Jum’at sore saya pergi ke Disneyland untuk menerima vaksin Covid-19 dosis pertama. Saya terkesan dengan proses pendaftaran dan penyuntikan vaksinnya yang mudah dan cepat. Ketika sang perawat menyuntikan jarum ke lengan kanan saya, rasanya tidak terlalu sakit. Kemudian sang perawat memberitahukan efek samping yang mungkin saya rasakan setelah divaksin. Ketika diperjalanan pulang, saya browsing Instagram feed. Topik yang sering muncul adalah rasisme yang dialami orang keturunan Asia-Amerika. Inilah yang lebih sakit daripada jarum suntikan itu.
Membaca berita penembakan di Colorado dan Atlanta rasanya lebih melelahkan daripada menunggu antrian vaksin. Sakit, sedih dan marah adalah tiga kata yang saya rasakan ketika melihat kata-kata seperti prasangka buruk, kebencian dan rasisme. Saya sering bertanya pada diri sendiri, sejak kapan prejudice, rasisme dan kebencian ada? Mengapa manusia tega mengambil nyawa satu sama lainnya karena hal ini? Perlahan-lahan saya sadar bahwa virus kebencian ini lebih bahaya daripada virus-virus yang ada di dunia. Dari satu pertanyaan timbul pertanyaan lain yang menyesakan hati saya. Mengapa membasmi virus prasangka buruk, kebencian dan rasisme tidak semudah dan secepat seperti saya mendapatkan vaksin ?
Virus kebencian ini menyebar pesat seperti cepatnya penyebaran virus corona. Solusi-solusi yang diberikan untuk membasmi rasisme dan kebencian masih belum efektif sepenuhnya. Tidak ada orang yang terlahir untuk membenci satu sama lain. Tidak ada orang yang terlahir untuk merendahkan satu sama lain. Tidak ada orang yang terlahir untuk mengambil nyawa sesamanya. Namun setiap manusia pasti pernah memiliki prasangka buruk terhadap seseorang yang terlihat berbeda dari kita. Ini terjadi karena pengaruh lingkungan, media masa, kesempitan pikiran dan hati.
Prasangka buruk adalah penyakit hati yang amat ganas lebih bahaya daripada kanker stadium empat karena dari situlah lahir kebencian dan rasisme. Dalam khutbah Jum’at yang berjudul The Detroit Address, yang ditujukan untuk menghapus rasisme yang terjadi antara Ahmadi keturunan Afrika-Amerika dan Ahmadi Pakistan, Hazrat Mirza Tahir Ahmad (rh) memberi analogi prasangka buruk dan rasisme tersebut bagaikan pintu yang dikunci rapat. Beliau menuliskan:
“….if you honestly search in your hearts, it is possible that …you had locked your soul’s door to them. Or, if you had not locked it completely, you had at least half-closed it to them. You did not desire to keep it wide open so that they could gladly enter into it.” [1] Artinya, jika Anda mencari ke dalam hati yang paling dalam dengan sejujur-jujurnya mungkin anda telah mengunci pintu jiwa Anda pada mereka. Atau jika Anda tidak mengunci dengan seutuhnya, Anda hanya membukanya sebagian saja. Anda tidak ingin membukanya lebar-lebar agar mereka bisa dengan senang hati memasukinya.
Dari kutipan tersebut saya belajar bahwa segala bentuk rasisme sistematik (systematic racism), Apartheid, perbudakan dan pemikiran bahwa ras tertentu itu lebih unggul adalah hasil dari prasangka buruk dan kebencian. Dua hal ini mengunci pintu hati yang berisi rasa kasih sayang dan ada juga yang hanya membuka pintu hatinya setengah-setengah.
Pada akhirnya saya sadar bahwa membasmi virus prasangka buruk dan kebencian tidak semudah dan secepat seperti saya mendapatkan vaksin. Jika seseorang masih mengunci pintu hatinya atau jika seseorang hanya membiarkan pintu hatinya setengah terbuka, apapun kebijakan-kebijakan, hastag yang viral di sosial media, webinar-webinar dan buku-buku yang mengaku dapat menghapus prasangka buruk dan kebencian tidak akan bisa mengikis akar masalahnya.
Tiga hari setelah divaksin saya mulai merasakan efek sampingnya. Lengan kanan saya sakit. Tapi yang lebih sakit bagi saya adalah ketika mendengar dan membaca berita tentang rasisme, prejudice dan kebencian. Namun saya yakin, luka di hati ini pun akan terobati dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa pada fitratnya tidak ada manusia yang terlahir untuk membenci seseorang. Pada hakikatnya, manusia tidak diciptakan untuk merendahkan satu sama lain.
Mungkin masih banyak diluar sana yang sedang mencari obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit prasangka buruk, kebencian dan rasisme. Ajaran Islam memiliki obat ampuh untuk mengatasi hal ini. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 14, Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sesungguhnya, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa….” Kemudian Nabi Muhammad (saw) bersabda bahwa tidak ada ras yang lebih unggul dari satu sama lain. Yang paling mulia dimata Allah adalah orang-orang yang bertakwa dan yang melakukan amal kebaikan.
[2] Obat mujarab ini gratis, tidak harus mengantri lama untuk mendapatkannya dan tidak ada efek samping. Khasiatnya sudah terbukti dapat menyembuhkan tiga penyakit hati: prasangka buruk, kebencian dan rasisme.
Penulis: Khalida Jamilah
Editor: Irfan Al-Wahid
Referensi:
[1] https://www.alislam.org/library/books/The-Detroit-Address.pdf
halaman 17.
[2] https://ahmadiyah.id/menyebarkan-perdamaian-dan-keamanan-pidato-peresmian-masjid-baitul-ahad-jepang
Sumber Gambar : The scientist Magazine