Sekelumit Kisah Kesehatan Mental di Bumi Timur Tengah

871

Bagi sebagian orang, isu kesehatan jiwa belum mendapat tempat yang utama karena keterbatasan akses pengetahuan disertai kurang giat untuk mengkaji apa itu kesehatan jiwa secara umum. Di kawasan atau bisa disebut itu negara yang sedang didera peperangan sangat rendah wawasan tentang kesehatan jiwa dibahas sama dengan isu pengungsi atau migran yang menjadi korban perang yang memasuki perbatasan dengan negara Eropa.

Kawasan Asia Barat atau Timur Tengah yang mencakup negara seperti Palestina, Israel, Suriah, Irak, Lebanon, dan Yordania merupakan titik panas konflik yang masih terjadi sampai detik ini[1]. Isu agama berbaur dengan politik dan campur tangan negara adidaya di bidang persenjataan dan kedirgantaraan tingkat tinggi semacam Amerika Serikat dan Rusia ditambah kekuatan baru yang mengancam hegemoni negara Amerika Serikat dengan pemimpinnya Xi Jinping yaitu negara Tiongkok atau Cina, menjadikan episode konflik di sekitar isu Palestina dan Suriah seakan tidak pernah berakhir.

Isu-isu besar yang dibicarakan dalam pertemuan para pucuk negara dalam skala global yang diinisiasi oleh PBB sedikit menyentuh isu-isu kemanusiaan khususnya masalah mental atau gangguan jiwa akibat perang yang terjadi di lokasi terpanas di peta dunia gara-gara kelompok ekstremis yang bentrok dengan kubu pemerintah. Menurut laporan dari Amnesty International yang pernah dirilis pada Agustus 2016 disebutkan lebih dari 17.000 orang nyawanya melayang di pusat-pusat tahanan pemerintah di seantero Suriah dari Maret 2011 hingga Desember 2015[2]. Mereka adalah manusia yang diperlakukan secara tidak manusiawi saat berada di tempat penahanan. Efek dari penyiksaan sampai ada kasus pemerkosaan berakibat kepada masalah gangguan jiwa dari skala rendah sampai tinggi seperti trauma, depresi, skizofrenia bahkan kasus bunuh diri.

Yang tidak disadari dari perhatian mata umat manusia tentang kesehatan mental adalah dampak dari perang yang tidak hanya menghancurkan infrastruktur seperti rumah, jembatan, gedung sekolah, rumah peribadatan namun jiwa yang rapuh dari individu yang disiksa dengan bengis oleh rezim atau kelompok ekstremis di negara tersebut. Ini adalah krisis kemanusiaan terbesar dalam satu generasi di negara yang pernah mendapat julukan As-Syams. Damaskus, Aleppo, sampai Idlib merupakan tiga kota besar yang dikepung pertempuran yang tidak hanya membuat kekhawatiran orang dewasa melainkan generasi muda dan belia seperti anak-anak yang menjadi korban konflik.

Konflik yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan satu kota menjadi sangat tidak layak untuk ditempati.  Di 2016, berdasarkan survei dari The Economist Intelligence Unit, kota kedua terbesar di Suriah yaitu Damaskus berada di peringkat ke-140 kota di dunia yang disurvei sebagai kota yang paling tidak nyaman untuk ditinggali karena perang saudara ditambah gerakan terorisme yang dilakukan kelompok ISIS. Bahkan sampai sekarang, kota tersebut menjadi kota yang paling tidak nyaman untuk ditempati [3].

Dampak dari kota yang tidak layak huni sudah pasti eksodus penduduk ke berbagai negara yang mereka anggap lebih layak dan huni dengan hanya bermodal kenekatan menjadi pengungsi[4] atau migran yang hidupnya terlunta-lunta di negerinya sendiri dan kelompok anak-anak rentan menjadi sindikat perdagangan manusia [5] yang menjadi kekerasan lintas negara sebab mereka warga asing yang bisa diperjual-belikan sebagai komoditas perdagangan seks anak atau sebagai kurir narkotik dan bahan psikotropika. Bila anak-anak kecil dan remaja belia menetap di negerinya mereka juga merasa was-was dengan ancaman dari aspek psikologis dan fisik. Kelompok ekstremis menyasar dan memburu anak-anak muda untuk dijadikan tentara anak [6]. Yang terjadi di India bisa dijadikan ilustrasi bagaimana keadaan anak-anak yang dipekerjakan sebagai tenaga kasar di beberapa tempat pembakaran bata, penggilingan padi, dan pemotongan kayu menunjukkan indikasi trauma yang diidap anak-anak[7]. Melalui medium gambar lewat goresan tangan dapat terefleksikan sisi psikologisnya yang merekam peristiwa mencekam yang dialami oleh anak-anak yang bekerja paksa tak lepas dari faktor kemiskinan dan belitan utang.

Sekaranglah waktu untuk membuka mata dan telinga sebagai warga dunia diingatkan narasi memilukan dari seorang bocah berumur tiga tahun yang meninggal di dekat pantai wisata di Turki dalam posisi tertelungkup yang menjadi viral di lini media sosial pada 2015 silam. Benarlah apa yang dikatakan mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, “Rakyat Suriah kian merasa ditinggalkan dunia. Derita mereka terus berlangsung di depan mata internasional yang masih terbelah dan tak mampu mengambil langkah kolektif menghentikan pembunuhan dan penghancuran.”

Bisa ditarik benang merah bahwa keadaan manusia yang selalu condong kepada kebathilan adalah keaadan alami dari manusia, yang dimana dalam Al Quran disebut dengan Nafs Ammarah [8]. Tatanan kemanusiaan yang damai hanya tercipta apabila keadaan manusia mencapai Nafs Mutma’innah, yakni keadaan yang dimana manusia berserah diri kepada Tuhannya, dan seluruh perhatiannya terpusat hanya untuk menyenangkan Allah Ta’ala[8]. Keadaan ini timbul ketika manusia membersihkan diri dari hasrat akan keserakahan dan kerakusan untuk menguasai material dengan pertumpahan darah. Kesetaraan manusia di atas bumi akan terjadi jika rasa keburukan bisa dihilangkan demi perdamaian yang ujungnya perasaan tenteram akan mempengaruhi kesehatan mental tiap anak Bani Adam.


Penulis: Azhar Ahmad

Sumber :

[1]. https://www.liputan6.com/news/read/4880005/ksad-dudung-singgung-konflik-di-timur-tengah-hingga-kemenangan-taliban

[2] https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/08/160818_dunia_suriah_amnesti_18ributewas

[3] https://www.idiva.com/lifestyle/hot-takes/least-liveable-cities-in-the-world/18021215

[4] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150908131728-134-77324/mengapa-imigran-ke-eropa-bukan-ke-timur-tengah

[5] https://regional.kompas.com/read/2019/06/18/18490871/sindikat-perdagangan-orang-ke-suriah-terbongkar-anak-di-bawah-umur-jadi?page=all

[6] https://prokalteng.jawapos.com/internas/nasional/28/06/2019/waspadalah-paham-radikal-kini-sasar-anak-anak/

[7] https://www.dw.com/id/biasa-pelanggaran-hak-anak-di-india/a-4767267

[8] https://www.republika.co.id/berita/q4hphf320/3-macam-nafsu-manusia-yang-diabadikan-dalam-alquran