Ketika Dirimu Jadi Komoditas: Aset Tak Lagi Berbentuk Emas

154
Ketika Dirimu Jadi Komoditas: Aset Tak Lagi Berbentuk Emas
Ketika Dirimu Jadi Komoditas: Aset Tak Lagi Berbentuk Emas

Di tengah krisis dunia, orang berlomba mengamankan harta. Tapi di balik hiruk pikuk itu, ada satu hal yang diam-diam kita korbankan, yaitu identitas diri. Terlalu sering kita larut dalam arus algoritma yang melalaikan, hingga tanpa sadar kita membagikan data pribadi ke ruang digital dengan sembrono. Padahal, seberapa banyak pun harta yang kita kumpulkan, semua bisa raib jika identitas kita tak lagi aman.

Bagi sebagian orang, isu ini terasa sepele. Ada pula yang pasrah, merasa data pribadinya sudah terlanjur bocor, entah oleh sistem, negara, atau platform digital besar. Namun, sikap pasrah seperti itu tidaklah pantas bagi seorang muttaki. Sebab orang yang bertakwa akan selalu berusaha menjaga apa yang masih bisa ia jaga, termasuk kehormatan dan identitas dirinya sendiri.

Naluri kita memang mendorong untuk membagikan momen-momen bahagia di media sosial. Bahkan hal-hal yang sederhana sering kita unggah, sekadar untuk merasa tetap terhubung dengan dunia dan orang-orang di dalamnya.

Tentu, itu sendiri bukanlah sesuatu yang salah. Tetapi ketika kebiasaan ini dilakukan tanpa pertimbangan matang, risiko pun mengintai. Semakin banyak kita membagikan diri, semakin besar pula celah bagi orang lain untuk menyalahgunakannya.

Wajah Baru Pencuri Identitas

Di era kecerdasan buatan (AI), identitas kita lebih rapuh dari yang kita bayangkan. Teknologi digital kini memungkinkan siapa pun meniru identitas orang lain dengan mudah dan presisi.Cukup dengan mengumpulkan potongan data pribadi—foto, nama lengkap, nama orang tua, tanggal lahir, hingga alamat—seseorang sudah bisa membangun profil palsu yang menyerupai kita nyaris sempurna. Dan itulah awal dari banyak bencana digital.

Foto yang kita unggah bisa dimanfaatkan AI untuk merekonstruksi wajah kita menjadi gambar atau video palsu. Suara kita pun bisa ditiru secara digital dengan sangat mirip, lalu digunakan untuk berbagai penipuan: panggilan palsu, rekaman menyesatkan, atau video manipulatif yang seolah-olah kita sendiri yang melakukannya.

Lebih mengerikan lagi, data wajah dan suara ini bahkan dipakai sebagai bahan melatih AI untuk menciptakan konten yang tidak senonoh, termasuk pornografi. Membayangkan wajah kita—atau anak-anak kita—disalahgunakan untuk tujuan seperti itu sungguh membuat merinding.

Dan semua itu belum berhenti di situ. Data yang kita sebarkan sukarela di media sosial juga jadi celah bagi praktik rekayasa sosial: teknik membobol akun, mencuri identitas, atau meretas sistem hanya dengan informasi yang kita umbar sendiri. Kasus nyata tentang ini sudah banyak terjadi, dan barangkali sebagian pembaca pernah menyaksikannya sendiri. Cukup lakukan pencarian sederhana, dan kita akan menemukan betapa nyata ancaman ini.

Setelah menyadari berbagai risiko yang mengintai di era digital yang serba mudah ini, kita tentu bisa menggali lebih banyak sendiri tentang potensi bahayanya. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: apa yang bisa kita lakukan sekarang untuk menjaga diri dari semua dampak buruk itu?

Privasi adalah Marwah

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Salah satu cara kita menghidupkan teladan itu di zaman sekarang adalah dengan merenung: seandainya di masa Hz. Rasulullah saw. sudah ada internet dan media sosial seperti sekarang, mungkinkah beliau dengan ringan membagikan foto dirinya dan keluarganya ke khalayak? Ataukah Hz. Aisyah ra. akan berpose untuk selfie dan membiarkan banyak orang menikmati kecantikannya lewat layar?

Tentu sulit membayangkan mereka melakukan hal seperti itu. Sosok-sosok suci itu penuh kehormatan dan sangat menjaga kesucian diri. Bahkan andai teknologi ini hadir di masa mereka, besar kemungkinan mereka justru menjadi teladan dalam menjaga marwah, privasi, dan kehormatan diri di ruang digital.

Khalifah kita sekarang, Hazrat Mirza Masroor Ahmad atba., juga telah mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan lainnya. Beliau menasihati bahwa banyak orang terlalu mudah membagikan foto, video, atau terlibat dalam percakapan ringan yang tampaknya tidak berbahaya—padahal sering kali hal-hal kecil ini justru berkembang menjadi masalah serius, baik secara moral, sosial, maupun mental.

Beliau juga mengingatkan: niat baik kita tidak pernah menjamin bahwa orang lain memiliki niat yang sama. Banyak kasus terjadi ketika foto-foto perempuan dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk mengancam dan memeras mereka—sebuah pelajaran pahit tentang pentingnya menjaga kehormatan diri di ruang digital.

Takwa di Dunia Maya

Nasihat tersebut mungkin terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan tanggung jawab yang berat. Menjaga diri di dunia digital bukan hanya soal melindungi data, tetapi juga menjaga marwah kita sebagai seorang mukmin.

Meski begitu, ada beberapa langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk tetap berbagi momen bahagia tanpa harus membuka terlalu banyak celah. Misalnya, pertimbangkan untuk tidak menampakkan wajah secara penuh pada foto publik, atau atur privasi unggahan hanya untuk orang-orang yang benar-benar kita kenal dan percayai.

Langkah-langkah kecil ini mungkin terlihat sepele, tetapi justru menjadi wujud takwa di era baru—sebuah ikhtiar untuk tetap menjaga kehormatan diri di tengah derasnya arus digital yang tak selalu ramah.

Pelajaran dari Buku Telepon

Sebagai penutup, izinkan penulis berbagi sedikit renungan pribadi. Dulu, di era ketika teknologi masih sederhana, ada sebuah benda yang kini nyaris hilang: buku telepon. Di dalamnya tercantum nomor-nomor penting, lengkap dengan alamat dan email, terbuka untuk siapa saja yang membutuhkannya.

Namun, seiring waktu, buku telepon itu pelan-pelan lenyap. Bukan hanya karena dianggap kuno, tetapi karena orang mulai sadar: informasi pribadi yang terbuka justru mengundang niat jahat. Semakin canggih teknologi, semakin besar pula peluang penyalahgunaan.

Kini, di zaman ketika data kita bisa dimanipulasi dengan kecanggihan AI, informasi pribadi menjadi aset yang rapuh dan mahal. Penulis percaya, tak lama lagi orang akan mulai lebih berhati-hati. Mungkin, untuk sekadar memposting satu foto saja, kita akan berpikir dua kali—atau bahkan lebih. Karena kehormatan diri, sekali hilang, tak semudah itu kembali. Semoga Allah Ta’ala membimbing kita untuk selalu menjaga kehormatan diri dan memberi kita jalan keluar dari ujian zaman ini.

Semoga tulisan singkat ini menjadi bahan renungan yang bermanfaat bagi para pembaca. Di tengah derasnya arus digital yang penuh risiko, semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita, menjaga kehormatan diri kita, dan memberi hikmah untuk menggunakan teknologi dengan bijak.


Oleh: Ilham Sayyid Ahmad