Mengetuk Hati, Beretika dalam Merayu Ketentuan Tuhan

2583

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

Ia berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulang-tulangku telah menjadi lemah dan kepalaku seluruhnya telah dipenuhi uban. Tetapi ya Tuhanku, tidak pernah aku kecewa dalam berdoa kepada Engkau”(QS.Maryam[19:4])

Dikisahkan nabi Zakaria as. yang sudah berusia renta memohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan. Kisah ini diabadikan dalam Al Quran dan menggambarkan betapa besarnya prasangka baik nabi Zakaria kepada Allah taala. Beliau as tidak pernah jenuh, lelah, atau kecewa dengan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT.  Bagi saya yang manusia biasa, makna ayat yang berunsur doa ini sangatlah dalam menyentuh. Seorang nabi, kekasih Allah, mengetuk pintu dengan menghamba karunia-Nya dengan cara yang begitu lembut, begitu santun.

Diucapkan dengan penuh keyakinan, sikap merendahkan diri, sembari disertai dengan mengakui kelemahan, dan ketidakberdayaan akan dirinya, doa nabi Zakaria memenuhi unsur pengabulan. Di ayat selanjutnya, Allah menjawab bahwa Dia akan mengkaruniakan Nabi Zakaria as seorang putera yang kemudian kita kenal sebagai nabi Yahya as.

Kisah pengabulan doa nabi Zakaria as mengajarkan bahwa mengetuk bukanlah sekedar mengetuk. Ada etika menyapa, berkisah, berharap, dan memintal asa. Upaya ‘merayu’ yang agar dengannya Allah ridhokan jalan perjuangan, kabulkan segala doa, dan permudah jalan menggapai cita.

Sebagai manusia, kita tak lepas dari keinginan dan cita-cita. Berdoa adalah salah satu cara mengetuk pintu keridhoan-Nya, membuka pintu rezeki-Nya, dan berharap untuk mendapatkan rahmaniyyat– Nya. Termasuk mengharapkan kondisi khusnul khatimah (akhir yang baik) saat nanti bertemu dengan-Nya.

Melalui lisan mengucap doa, kita memang telah mengetuk pintu-Nya berharap terkabulnya pinta. Namun tak jarang kita lupa pada etika.

Hati memang sudah sudah berdoa, tetapi masih minimalis dalam berusaha. Meminta agar menjadi yang terbaik di bidangnya, namun belajar masih saja seadanya. Meminta akan keberhasilan usaha, namun masih suka mendekati deadline mengerjakan segala sesuatunya. Meminta bertambahnya materi dunia, namun bermalas-malasan dalam memenuhi agenda hariannya. Berharap diberikan ridha atas setiap yang diupayakan, namun lupa berbakti dan meminta ridha dari orang tua.

Bisa juga terjadi kondisi dimana kita meminta dengan begitu kencang, tapi ibadah masih suka terlalaikan. Mengucap doa dengan lidah yang masih memakan makanan dari sumber yang tidak halal. Padahal pengabulan doa itu minimal harus bersesuaian dengan kesucian jiwa rohani dari pendoanya. Karena sudah secara alamiah, Allah menjadikan jasmani dan rohani dalam relasi hukum sebab dan akibat.

Ya, bisa jadi masih banyak kecacatan etika kita dalam menyampaikan pinta. Akan tetapi, di antara kelalaian-kelalaian hati dan pikiran, ketergesaan dan ketidaksabaran akan pengabulan, serta sikap yang hanya datang kepada-Nya saat diri penuh dengan kegelisahan namun lupa berucap syukur atas kehadiran nikmat-Nya yang tak terkira, Dia kerap tetap kabulkan permohonan. Sungguh kasih sayang Allah pada kita sangatlah luar biasa. Maka selayaknyalah kita berucap syukur dengan terus memperbaiki cara meminta kepada-Nya. Memperbaiki etika dalam berdoa, karena doa merupakan bahasa ketergantungan kita atas rahmat-Nya. Masih mauud as pernah bersabda:

“Our weapon is only prayer and purity of hearts”

Senjata kita hanyalah doa dan kebersihan hati

dan dalam Al- Quran pun, Allah taala berfirman:

“Berdoalah pada-Ku; Aku akan mengabulkan doamu”

(QS. Al Mu’min [40:61])


Oleh: Khaula Nurrul Hakim

Sumber:
1. Al Quran; Terjemah dan tafsir singkat. JAI
2. Barakat-ud-Du’a Ruhani Khazain vol. 6 hal-11-12
3. Friday Sermon: Power of Prayers for Special Help. Dapat diakses di : https://www.alislam.org/friday-sermon/printer-friendly-summary-2014-08-08.html
4. The Essence of Islam vol. II hal. 195

Sumber Gambar:
thefinancialexpress.com