Riba dan Babi

4847

Riba dan memakan daging babi adalah dua hal yang sangat dilarang atau dinyatakan haram dalam agama Islam. Namun ada perbedaan pengharaman yang penting untuk diketahui diantara keduanya. Kali ini penulis akan menyampaikannya pada tulisan sederhana ini.

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya, Dia hanya mengharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi, barangsiapa terpaksa memakannya bukan karena melanggar peraturan dan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Nahl : 116).

Dari ayat di atas kita ketahui bahwa daging babi haram untuk dimakan. Berkenaan dengan hal ini Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as bersabda:

“Perhatikanlah bahwa riba adalah dosa yang demikian berat. Apakah orang-orang itu tidak tahu bahwa memakan daging babi itu boleh (jaiz) dalam keadaan terpaksa. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan bermaksud melanggar dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.2:174) yakni tidak ada dosa (karena memakan daging babi secara terpaksa) atas orang yang bukan bermaksud melanggar dan tidak pula melampaui batas. Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Namun untuk riba Allah Ta’ala tidak berfirman,“boleh bila terpaksa” bahkan bagi riba Dia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah yang masih tersisa dari riba jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman. Tetapi jika kamu tidak mengerjakannya maka waspadalah terhadap perang dari Allah dan Rasul-Nya…” (QS.2:279-280) Jika kita tidak kapok/berhenti dari jual-beli/persetujuan dagang/bisnis yang melibatkan riba maka waspadalah akan deklarasi perang dari Allah dan Rasul-Nya. Inilah keyakinan kami bahwa barangsiapa bertawakal kepada Allah Ta’ala maka tidak akan ada suatu keperluan (yang susah dipenuhi) atasnya (apalagi sampai perlu mengambil riba). Jika seorang muslim terperosok dalam ujian (riba)ini maka itu adalah hasil dari amalan buruknya. Jika orang-orang Hindu melakukan dosa ini (riba) maka ia akan menjadi kaya-raya. Namun jika seorang muslim melakukan dosa ini (riba) maka ia akan binasa sebagai bukti benarnya ayat “Dia rugi di dunia dan di akhirat” (QS.Al-Hajj:12). Jadi apakah tidak perlu bagi seorang muslim untuk berhenti (kapok) darinya (riba)?” (Badr, jld. 7, no. 5 tanggal 6 Februari 1908 hlm. 6; Tafsir Hd. Masih Mau’ud as., jld. 5, hlm. 88).

Maka jelaslah bahwa kita bisa makan daging babi bahkan bangkai bila memang terpaksa. Situasi terpaksa bisa muncul manakala benar-benar tidak ada makanan lain lagi sedang kita benar-benar kelaparan. Maka dalam kondisi demikian Allah memberi keringanan dengan dibolehkannya makan daging babi.

Namun bagi riba sama sekali tidak ada pengecualian bahkan saat kondisi terpaksa. Allah dan Rasul-Nya bahkan menyatakan perang bagi mereka yang mengambil riba dalam urusan bisnis mereka. Penulis rasa, kita lebih baik pinjam kepada mereka yang tidak menerapkan riba bila benar-benar memerlukan dana segera.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha muslim menjadi bangkrut karena bermain-main dengan api riba. Maka dari itu kita wajib menghindari riba sedapat mungkin dalam urusan-urusan bisnis kita bahkan saat situasi yang benar-benar jatuh sekalipun. Bila kita benar-benar bertawakal kepada-Nya maka Insya-Allah  Dia akan senantiasa mencukupi keperluan kita tanpa harus mengambil riba. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada kita agar senantiasa terjaga dari riba. Semoga Dia senantiasa mencukupi kebutuhan jasmani-rohani kita. Aamiin.  


oleh : Ammar Ahmad