkan oleh dua kata, yakni Id dan Fitr. Kata ‘Id’ merujuk pada ‘sesuatu yang diulang kembali’. Oleh karena itu, seringkali hari Id menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan yang diulang (setiap tahun). Kata ini dicontohkan dalam Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 115 berikut ini:

“Berkata Isa Ibnu Maryam, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.”

            Sedangkan kata ‘Fitr’ artinya ‘berbuka puasa’. Jadi, Idul-Fitri dapat juga bermakna kebahagiaan setelah berpuasa yang dilakukan secara berulang setiap tahun5.

            Berbicara soal makna hakiki dari Hari Idul Fitri, Hazrat Khalifatul Masih Vaba dalam Khutbah Idul Fitri 1436 H bersabda bahwa untuk meraih Id yang hakiki, setiap Ahmadi harus berusaha untuk mendapatkan berkah Idul Fitri dengan membawa reformasi moral, serta berupaya untuk membebaskan dunia dari ketidakadilan dan perbanyak doa6.

            Dari sabda Huzur tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa esensi dari Hari Id adalah reformasi moral, bukan reformasi prestise yang sarat akan kemewahan dan kemegahan yang kerap kali ditunjukkan sebagian orang ketika datang hari raya. Selain itu, hendaknya kita berupaya untuk menumpaskan ketidakadilan dengan cara bersikap adil. Dalam kondisi pandemi saat ini, sikap adil dapat kita tunjukkan dengan saling berbagi kebahagiaan kepada mereka yang lebih membutuhkan dan terdampak resesi akibat wabah virus corona serta tidak menunjukkan sikap yang berlebih-lebihan seperti memaksa membeli baju baru atau belanja keperluan yang tidak penting. Moment lebaran di tengah pandemi ini juga menjadi ajang kita untuk memanjatkan doa sebanyak-banyaknya kepada Allah Swt. agar pandemi virus corona ini lekas berlalu. Merayakan Id dalam kesederhanaan tidak akan mengurangi esensi Id itu sendiri bila kita memahami makna Id yang hakiki.


Oleh: Umar Farooq Zafrullah

Sumber:

  1. Morrison, I. (2016). Keep calm and cuddle on: social touch as a stress buffer. Adaptive Human Behavior and Physiology2, 344-362.
  2. Lubis, Namora Lumongga. 2009. Depresi: Tinjauan Psikologi. Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Kencana
  3. https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/ diakses tanggal 26 Mei 2020
  4. Kenapa Banyak Orang Nekat Belanja Baju Lebaran saat Pandemi Corona? https://kumparan.com/kumparansains/kenapa-banyak-orang-nekat-belanja-baju-lebaran-saat-pandemi-corona-1tS2g5HVuCT/full diakses tanggal 20 Mei 2020
  5. The Philosophy of Eid-ul-Fitr. https://www.reviewofreligions.org/15993/the-philosophy-of-eid-ul-fitr-2/ diakses tanggal 20 Mei 2020
  6. Why and how is Eid-ul-Fitr celebrated? https://www.alislam.org/question/why-how-eid-ul-fitr-celebrated/ Diakses tanggal 20 Mei 2020

Sumber Gambar: eramuslim.com