Ketika bendera Belanda yang masih menyisakan warna biru dirobek di atas Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit), keberhasilan pengibaran Sang Saka Merah Putih itu disambut oleh massa rakyat di sepanjang Jalan Tunjungan dengan pekik “Merdeka!” berulang kali.
Sebagaimana tercatat dalam buku Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja karyaOerip Kasansengari, pada peristiwa perobekan bendera itu pula terdengar Lagu Indonesia Raya menggema bersama, di bawah pimpinan Bung Tomo – dinyanyikan oleh rakyat dengan semangat yang menggelora, namun syahdu dan mengharukan.
Kisah heroik arek-arek Surabaya tersebut memicu gelombang perlawanan besar yang menjangkit ke berbagai kota Indonesia, yang berpuncak pada 10 November 1945, hari yang kini kerap kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Sejak masa lampau, iringan lagu yang bermakna selalu menjadi penggerak jiwa bangsa. Sejarah dunia mencatat bahwa tiap bangsa yang merdeka dan berdaulat pasti memiliki lagu kebangsaannya. Pasukan yang hendak berperang kerap diiringi syair-syair nyanyian patriotik atau puisi yang dibacakan – bukan sekadar hiburan, melainkan untuk mengobarkan semangat mempertahankan tanah air tumpah darahnya.
Lagu Indonesia Raya
Bagi bangsa Indonesia, Lagu Indonesia Raya lahir bukan dari ruang kekuasaan, bukan pula sebuah lagu puji-pujian yang ditujukan kepada raja atau kaisar. Ia dicipta sewaktu bangsa kita berada dalam alam penjajahan, sewaktu kemerdekaan dirampas dari padanya, sewaktu kita hidup tertindas dan terhina. Sebelum lagu itu menggetarkan kongres pemuda, sang penciptanya, Wage Rudolf Soepratman, sudah menorehkan tintanya menentang kapitalismenya imperialis Belanda sebagai bentuk perlawanan. Sepanjang perjalanannya dari Makassar ke Pulau Jawa, ia mencatat pengamatan tajam tentang ironi kolonial dan pembelaanya karena perbuatan kaum modal terhadap nasib kaum kromo yang ditulisnya secara berkait dalam koran Pemberita Makasar.
Dibalik kemegahan Indonesia Raya, ada jalan sunyi sang pencipta. Soepratman hanyalah seorang “kuli tinta” – wartawan kelas Melayu dengan tanda anggota “Peblieist Melaju”. Upahnya tidak tetap, bergantung pada tulisan yang dibuatnya. Kesaksian Oerip Kasansengari, ipar sekaligus sahabatnya, mencatat bahwa Soepratman, “Bukan sadja hidup Senin-Kemis, melainkan hanja hidup Senin sadja. Untuk sekedar menambah nafkah hidup jang belum tjukup.”
Masih menurut kesaksian Oerip Kasansengari, sahabatnya kaya akan kawan, sebenarnya miskin akan harta-kekayaan. “ Ia tinggal berumah digang betjek, dikampung Rawamangun dalam gang dan melarat, Menjewa sebuah rumah ketjil, berdinding bambu.” Hidupnya jauh berbeda dibanding masa di Celebes Makasar. Dalam kesaksian lain, dalam surat kabar Bintang Borneo, kawan senasib yang pernah tinggal bersamanya, mengenang, “Pada waktu itu Seopratman sudah mulai beroleh penyakit batuk darah, berhoeboeng dengan dalam segalanja ia selaloe kekoerangan.”
Semangat Merdeka
Batavia kala itu kota yang menjadi pusat pergerakan kemerdekaan. Gelora semangat “Merdeka” sedang menyala-nyala. Banyak pemimpin ditangkap, begitu pula dengan nasib Soepratman. Belanda melarangnya mencantumkan kata “Merdeka” dalam Lagu ciptaanya dan menyatakan kepada masyarakat bahwa Indonesia Raya itubukanlah lagu kebangsaan, melainkan lagu biasa saja seperti lagu-lagu pada umumnya. Sejak saat itu ia selalu diawasi oleh reserse-reserse kemana pun pergi.
Tekanan mental karena selalu dikuntit oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID) sudah lama dialami. Sejak mengumandangkan lagu Indonesia Raya pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, gerak-geriknya menjadi incaran petugas keamanan. Lagu ciptaanya tersebut dianggap menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk Merdeka.
Tahun 1932, kelelahan fisik dan batin membuatnya jatuh sakit. Ia pindah ke Cimahi untuk beristirahat, lalu kembali ke Jakarta. Dalam keadaan sakit, Soepratman mencari ketenangan spiritual.
