Kementrian Perang: Membaca Kebijakan Multilateral AS & Dampaknya Terhadap Perdamaian Dunia

124
Kementrian Perang: Membaca Kebijakan Multilateral AS & Dampaknya Terhadap Perdamaian Dunia
Kementrian Perang: Membaca Kebijakan Multilateral AS & Dampaknya Terhadap Perdamaian Dunia

Introduction

Si Vis Pacem, Para Bellum

-Publius Flavius Vegetius Renatus, Penulis Roma-

Untuk meraih perdamaian, maka selalu bersiap untuk perang. Kutipan ini diambil dari tulisan karya Vegetius dalam bukunya Epitoma Rei Militaris yang menjabarkan peran integral sebuah kekuatan militer dalam upaya perdamaian. Roma, yang didirikan oleh Romulus dan Remus, bertahan selama 2000 tahun hingga kehancurannya setelah  Kekaisaran Byzantium dan Kedespotan Morea dari dinasti Palaiologos runtuh di abad ke-15, dengan menerapkan kaidah bahwa perdamaian adalah sesuatu yang diraih dan dipertahankan melalui kekuatan militer. Selama 3 fase peradaban mereka yang terdiri dari Kerajaan, Republik dan Kekaisaran membentang hampir sepanjang sejarah peradaban manusia modern itu sendiri, Roma mengutamakan prinsip preventif dengan menempatkan ribuan pasukan (Legionarius) di wilayah konflik yang baru ditaklukan ataupun di tempat yang cenderung rapuh untuk membelot dan melawan hegemoni Roma. Selain menjaga perbatasan dan provinsi tertentu, Roma juga senantiasa terlibat dalam urusan global di dunia pada saat itu, dengan menaruh raja boneka, mendukung monarki yang menguntungkan Roma, ataupun menyerang peradaban yang dirasa dapat menyaingi Roma di wilayah pengaruh nya di Mediterania dan Eropa.

Akan tetapi, kebijakan “perang untuk mempertahankan perdamaian” ini juga berdampak buruk pada keberlangsungan Roma yang kemudian menjadikan mereka rentan akan konflik dan secara relatif, lebih rentan merasakan masa-masa perang ketimbang perdamaian. Bahkan di saat masa-masa akhir Republik Roma, hampir seabad Roma terjerumus dalam perang saudara, antara Marius dan Sulla, Gnaeus Pompey dan Julius Caesar, serta Mark Antony dan Octavian. Ditambah dengan serangan akibat invasi dari bangsa Germania, Hun dan Goth, akhirnya meruntuhkan sistem administrasi dan kemiliteran negara adidaya itu sendiri. 

Berkaca dari sejarah, perang pada dasarnya berakar dari permasalahan yang sama, yaitu perebutan sumber daya. Semakin besar wilayah, pengaruh dan hegemoni suatu peradaban terhadap peradaban lainnya, semakin besar juga kebutuhan energi, sumber daya, politik dan pengaruh yang dikeluarkan untuk keberlangsungan hidup masyarakat nya, ambisi para pemimpinnya dan menjaga “facade” atau kesan hegemoni tersebut dengan tujuan menjaga perdamaian. 

Saat ini, kita menghadapi situasi yang pelik dengan munculnya kekuatan regional dan intra-regional yang memiliki kemampuan militer yang tidak hanya dapat digunakan untuk menjaga perdamaian mereka secara internal (defensif) akan tetapi juga memproyeksikan kekuatan militer mereka keluar (offensif) dan sangat mampu membawa daya rusak yang dapat dikategorikan sebagai apocalyptic atau akhir dunia melalui perang senjata nuklir. Kebutuhan energi saat ini adalah permasalahan hidup dan mati para hegemoni raksasa ini, dan kita sebagai negara di peripheral atau di pinggiran hanya dapat mempersiapkan, bertindak dan berharap bahwa negara kita dapat terlindungi melalui upaya para pemimpin kita. 

Namun, menjadi penonton dan pihak periferal dari adu pamer otot para kekuatan adidaya ini bukan berarti kita tidak memiliki peran untuk melakukan de-eskalasi konflik. Justru, dengan mengenali implikasi, dan arah mata angin politik global ini, kita sebagai komunitas dunia dapat bersatu dan menentukan kemana kiblat perdamaian sesungguhnya ini dapat tercapai. Perdamaian yang didasari bukan dari rasa takut, moncong senjata atau peluru tajam, melainkan dari rasa peduli, cinta kasih dan kemanusiaan.

Dalam artikel ini, penulis ingin mengajak kita agar memahami apa langkah yang bisa kita ambil dan bagaimana cahaya Allah SWT dan Islam dapat menerangi dunia jauh lebih terang daripada hulu ledak Nuklir Antar Benua para kekuatan adidaya.

