یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَا لَکُمۡ اِذَا قِیۡلَ لَکُمُ انۡفِرُوۡا فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ اثَّاقَلۡتُمۡ اِلَی الۡاَرۡضِ ؕ اَرَضِیۡتُمۡ بِالۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا مِنَ الۡاٰخِرَۃِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا فِی الۡاٰخِرَۃِ اِلَّا قَلِیۡلٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apa yang terjadi atas diri kamu sehingga ketika dikatakan kepadamu, “Berangkatlah untuk berjihad di jalan Allah”, kamu lebih berat ke bumi? Apakah kamu lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat? Padahal kesenangan hidup di dunia ini hanya sedikit dibandingkan dengan di akhirat.” (QS. At-Taubah: 38)
Kata jihad seringkali dimaknai dengan berperang mengangkat senjata. Jika kita memaknai bahwa konsep jihad hanya dengan perang memakai senjata dan segala perlengkapan bombardirnya, tentulah tidak sesuai dengan zaman sekarang.
Sekarang bukan zaman yang berjihad dengan mengangkat senjata. Pun Rasulullah (saw) dahulu terpaksa mengangkat senjata dikarenakan umat muslim yang terlebih dahulu dianiaya, diajak berperang. Dan Rasulullah (saw) terpaksa melawan dengan cara berperang karena mempertahankan islam dari kaum kuffar.
Jihad yang kini kita laksanakanan adalah berjihad dengan jiwa, harta, waktu. Mewakafkan diri adalah bentuk dari berjihad di masa kini. Mewakafkan diri kita dan anak-anak kita untuk mengkhidmati Allah Ta’ala.
Jihad itu luas maknanya. Jika berjihad dengan jiwa, bukan lagi saling berperang mengangkat senjata, melainkan berjihad dengan memberikan pikiran atau ilmu untuk kemaslahatan umat. Misalnya, jika kita mempunyai gelar pendidikan yang tinggi, maka kita upayakan agar ilmu yang telah didapat, kita sumbangkan untuk memajukan manusia dan dunia, yakni memajukan peradaban.
Kemudian berjihad dengan harta. Tentu apabila kita ingin menuntut ilmu yang tinggi, diperlukan biaya yang cukup besar. Sehingga apabila sudah mendapat gelar yang diinginkan, kita bisa menurunkan ilmu kepada generasi selanjutnya.
Jihad dengan harta, dipergunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat, misal; sekolah dan sarana pendidikan lainnya, rumah sakit, rumah ibadah, perkantoran, perpustakaan, taman bermain ramah anak, sarana olah raga, dan sebagainya.
Berjihad dengan waktu. Dalam sehari, Allah Ta’ala telah memberikan 24 jam untuk kita pergunakan sebaik mungkin. Jika 24 jam ini kita bagi menjadi tiga bagian, maka bisa dilihat pembagian waktunya untuk apa saja.
Di delapan jam pertama untuk bekerja atau bersekolah, delapan jam kedua untuk beribadah dan delapan jam ketiga untuk beristirahat atau tidur.
Bekerja atau menuntut ilmu merupakan bagian dari berjihad. Kemudian ibadah, itu hubungannya dengan sang pencipta, dan beribadahlah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dan yang terakhir adalah istirahat atau tidur.
Tidur pun merupakan ibadah. Karena tubuh punya hak atas dirinya, setelah seharian lelah bekerja, bersekolah atau menuntut ilmu serta beribadah, maka wajib bagi kita untuk mengistirahatkan tubuh agar esok hari bisa dipergunakan untuk berjihad kembali.
Berjihad di jalan agama merupakan salah satu kewajiban bagi kita untuk mencari ridha Allah Ta’ala. Allah Ta’ala pun tidak melarang umatnya mencari dunia, jika tujuan dan sarana-sarana duniawi nantinya dipergunakan untuk kemajuan umat dan dunia.
Misalnya; kita bekerja keras dan mendapatkan uang dari hasil pekerjaan, maka nantinya penghasilan itu kita simpan untuk dipergunakan bersedekah atau bagi yang muslim, tentu bercita-cita untuk menunaikan rukun islam yang kelima, yakni melaksanakan haji atau umroh.