Seperti yang terekam dalam edisi momen peringatan Sumpah Pemuda, surat kabar Utusan Indonesia memampang artikel utama bertajuk “Arti 28 Oktober Untuk Bangsa Kita”. Utusan Indonesia menulis:
“DISEBABKAN lelahnja karena bekerdja keras, tahun 1932 Soepratman mendapat sakit urat sjaraf. Setelah beristirahat selama 2 bulan di Tjimahi, beliau kembali ke Djakarta untuk mengikuti aliran Achmadijah. Mulai bulan April beliau bertempat tinggal di Surabaya bersama kakaknja. Sebelum itu beliau bertjerai dengan istrinja disebabkan kesukaran2 dalam hidupnja. Beliau menderita keletihan bathin, karena masih banjak tjita2nja jang belum terlaksana. Dalam keadaan sematjam itu beliau masih dapat mentjiptakan lagu Surya Wirawan dan Parindra. Dengan tjara mendadak beliau djatuh sakit dan terus meninggal dunia pada tgl. 17 Agustus 1938. Sehari sebelum wafatnja, beliau berpesan kepada Nji Rukijem, supaja lagu ‘Indonesia Raja’ diserahkan kepada Badan Kebangsaan utk dipelihara dan disiarkannja. W.R. Soepratman telah kembali kehariban Tuhan dalam usia jg masih muda. Pada waktu djenazahnja diberangkatkan ke makam, hanya beberapa rekannja jang mengantarkannja. Beliau tidak begitu diperhatikan oleh masjarakat bangsa kita pada waktu itu. Djenazahnja dimakamkan orang dikampung Kapasan, Surabaya. Soepratman, seorang pentjipta lambang Nusa dan Bangsa, seorang seniman dan seorang componist, telah meninggalkan kita untuk selama-lamanja. Badan wadagnja telah kembali ke-pangkuan Ibu Pertiwi, tetapi buah tjiptaanja masih selalu mendengung2 memenuhi angkasa Pertiwi dan tetap hidup ditengah2 bangsa kita, sehati sedjiwa dengan bangsa Indonesia dan akan tetap bergelora sampai achir djaman. Gadjah mati meninggalkan gadingnja, Harimau mati meninggalkan belalangnja, Tetapi.. Manusia mati meninggalkan djasa dan nama harumnja.”

Refleksi
Begitulah rupanya nasib seorang yang telah membulatkan segala semangat bangsa Indonesia di dalam susunan syairnya. Kini kita bangsa yang berdiri tegak dengan khidmat ketika Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, sementara itu ada kesederhanaan sang komponis yang sering dilupa, doa kita semua untuknya dipanjatkan bagi jiwa yang rela menderita sebagai jalan mulia menuju bangsa Merdeka.
Hari ini kita berdiri tegak saat lagu itu berkumandang. Namun, pernahkah kita memikirkan nasib sang pencipta yang rela berkorban demi cita-cita bangsa?
“Suatu kaum yang tidak menghargai pahlawan-pahlawan yang telah syahid secara sepatutnya dan tidak mengambil langkah-langkah untuk melenyapkan rasa takut mati dari hati mereka sebenarnya telah menutup masa depan mereka sendiri” (Hz. Muslih Mau’ud ra)
Selamat Hari Pahlawan, 10 November. Mari kita hormati bukan hanya lagu, tetapi juga jiwa yang melahirkannya.
Oleh Asshafurrahman
Referensi:
(Kasansengari, 1967). Kasansengari, Oerip. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja. Surabaja: PD. Pertjetakan Grafika Karya, 1967, Djalan Tandjunganom 19-21 Surabaja.
(Intisari, Okt 2021). “Ikrar Pemuda Yang Lahirkan Bangsa” , Edisi Oktober 2021.
(Intisari, Nov 2021). “Mengapa (Pertempuran) Surabaya Begitu Istimewa?” , Edisi November 2021.
(Ahmad, Mei 2025). Hazrat Mirza Masroor aba, Answers to Everyday Issues – Part 81, Al Hakam edisi 29 Mei 2025. https://www.alhakam.org/answers-to-everyday-issues-part-81/ (Diakses November 2025).
(Basit, Jun 2019). Mln. Abdul Basit, Bincang bersama Mubaligh part 2, 18 Juni 2019, Youtube: https://youtu.be/6zuzPdP6lw4?si=c_LGZ0paZmjMXVGF (Diakses Juli 2022)
(Soepratman, 1923-1924). Wage Rudolf Soepratman, Pemberita-Makasar, Juni 1923 – Maret 1924. N.V. HANDELSDRUKKRIJ EN KANTOORHANDEL “CELEBES”.
(Rahzan, Dahlan, dkk, 2007). Seabad pers kebangsaan, 1907-2007, I;Boekoe, Yogyakarta, Cetakan I, Desember 2007.
(Sofwanhadi, 1950). Moch. Sofwanhadi, UTUSAN INDONESIA. “Arti 28 Oktober Untuk Bangsa Kita” , Edisi 28 Oktober 1950. Arsip MIKROFILM dan MIKROFIS, Perpustakaan Nasional RI. (Diakses 29 Juli 2022).
(Borneo, 1938). Bintang Borneo. “Arwah W.R Soepratman”, Edisi 10 & 21 September 1938, No. 110-111, Tahoen ke XIV, Khastara Perpustakaan Nasional RI. (Diakses online Juli 2022).
(Ahmad, 2023). Holy Quran – Indonesian (with Short Commentary) (Vol 1), Penerbit: Neratja Press, Jakarta. https://new.alislam.org/library/books/quran-indonesian-short-commentary-1?option=options&page=141 (diakses November 2025)
Image:
Foto Literatur: arsip mikrofilm Perpustakaan Nasional.
Image Thumbnail: Generate by chatGPT (10/11/2025)