Selayang Pandang “Kementerian Perang AS”

7 Oktober 2023

Dianggap sebagai titik balik sejarah dunia, tanggal 7 Oktober kerap dikaitkan sebagai waktu dimana dunia melihat ke depan dan tidak lagi melihat ke belakang. Agresi militer Israel yang disebabkan serangan militan Hamas ke beberapa wilayah di Israel dan penculikan serta pembunuhan dianggap sebagai casus belli atau landasan untuk agresi Israel terhadap Palestina. Gaza di luluh lantakan dan populasinya mengalami ujian kekejaman yang tidak lagi dapat dibayangkan oleh manusia lainnya, genosida. Konflik ini akhirnya membenturkan dua poros kekuatan dunia yang sama bebal nya, Poros AS dan sekutunya, serta Iran dan sekutunya. Kendati Rusia dan Tiongkok menolak untuk terlibat dalam konflik terbuka dengan AS, mereka menyatakan keberpihakan mereka terhadap Iran dan mengutuk tindakan AS dan Israel yang mengancam stabilitas dunia. Kondisi ini berlanjut hingga sekarang dan belum ada kesepakatan arah resolusi konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina, dimana Palestina masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan Internasional sebagai negara PBB.  

2 April 2025

Presiden AS, Donald Trump mengumumkan Tarif Dagang Resiprokal (Timbal Balik) terhadap negara-negara yang dianggap “tidak adil” terhadap aktivitas dagang AS yang menyebabkan defisit dagang oleh AS. Pengumuman Tarif Dagang ini diumumkan di hari yang disebutkan oleh Trump sebagai “Liberation Day” atau Hari Pembebasan dimana AS kemudian menerapkan Tarif Dagang yang memicu kemarahan Internasional dan perang dagang antara AS dan Tiongkok. Saat ini, pertumbuhan ekonomi global mengalami penurunan dan akan tetap seperti ini hingga kuartal akhir 2025 menurut Bruce Kasman, Ekonom J.P Morgan. AS kemudian terlibat dalam serangkaian negosiasi dagang yang “menguntungkan” AS setelah beberapa dekade menurut Presiden Trump, namun memicu tensi Tiongkok yang melihat tindakan AS ini sebagai bentuk bullying dan berjanji akan menstabilkan kondisi pasar dengan membuka peluang investasi di Asia Tenggara dan Afrika, sesuatu yang tidak diterima dengan baik oleh AS. Saat ini, AS menerapkan 57.6% Tarif dagang untuk Tiongkok.

5 September 2025

Donald John Trump, Presiden AS ke 45 dan 47 Amerika Serikat, mengumumkan pada 5 September 2025 bahwa Kementerian Pertahanan AS akan berganti nama menjadi Kementerian Perang, dan Menteri Pertahanan (Secretary of Defence) menjadi Menteri Perang (Secretary of War). Disinilah kita memulai diskursus ini.

Implikasi Kementerian Perang AS

Sekilas, akan sangat mudah bagi kita untuk menafsirkan bahwa Kementerian Perang menyelenggarakan kebijakan eksekutif selama masa perang, yang dengan demikian, kebijakan ekonomi, multilateral dan politik AS akan dimobilisasi kepada kepentingan perang, baik itu defensif maupun ofensif, dan betul memang itulah pesan yang Trump ingin perlihatkan ke dunia. Donald Trump sendiri menyatakan bahwa kebijakan penggantian nama ini bukan hanya untuk melayani retorika politik, akan tetapi membawa pesan khusus kepada siapapun, bahwa AS sangat terbuka tentang ambisi imperialisme mereka dan untuk mempertahankan kepentingan domestik mereka. 

Hal ini sangat berkaitan dengan fenomena kebijakan politik, fiskal, dagang, dan internasional AS yang semakin lama menunjukkan bahwa ideologi proteksionis AS yang ingin mengukuhkan hegemoni nya di dunia. Ambisi ini tidak diterima baik oleh negara adidaya lainnya yang merasa kepentingan AS sudah sangat mengancam stabilitas dunia. Sebuah ironi bahwa AS senantiasa menyuarakan dirinya sebagai juara demokrasi, liberal, dan perdamaian. Dengan ideologi yang AS jalankan saat ini berkiblat pada keuntungan untuk AS dan bersiaga untuk konflik apapun, respon negara di dunia juga dengan meningkatkan kekuatan internal maupun poros mereka untuk melawan ambisi militer AS yang kian membesar. Di antara negara ini ada Tiongkok, Russia, Brazil, India, dan Afrika Selatan yang kemudian membentuk BRICS. Kendati dibentuk sebelum Trump naik jabatan di gedung oval, BRICS senantiasa mendorong hubungan bilateral antar negara member dan pengawas (observer) guna menekan pengaruh AS di Afrika, Amerika Selatan dan Asia hingga saat ini. Tiongkok bahkan membangun proyek-proyek strategis di Afrika guna mendorong pertumbuhan ekonomi pasca kolonialisme di benua tersebut dengan tujuan membuka front ekonomi baru, apabila AS mengancam kedaulatan daratan Asia. Dengan ini, Tiongkok memberi pesan pada Afrika bahwa Tiongkok dan porosnya lah yang hadir untuk kemanusiaan, bukan AS.

