Tabir Gelap dibalik Fenomena ‘Bukber’

30

Sejak tujuh hari sebelum puasa Ramadhan, deretan jadwal buka puasa bersama (bukber) tercatat rapi di buku agenda. Setiap agenda ‘bukber’ datang dari komunitas yang berbeda, mulai dari grup alumni SMA, teman kuliah, grup arisan, tetangga, grup lintas iman, grup perkumpulan aktivis kampus, dan sebagainya. Alih-alih berhemat, urusan anggaran diperhitungkan sedemikian rupa demi acara bukber di restoran atau kafe-kafe tempat anak muda berkumpul. Selain biaya, kepercayaan diri juga perlu dipersiapkan untuk menghadapi basa-basi klise yang mengisi topik pembicaraan selama kumpul-kumpul itu.

            Hadhrat Rasulullah Saw. bersabda:

لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa) (HR Bukhari dan Muslim)

Menyegerakan berbuka puasa merupakan sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Di mana ketika sudah waktunya berbuka saat adzan Maghrib berkumandang, maka umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa dianjurkan untuk segera membatalkan puasanya dengan minum air atau makan makanan yang manis. Menurut beberapa hadits, Hadhrat Rasulullah Saw terbiasa mengonsumsi buah kurma segar, kurma kering, atau dengan beberapa teguk air minum. Dengan demikian, buka puasa merupakan karunia dari Allah Swt yang diberikan kepada hamba-Nya karena telah menjalankan kewajiban berpuasa penuh dalam satu hari. Hal ini merupakan nikmat yang wajib disyukuri bagi umat Muslim yang melaksanakan ibadah puasa, terutama di bulan Ramadhan.

            Dalam budaya Indonesia, menu berbuka puasa disajikan dalam berbagai macam makanan dan minuman, seperti kolak pisang, es buah, sop buah, bubur sumsum, kolang-kaling, aneka macam gorengan dengan sambalnya, kue basah, jajanan pasar, dan lain sebagainya. Sensasi manis dan segar dari panganan tersebut dipercaya mampu membalas rasa dahaga dan lapar yang luar biasa selama seharian berpuasa.

Berbuka puasa dengan semangkuk es buah dan beberapa gorengan yang tersaji di meja makan belum cukup memuaskan bagi sebagian orang dengan segudang acara berkumpul bersama rekan sejawat, teman alumni sekolah, komunitas, atau keluarga besar. Orang-orang dengan kesibukan yang sangat tinggi, rekan sekolah yang lama tidak bertemu, dan orang-orang kesepian yang butuh ruang berekspresi, disatukan oleh ‘bukber’. Bahkan acara ini mampu menyatukan kembali tali silaturahmi antar sesama manusia yang nyaris putus. Selain itu, bukber juga mampu menjadi ajang berbagi kebaikan untuk menyantuni orang-orang yang membutuhkan, seperti anak yatim-piatu dan kaum dhuafa, sehingga rasa empati dapat dirasakan ketika bisa menyatu bersama orang-orang tersebut.

Akan tetapi, fenomena bukber yang seharusnya hanya sekedar ajang silaturahmi dan menumbuhkan rasa empati ternyata mengalami pergeseran makna. Di beberapa kota besar, restoran mewah dan kafe-kafe banyak yang menawarkan promo khusus dalam rangka bukber di tempat tersebut, sehingga orang berduyun-duyun berburu tempat untuk menyelenggarakan bukber. Berbuka puasa bersama di restoran atau kafe rasanya rugi jika hanya membatalkan puasa dengan meneguk minuman dan memakan makanan kecil, lalu pergi menuju masjid untuk melaksanakan ibadah shalat Maghrib berjamaah. Mengobrol saja seakan tidak cukup memakan waktu 5 hingga 10 menit, terlalu tanggung untuk ditinggalkan hanya untuk shalat Maghrib. Toh masih bisa dijamak takhir dengan shalat Isya’, mungkin demikian isi pikiran mereka.

