Seratus tahun adalah angka yang besar bagi manusia. Tidak ada yang dapat memastikan umur sebuah gerakan, apalagi menjaminnya melewati satu abad. Jika Jemaat Ahmadiyah Indonesia tetap berdiri hingga hari ini, itu tanda bahwa Allah Ta’ala menjaga. Karena itu tasyakur tidak bisa dipahami seperti ulang tahun. Ulang tahun hanya mengingat waktu yang lewat. Tasyakur mengingat nikmat dan menuntut perubahan.
Nikmat sebesar ini tidak cukup dibalas dengan acara. Syukur bukan seremonial. Syukur adalah perubahan kualitas diri. Jika sebuah Jemaat mencapai seratus tahun tetapi ibadah anggotanya tidak berubah, maka tasyakur itu kehilangan maknanya.
Tuntutan Rasa Syukur
Dalam bahasa Arab, syukur berarti menampakkan nikmat. Ia bukan sekadar merasakan karunia, tetapi menampakkan karunia itu dalam bentuk yang benar. Secara umum, syukur terbagi menjadi tiga bentuk.
Pertama, syukur dengan hati, yaitu mengingat nikmat Allah dan menyadari bahwa semua kebaikan berasal dari-Nya. Kedua, syukur dengan lisan, yaitu memuji Allah sebagai pemberi nikmat. Namun dua bentuk ini belum cukup untuk disebut syukur yang utuh.
Puncak syukur adalah perbuatan. Inilah syukur yang sejati. Allah Ta’ala berfirman:
اعْمَلُوْا آلَ دَاوٗدَ شُكْرًا
“Wahai keluarga Daud, beramallah sebagai bentuk syukur.”
Kata “اعْمَلُوْا” menunjukkan bahwa syukur tidak sempurna tanpa amal. Dalam tafsir dijelaskan bahwa Allah Ta’ala tidak meminta ucapan, tetapi meminta amal yang sesuai dengan kadar nikmat. Inilah syukur tertinggi.
Hazrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad r.h. menjelaskan bahwa syukur berarti mengakui seluruh nikmat sebagai karunia Allah, lalu mempersembahkan amal sebagai pemenuhan hak-hak yang telah Ia tetapkan. Syukur muncul ketika manusia mengerahkan potensi yang Allah berikan untuk menghasilkan kebaikan yang Ia kehendaki.
Syukur bukan banyak berbicara. Syukur terlihat ketika nikmat digunakan dengan benar. Kita bersyukur bukan karena Allah membutuhkan syukur kita, tetapi karena syukur bermanfaat bagi manusia itu sendiri. Allah tidak memerlukan apa pun dari manusia.
Nikmat ilmu digunakan untuk mengajar.
Nikmat waktu digunakan untuk ibadah.
Nikmat Jemaat digunakan untuk membentuk diri menjadi lebih baik.
Amalan dalam mengungkapkan syukur memang beragam. Namun apa pun bentuknya, setiap syukur pada akhirnya harus menemukan wujudnya dalam amal yang paling mendasar, yaitu shalat.
Shalat, Pondasi Segala Amal
Kita tidak asing dengan nasihat Hz. Rasulullah saw. bahwa shalat adalah dasar dari setiap amalan. Beliau saw. bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.”
Pentingnya shalat sampai pada tingkat bahwa sebaik apa pun amal seseorang, tanpa ruh shalat amal itu kehilangan kekuatannya. Shalat memberi arah, niat, dan kesadaran kepada seluruh amal kita. Shalatlah yang membuat amal memiliki nilai di sisi Allah.
Menyalakan Kembali Ruh Shalat
Jika shalat adalah dasar seluruh amal maka peningkatan diri harus dimulai dari shalat yang hidup. Shalat yang hidup adalah shalat yang menggerakkan hati dan mempengaruhi perilaku. Al-Qur’an menggambarkan bahwa shalat yang benar akan mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Artinya, shalat bukan sekadar gerakan, tetapi kekuatan yang membentuk diri.