Hal ini tentu mengamplifikasi ketegangan antara AS dan Tiongkok, yang memiliki hubungan rumit di kancah internasional. Hubungan ketergantungan AS dan Tiongkok dalam hal sumber daya di banyak sektor ekonomi, dibarengi juga dengan senantiasa bertengkar dalam hal geopolitik mereka, dapat mengarah kepada konflik yang lebih besar kepada negara-negara yang terletak pada periferal AS dan Tiongkok. Saat ini Indonesia masih menikmati kebijakan bebas aktif yang mengedepankan netralitas bangsa. Akan tetapi dengan posisi Indonesia yang strategis secara geografis, menjadi nexus antara Samudra Pasifik dan Hindia, mata angin politik RI akan sangat tergantung kepada siapa ia berteman.

Sebagai masyarakat dunia, ini perlu menjadi perhatian bersama, bahwasanya kondisi dunia saat ini sudah masuk kepada tahap baru yang memerlukan perhatian khusus kita. Sebagai komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan perdamaian, komunitas keagamaan Internasional dapat berdiri sebagai mercusuar dengan bersatu melawan ideologi imperialisme dan kapitalisme yang terus didorong oleh kekuatan adidaya ini.  Nilai toleransi dan persatuan harus ditekankan kepada pemuda dan pemudi kita, juga di generasi penerus kita sehingga bangsa kita dapat teguh berdiri dengan pemikiran dan ideologi kita sendiri tanpa harus khawatir tergerus ombak imperialisme.

Sistem ekonomi kita yang berpegang pada prinsip kapitalisme, perlu melalui dikaji ulang. Ekonomi seharusnya berbasis pada pemerataan pengembangan masyarakat global berbasis komunitas, komoditas dan biodiversitas, ketimbang keuntungan segelintir orang. Kiblat peradaban harus dibangun berdasarkan kemanusiaan dan kepedulian terhadap kekayaan hayati bumi kita sehingga seluruh elemen manusia bersatu untuk mencapai tujuan bersama, yaitu perdamaian dan keberlangsungan spesies kita dan seluruh makhluk hidup.

Perwujudan Love for All, Hatred for None

Jemaat Ahmadiyya International, terkhusus di Indonesia, memiliki tanggung jawab yang luar biasa untuk dapat menciptakan kader organisasi yang dapat melalui badai ini secara mumpuni. JAI perlu mendefinisikan lagi kaidah tarbiyah kepada generasi mudanya, dan secara bersamaan, menentukan mata angin organisasi dan potensi global apa yang bisa dicapai bersama dengan Jemaat Ahmadiyah negara lainnya.

Kedamaian kita adalah barang mewah yang kita pinjam saat ini, kita tidak tahu apa yang akan terjadi 5 hingga 1 tahun kedepan. Yang dapat kita pastikan, bahwasanya kekuatan kita dalam hal kolaborasi antar komunitas, pengkaderan, peningkatan kesejahteraan anggota melalui peningkatan kapasitas industri kita, maupun pemberdayaan ekonomi desa lah, yang dapat menjadi penentu keberlangsungan kita kedepannya. Selama kita masih bisa membuka buku, melihat berita, menikmati internet, selama itu lah kita harus senantiasa menentukan strategi keberlangsungan hajat hidup kita.

Kita perlu jadi cahaya dan warna bagi kelamnya situasi dunia saat ini, menjadi suara logika dan advokasi perdamaian, serta menjadi model masyarakat yang dibangun berdasarkan cinta kasih dan kebersamaan. Fenomena Islamophobia saat ini, bisa ditarik juga kepada kebijakan AS yang berusaha mempertahankan hegemoni mereka. Tugas kitalah untuk menunjukkan siapa kita yang sebenarnya dan apa nilai yang kita bawa.


Oleh : Robih Hilman Ardiatama

Sumber : 

  1. The White House. (2025). Restoring the United States Department of War. https://www.whitehouse.gov/presidential-actions/2025/09
  2. JP Morgan Research. (2025). US Tariffs : What’s the Impact on Global Trade and Economy?.https://www.jpmorgan.com/insights/global-research/current-events/us-tariffs 
  3. Bown, Chad. (2025). US – China Trade War Tariffs : An Updated Chart. https://www.piie.com/research/piie-charts/2019/us-china-trade-war-tariffs-date-char
  4. Scheers, Alex. (2025). The Diplomat. Why the Renaming of the US Department of War Matters.https://thediplomat.com/2025/09/why-the-renaming-of-the-us-department-of-war-matters/
  5. Kings and Generals Youtube Channel. (2023 -2025). History of Rome : From Kingdom, Republic to Empire.

Image:
Generate by ChatGPT 7 Oct, 2025