Jika kita tidak ada keinginan untuk berjihad di jalan Allah Taala, maka ayat Al-Qur’an menceritakan tentang ketidak-mauan dalam berjihad ini adalah:
اِلَّا تَنۡفِرُوۡا یُعَذِّبۡکُمۡ عَذَابًا اَلِیۡمًا ۬ۙ وَّ یَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَیۡرَکُمۡ وَ لَا تَضُرُّوۡہُ شَیۡئًا ؕ وَ اللّٰہُ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ (۳۹)
Artinya: “Jika kamu tidak berangkat untuk berjihad, Dia akan meng-azabmu dengan azab yang pedih dan akan menggantimu dengan kaum lain dan kamu tak akan merugikan Dia sedikit pun, dan Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 39)
Jika kita bermalas-malasan dan enggan untuk melakukan jihad di jalan Allah Ta’ala, maka nanti akan ada suatu masa bahwa Allah Ta’ala akan menggantikan kita dengan kaum lain atau orang lain yang bersedia melakukan jihad-jihad tersebut.
Jamaah Muslim Ahmadiyah, memiliki program berjihad untuk agama. Program ini dinamakan ‘mewakafkan diri.’
Ada tiga jenis wakaf dalam Jamaah Muslim Ahmadiyah ini, yakni Waqf-e-Nou, Waqf Arzi dan Waqf Zindagi.
Waqf-e-Nou
Yaitu anak-anak yang diwakafkan oleh orang tuanya semenjak mereka masih di dalam kandungan. Orang tua belum mengetahui jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan tersebut, apakah laki-laki ataukah perempuan.
Wakaf dalam kandungan ini sudah ada dalam Al-Qur’an, yakni dalam Surah Ali ‘Imran ayat 36, Allah Ta’ala berfirman:
اِذۡ قَالَتِ امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّیۡ نَذَرۡتُ لَکَ مَا فِیۡ بَطۡنِیۡ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلۡ مِنِّیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ
Artinya: “Ingatlah, ketika perempuan ‘Imran berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah nazarkan kepada Engkau apa yang ada dalam kandunganku untuk mengkhidmati Engkau, maka terimalah dariku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Ali ‘Imran: 36)
Kisah ayah Nabi Musa (as) yang bernama ‘Imran yang diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai keinginan untuk mewakafkan anak yang dalam kandungan istrinya inilah, yang membuat Khalifah keempat Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (rh), mencetuskan program Waqf-e-Nou.
Beliau (rh) mendirikan program Waqf-e-Nou ini pada 3 April 1987. Tujuan dari didirikannya program ini adalah untuk memajukan islam.
Memajukan islam dilakukan dengan cara pertablighan, yakni menyebarkan kebaikan-kebaikan kepada umat manusia di dunia dengan cara mempersembahkan anak-anak dengan keahlian-keahlian yang dimilikinya.
Orang tua tidak hanya mempersembahkan anak-anak mereka saat dalam kandungan saja, namun setelah anak mereka dilahirkan, para orang tua harus terus mendidik dan memberikan ilmu agama dan ilmu dunia, agar kelak anak-anak wakaf ini dapat memenuhi janji wakafnya yang telah dibuat oleh orang tuanya dan ketika anak berusia 15 tahun, anak tersebut akan memperbaharui perjanjian apakah mereka ingin meneruskan wakaf mereka atau tidak.
Tentu ini akan kembali kepada cara-cara tarbiyat yang diberikan oleh kedua orang tuanya, agar anak wakaf tetap teguh atau istiqomah dalam memegang janji wakaf mereka.
Dalam pidatonya pada kesempatan Jalsah Salanah Inggris Raya, 4 Agustus 2018, kepada Lajnah Imaillah (wanita muslim Ahmadiyah), khalifah kelima muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba), beliau menasihatkan kepada anak-anak Waqf-e-Nou dan orang tua mereka untuk mendidik anak-anak mereka dengan cara terbaik dan memberi mereka pendidikan terbaik.
Beberapa anak laki-laki dan perempuan yang telah memperoleh pendidikan sekuler (duniawi) ternyata menunjukkan semangat yang tinggi dan menawarkan pengkhidmatan mereka.
Dan jika seseorang ingin mencapai tujuan yg mulia, maka diperlukan pengorbanan dan menanggung kesulitan.
Mereka (anak-anak Waqf ini), diharapkan kelak dapat mengatakan bahwa hidup mereka, kematian mereka, pengorbanan dan ibadah mereka hanya untuk Allah Ta’ala saja sampai ruh-ruhnya berseru seperti Nabi Ibrahim (as), yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala:
قَالَ اَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ (۱۳۲)
Artinya: ”Aku telah berserah diri kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 132)
Waqf Arzi
Waqf Arzi adalah seseorang yang mendedikasikan hidupnya apabila mereka libur atau cuti. Atau pun mereka yang telah pensiun, bisa mewakafkan dirinya dengan durasi waktu tertentu.
