Identitas yang Hilang

1856

Cermin adalah pantulan diriku
Dia memandang aku, aku pun memandang dia
Di depan cermin, aku mengutarakan isi hatiku
Namun cermin tetap diam seribu bahasa

Pagi hari adalah waktu untuk memulai aktivitas. Setiap insan manusia mencoba untuk meraih rezeki di saat fajar mulai menyingsing. Ada yang sibuk bekerja, ada juga yang sibuk menempuh pendidikan. Setiap manusia menggunakan pakaian untuk menggambarkan identitas yang dimilikinya. Namun, hingga saat ini masih ada pemaksaan dalam penggunaaan atribut keagamaan di salah satu sekolah negeri, yaitu di SMKN 2 Padang.

Fenomena pemaksaan jilbab pada SMKN 2 Padang merupakan salah satu bentuk intoleransi dalam beragama. Intoleransi agama tidak hanya terjadi di sekolah tersebut, namun fenomena yang serupa juga terjadi di berbagai daerah lainnya. Pada tahun 2014, murid beragama Islam di Bali dilarang menggunakan jilbab di sekolah negeri. Pada tahun 2016 di Yogyakarta, siswi baru wajib menggunakan jilbab pada Masa Orientasi Siswa (MOS) berlangsung. Di Semarang, seorang penghayat kepercayaan tidak diluluskan oleh sekolah lantaran tidak ada nilai mata pelajaran agama Islam. Tidak hanya itu, terdapat juga salah satu guru di sekolah negeri yang mengajak muridnya memilih ketua OSIS yang seagama. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Indonesia adalah negara yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua. Sejak didirikannya Indonesia, pendahulu kita sadar bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan keberagaman yang melekat di dalamnya. Setiap perbedaan yang ada di dalamnya, baik perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, bukanlah menjadi penghalang untuk bersatu padu dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, hari demi hari, masih ada segelintir oknum yang ingin menghilangkan semboyan tersebut. Waktu demi waktu, di saat negara lain berbicara tentang teknologi, kita masih stagnan berbicara ideologi. Ada apa dengan Indonesia?

Hingga saat ini, intoleransi masih terus melekat di Indonesia. Indonesia selalu diterpa dengan isu dari oknum yang menginginkan keseragaman. Sebuah keseragaman yang menghilangkan identitas setiap individu. Seakan-akan ingin mengubah ideologi yang sudah ada sejak negara Indonesia didirikan. Apakah pantas untuk memaksa setiap kehendak manusia?

Sejatinya, agama adalah hak bagi setiap insan manusia. Agama identik dari sanubari hati manusia. Tidak ada paksaan di dalam memeluk agama. Memeluk agama adalah soal kerelaan dan penghambaan antara manusia yang amat lemah kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pada surat Yunus ayat 40 dan 99, Allah berfirman:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهٖۗ وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَࣖ

“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S Yunus ayat 40)

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Q.S Yunus ayat 99)

Agama adalah hak bagi setiap insan manusia, termasuk dalam penggunaan atribut keagamaan. Penting bagi kita untuk saling menghargai satu sama lain di tengah perbedaan yang ada. Mewarnai kertas putih untuk menciptakan harmonisasi di tengah perbedaan yang ada. Inilah identitas Indonesia, jangan lupakan identitas itu dengan memaksa seseorang untuk memakai atribut keagamaan.


Oleh : NHA