Menunggu Ketegasan Presiden Jokowi Mencabut SKB 3 Menteri Ahmadiyah

1238

« Pemerintah berkomitmen dan akan terus berupaya untuk mendorong moderasi beragama. Sikap-sikap yang tidak toleran, apalagi yang disertai dengan kekerasan fisik maupun verbal harus hilang dari bumi pertiwi Indonesia. Sikap keras dalam beragama yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat tidak boleh ada di negeri kita yang kita cintai ini » Jokowi,

Seharusnya hari Idul Fitri menjadi hari penuh kemenangan bagi umat Muslim. Namun hal ini tidak dirasakan anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI. Pembangunan Masjid milik JAI di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut milik Jamaah Ahmadiyah, dihentikan secara sepihak oleh Bupati Garut.  Penyegelan dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Garut dan tim gabungan Forkopimcam Cilawu, seperti yang dikutip dari laman sindonews.com.

Alasan penyegelan dan penutupan masjid-masjid milik JAI biasanya hampir serupa. Mereka –anggota JAI- dianggap keukeuh beribadah dan melakukan aktivitasnya di masjid milik mereka sendiri, yang dibangun dari jerih payah dan iuran anggota selama bertahun-tahun. Sebuah alasan yang sungguh absurd. Ibarat kita memiliki rumah, namun orang lain, misalnya tetangga atau masyarakat sekitar melarang kita untuk tinggal dan beraktivitas di rumah kita sendiri.

Payung hukum yang mereka –para persekutor- gunakan adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 12 Tahun 2011 yang pada intinya melarang seluruh aktivitas Jamaah Ahmadiyah dan SKB 3 Menteri nomer KEP-033/A/JA/6/2008 tentang Ahmadiyah[B3] . Padahal, SKB Tiga Menteri dan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tidak melarang [B4] Ahmadiyah untuk membangun masjid mereka sendiri. Pada dasarnya, Pergub Jabar dan SKB Tiga Menteri hanya melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas yang melanggar ajaran Islam. Saya jamin, tidak akan ada seorang Muslim pun yang mengatakan bahwa membangun masjid adalah perbuatan yang melanggar ajaran Islam.

Lebih lanjut, Pergub dan SKB tersebut tidak tunduk kepada hukum yang lebih tinggi, yakni UUD 1945. Dalam Pasal 28E UUD 1945 ayat (1) dan (2)   ditegaskan :

  1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal, di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali
  2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

 Selanjutnya di Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 lebih ditegaskan lagi :

2.Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Jika Pak Jokowi memang berkomitmen untuk mewujudkan moderasi beragama di Indonesia, sebaiknya beliau segera menyusun tim untuk mencabut SKB 3 Menteri Ahmadiyah tersebut.  Sayangnya, seorang Presiden tidak memiliki hak untuk mencabut Pergub. Artinya masyarakat harus berkoalisi untuk menggugat segala bentuk pergub yang mendiskriminasi suatu kelompok minoritas, seperti Pergub Jabar tentang Ahmadiyah.

Banyak orang mendukung keputusan Bupati Garut berdasarkan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), padahal fatwa MUI bukanlah hukum positif dan tidak punya aspek legal. Bahkan dalam Islam sendiri, kedudukan fatwa bukanlah harga mati. Dari sono-nya fatwa bukanlah produk hukum yang mengikat dan harus diikuti. Fatwa harus diposisikan sebagai legal opinion yang boleh diikuti boleh tidak (dalam Kala Fatwa Jadi Penjara : xvi). Belum lagi kalau kita mengkritisi MUI itu sendiri. Apakah ia lembaga negara atau organisasi masyarakat (ormas) semata ? Apakah produk fatwa-nya kredibel ? Khaled Abou El-Fadl, Guru Besar Hukum Islam menyatakan :

“Di era klasik, sarjana muslim menyusun kualifikasi ketat yang harus dilalui seorang ahli hukum sebelum dirinya dipandang memenuhi syarat untuk mengeluarkan suatu fatwa. Di era kontemporer, institusi-institusi yang memperkuat sistem kualifikasi ini telah porak-poranda dan lenyap. Kini, dalam kenyataannya, siapa pun dapat mendaulat dirinya sebagai seorang mufti dan selanjutnya melontarkan fatwa-fatwa, tanpa suatu proses legal atau sosial yang akan mencegahnya dari melakukan semua itu” (2006:42)

Apa yang dipertontonkan hari-hari ini tidak lain adalah kekalahan aparat pemerintah terhadap tuntutan kelompok-kelompok intoleran. Pada sebagian besar persekusi dan teror yang dilakukan kelompok intoleran terhadap JAI, negara seakan-akan absen. Yang justru mengemuka adalah keberpihakan aparat serta pejabat di daerah terhadap kelompok-kelompok semacam ini. Aparat yang semestinya melindungi justru malah menjadi aktor dan fasilitator praktek-praktek intoleransi. Temuan yang cukup mengejutkan dipaparkan Yenni Wahid – Direktur The Wahid Institute- bahwa sepanjang 2015 lalu salah satu pelaku intoleransi di tanah air adalah aktor negara (merdeka.com). Kemunculan SKB, Pergub dan aturan-aturan seperti ini telah mengorbankan Ahmadiyah yang selama ini sudah menjadi korban (Victimizing the Victim).

Sisa waktu pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja 2 nya tinggal tiga tahun lagi. Pak Jokowi, pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Tahun 2021, menegaskan bahwa beliau akan menegakan moderasi beragama di Indonesia. Selama peraturan-peraturan yang kerap menyulitkan Ahmadiyah untuk beribadah atau beraktivitas masih ada, maka selamanya kami meragukan komitmen Pak Jokowi ini. Karena itu, wahai Pak Jokowi, segeralah cabut SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah.  


Penulis: Fariz Abdussalam, Akhmad Faizal Reza


Sumber Gambar : https://pixabay.com/photos/gavel-auction-hammer-justice-legal-3577060/