Shalat yang hidup adalah shalat yang ditegakkan dengan benar dan memberi dampak. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah iqamatus shalat. Allah Ta‘ala berfirman:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَ يُقِيْمُوْنَ الّصَلٰوةَ وَ مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Muttaqin adalah mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat dan menginfakkan sebagian dari yang Kami rezekikan kepada mereka.”
Dalam Tafsir Kabir, Hz. Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan dijelaskan bahwa iqamati shalat memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah menegakkan shalat secara bersama, sebab kata iqamah mencakup dua hal. Pertama, kamu menunaikan shalat dengan benar. Kedua, kamu mengajak orang lain menunaikannya juga.
Mendirikan shalat bukan hanya tindakan individual, tetapi juga menghidupkannya dalam keluarga dan Jemaat. Dari sinilah lahir perhatian, kebersamaan dan persatuan. Ini ciri shalat yang hidup.
Shalat yang hidup juga harus tepat waktu. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Ayat ini menegaskan bahwa shalat bukan hanya ibadah, tetapi juga disiplin waktu. Shalat tepat waktu mengajarkan kita untuk memberi prioritas yang benar, mendahulukan perintah Allah daripada urusan lain, dan melatih diri untuk tidak menunda kebaikan. Ketika seseorang menjaga waktunya untuk shalat, ia sedang melatih dirinya untuk menjaga waktu dalam seluruh aspek hidupnya.
Shalat yang hidup tidak berhenti pada beberapa menit ketika kita berdiri di hadapan Allah. Shalat harus dibawa dalam hati sepanjang hari. Meskipun sedang tidak melaksanakan shalat, hati tetap merasa diawasi, dijaga, dan dekat dengan Allah Ta‘ala. Dari sinilah shalat memberi pengaruh pada seluruh perilaku.
Ketika shalat hidup dalam diri, ia menuntun hamba menuju ibadah yang lebih sunyi dan lebih jujur.
Bekal Sunyi Abad Kedua
Ada satu amalan yang membuat shalat menjadi lebih lengkap. Amalan ini tidak terlihat oleh siapa pun dan tidak dipuji siapa pun. Amalan itu hanya mungkin dilakukan oleh hati yang benar-benar bersyukur. Itulah shalat tahajud.
Shalat wajib dikerjakan semua orang karena ia kewajiban. Tahajud berbeda. Ibadah ini menguji hati. Tidak ada yang menyuruh, dan tidak ada yang menonton. Tahajud menjadi ukuran keikhlasan karena lahir dari kesunyian, bukan dari kewajiban.
Dari sinilah seseorang belajar bahwa amal tambahan yang dilakukan tanpa paksaan menunjukkan kemurnian niat. Pelajaran ini penting untuk memasuki abad kedua Jemaat. Semua amal perlu dijaga dari riya dan dilakukan dengan hati yang bersih. Ketulusan itu tumbuh ketika seseorang membiasakan ibadah yang tidak diketahui orang lain.
Ibadah malam menyiapkan seorang Ahmadi untuk menghadapi siang hari dengan hati yang jernih dan jiwa yang kuat. Tasyakur abad kedua bukan dimulai di mimbar, tapi di sajadah yang sunyi. Inilah bekal ruhani yang menentukan langkah kita di abad berikutnya.
Oleh: Ilham Sayyid A
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahan
Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat Bahasa Indonesia. Neratja Press, Jakarta. Edisi 2023.
• Surah Al-Baqarah [02]: 04. Jilid 1.
• Surah An-Nisa [4]: 103. Jilid 1.
• Surah Saba’ [34]: 14. Jilid 2.
Sumber Tafsir
• Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Tafsir Kabir (Edisi Baru), Jilid 1, hal. 153
• Hafiz Mirza Nasir Ahmad. Anwarul Qur’an, Jilid 3, hal. 83-84.
Sumber Hadits
• HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Ketika shalat hidup dalam diri, ia menuntun hamba menuju ibadah yang lebih sunyi dan lebih jujur.