Bercengkerama dengan orang yang lama tak dijumpai selama sekian waktu tentu merupakan obat pelipur rindu. Dalam acara bukber, mengobrol adalah susunan acara wajib setelah mencicipi hidangan pembatal puasa. Berbagi pengalaman hidup, membahas rencana ke depan, membicarakan hal-hal terkait problematika atau keburukan orang lain, dan basa-basi lainnya merupakan topik yang biasa ada dalam setiap acara bukber. Bahkan tidak sedikit bukber menjadi ajang pamer kekayaan dan unjuk kebolehan bagi mereka yang haus validasi, ada yang merasa bangga dan ada yang merasa terkucilkan karena status sosial yang lebih rendah, terlebih ada yang terintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaan klise seputar pencapaian hidup yang membuat hilang kepercayaan diri.

Daftar agenda bukber yang menumpuk selama bulan Ramadhan banyak menyita biaya untuk membayar sebuah gengsi jika tidak hadir bukber bersama teman-teman kelompok. Biaya tersebut perlu dipikirkan untuk transportasi, pelengkap penampilan, dan menu makanan minuman di kafe atau restoran. Padahal, sejatinya bulan Ramadhan melatih umat manusia untuk hidup sederhana. Secara matematis, pengeluaran seharusnya berkurang karena dalam sehari hanya makan sahur dan berbuka puasa saja, sehingga tidak ada anggaran untuk makan siang. Menu makanan pun semestinya dapat diatur sedemikian rupa agar menekan biaya pengeluaran dengan memilih menu yang murah, namun memberikan efek kenyang, tentu dengan porsi gizi seimbang. Dengan mengonsumsi tiga butir kurma, air putih, nasi dengan sayur sop dan ayam goreng semestinya dapat menyisihkan uang untuk menabung karena menu tersebut tidak mahal dan masih terjangkau.

Selain membuat manusia lalai akan menunaikan kewajiban mendirikan shalat Maghrib berjamaah di masjid, pelaksanaan bukber yang tidak tepat juga dapat menggugurkan esensi bulan suci Ramadhan, di mana manusia semestinya memperbaiki diri, justru dalam bukber manusia bebas menggunjing orang dan membicarakan keburukan-keburukan orang lain. Selain itu, bukber juga berhubungan dengan hedonisme dan pemborosan. Sebagaimana difirmankan dalam QS Bani Israil ayat 28 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Melalui edaran yang ditujukan kepada para Amir dan para Mubaligh Nomor T-1617/11/RA/25.02.2025, Hadhrat Khalifatul Masih V aba, pemimpin tertinggi Jemaat Muslim Ahmadiyah Internasional menyampaikan bahwa “Orang-orang yang menyampaikan undangan-undangan berbuka puasa di rumah-rumah, mereka hendaknya tidak melakukan itu. Telah menjadi kebiasaan di rumah bahwa orang-orang rumah sibuk dari pagi hingga petang mempersiapkan buka puasa [bersama]. Ketika waktu salat tiba, mereka menjamak salat seraya berpikir bahwa itu tidak masalah, saya telah melarang hal ini.”

Sehubungan dengan hal tersebut, Hudhur aba. memberikan arahan atas permohonan petunjuk dari Departemen Tarbiyat Jemaat Ahmadiyah Amerika Serikat terkait pengaturan buka puasa di pusat-pusat Jemaat Ahmadiyah: “Beritahukanlah kepada semua orang bahwa saya telah melarang undangan-undangan buka puasa. Jika di langgar (dapur) jemaat disediakan kurma, makanan sederhana, maka itu diizinkan. Setelah berbuka, dilaksanakan salat magrib, kemudian setelah makan dilaksanakan salat Isya, atau pengaturan yang lain sesuai dengan situasi, bisa dilakukan oleh Jemaat. Tidak perlu mengundang orang-orang luar dalam jumlah yang banyak.

Jika disikapi dengan penuh kebijaksanaan, sejatinya buka puasa bersama atau ‘bukber’ bukanlah sesuatu yang negatif, selama tidak melalaikan waktu ibadah shalat Maghrib berjamaah di masjid atau makan-minum bersama dalam batas wajar, sarat akan kesederhanaan, dan tidak meriah. Buka puasa dapat dilaksanakan bersama-sama di masjid, menikmati teh hangat, tiga butir kurma, dilanjutkan dengan shalat Maghrib berjamaah, makan bersama, serta menunggu waktu shalat Isya’ dan tarawih dengan membaca Al Quran di masjid.


Oleh: Umar Farooq Zafrullah

Referensi :
SURAT EDARAN No. T-1617/11/RA/25.02.2025 dari Additional Vakilut Tabsheer UK