Yang dikerjakan para Waqf Arzi ini bermacam-macam, misal menjadi panitia-panitia dalam setiap kegiatan, mengajar pendidikan bagi anak-anak, atau juga bisa membersihkan lingkungan masjid atau memotong rumput, pun bisa dilakukan.
Namun Waqf Arzi ini, mereka membiayai diri sendiri dalam melakukan pengkhidmatan paruh waktu ini.
Waqf Zindagi
Wakaf ini disebut dengan wakaf hidup. Artinya, hidupnya secara keseluruhan didedikasikan benar-benar untuk mengkhidmati agama, tentunya akan ada tunjangan-tunjangan dari jamaah untuk keberlangsungan hidupnya dan keluarganya (istri dan anak-anaknya).
Contoh dari wakaf Zindagi ini adalah seorang Mubaligh, yang mana hidupnya benar-benar didedikasikan untuk agama.
Dari ketiga jenis wakaf atau dedikasi kepada agama ini, diharapkan akan memajukan dunia, dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan.
Hidup kita harus diniatkan hanya untuk beribadah. Pun dengan adanya para pewakaf ini, mereka sudah menyerahkan segala hidupnya untuk agama. Sehingga apabila nanti mereka wafat, Insya Allah Ta’ala dalam keadaan berserah diri.
وَ وَصّٰی بِہَاۤ اِبۡرٰہٖمُ بَنِیۡہِ وَ یَعۡقُوۡبُ ؕ یٰبَنِیَّ اِنَّ اللّٰہَ اصۡطَفٰی لَکُمُ الدِّیۡنَ فَلَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ
Artinya: “Dan Ibrahim mewasiatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Yakub seraya berkata: “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri.” (Al-Baqarah: 133)
Karena tidak ada saat yang pasti untuk kematian, maka manusia hendaknya setiap saat menjalani kehidupannya dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah (saw) bersabda: “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa kita harus melihat orang yang secara keuangan lebih rendah dari kita dan juga melihat orang yang secara rohani lebih tinggi dari kita, sehingga kita dapat berusaha untuk meningkatkan kemajuan spiritual daripada kemajuan materi.
Ingatlah selalu sabda khalifah kedua Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), beliau bersabda: “Mengkhidmati agama merupakan karunia Ilahi.”
Wakaf, artinya adalah mati. Mati dalam hal apa? Mati dari keinginan-keinginan duniawi, mati ingin menguasai sesuatu secara duniawi (keserakahan).
Adapun hadits yang menjelaskan tentang hal ini:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
قِيلَ: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟
قَالَ: جِهَادُ النَّفْسِ
Artinya:
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”
Para sahabat bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “(Yaitu) jihad melawan hawa nafsu.”
Nafsu di sini bisa juga diartikan menginginkan atau menguasai hal-hal duniawi untuk kepentingan pribadi. Mereka enggan berkhidmat untuk kemaslahatan bersama.
Mari kita dedikasikan hidup kita untuk berjihad dalam agama.
Karena untuk menghadap Ilahi (mati), tidak ada notifikasi.
Oleh: Mukminah
Referensi:
- Al-Qur’an terjemah dan tafsir singkat, Neratja Press, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2014, hal. 699
- Al-Qur’an terjemah dan tafsir singkat, Neratja Press, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2014, hal. 699
- Al-Qur’an terjemah dan tafsir singkat, Neratja Press, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2014, hal. 230-231
- Kepala Departemen Pusat Waqf-e-Nou, London, Luqman Ahmed Kishwar, Buku: Pedoman Dasar Waqf-e-Nou, Hadhrat Khalifatul Masih V (aba), Mirza Masroor Ahmad (aba), 2023
- Buku: Pedoman Dasar Waqf-e-Nou, Hz. Khalifatul Masih V, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba), 2023, hal.9
- Al-Qur’an terjemah dan tafsir singkat, Neratja Press, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2014, hal. 100
- Al-Qur’an terjemah dan tafsir singkat, Neratja Press, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2014, hal. 100
- Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim
- Buku: Pedoman Dasar Waqf-e-Nou, Hadhrat Khalifatul Masih V (aba), Mirza Masroor Ahmad (aba), 2023, hal. 10
- Surat kabar Al-Hakam, edisi 22, 18 Oktober 1960
- Hadits Riwayat Baihaqi
