Baca bagian sebelumnya : Anak ‘x’ digunakan oleh Yesus (as) | RajaPena.Org
Terlihat bahwa konteks historis yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan Yahudi selanjutnya menunjukkan dengan jelas penafsiran non-tuhan kepada istilah ‘anak Tuhan’. Pertanyaan selanjutnya adalah, ‘apakah Yesus (as) pernah menjelaskan penggunaan istilah ini sendiri?’
Ini merupakan poin yang secara khusus penting, karena pernyataan Yesus (as) sendiri tentu akan lebih penting dan lebih berwenang dari penafsiran orang lain, baik kontemporer maupun orang yang ada di masa selanjutnya. Dalam kasus ini, kita beruntung karena memiliki kesaksian tersebut.
Hanya ada di sebuah tempat dari keempat Injil dimana Yesus (as) menjelaskan penggunaan istilah ‘anak Tuhan’ yang berhubungan dengannya sendiri. Penjelasan ini terdapat didalam Injil Yohanes, dimana secara kebetulan, juga merupakan satu-satunya Injil dimana Yesus dinyatakan telah menggunakan istilah ini secara khusus untuk dirinya sendiri.
Di dalam Injil Yohanes, dikatakan bahwa Yesus menyatakan ia satu bersama sang Bapa, yang karenanya orang-orang Yahudi berusaha untuk melemparinya dengan batu, menyatakan bahwa ia telah melakukan penghujatan karena ia menyebut dirinya sendiri, Tuhan.
Yesus menjawab: ‘ tidakah ada tertulis dalam Kitab Taurat kamu: ’Aku telah berfirman: kamu adalah Allah?’ Jikalau mereka kepada siapa firman itu disampaikan—sedang kitab suci tidak dapat dibatalkan—masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan telah diutus-Nya kedalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.’ (Yohanes 10:34-36)
Hal ini menarik bahwa di sini Yesus (as) menjawab pertanyaan bahwa bagaimana ia satu bersama Tuhan, sementara juga memberikan penjelasan bagaimana ia atau setidaknya ia disebut seorang ‘anak Tuhan’. Satu penjelasan yang memungkinkan untuk ini adalah penafsiran menjadi satu dengan Tuhan adalah sama dengan menjadi anak Tuhan. Atau, bahwa dalam proses menjawab keberatan utama mereka, ia juga menjelaskan keberatan lain yang mereka miliki, yaitu pangkat ‘anak Tuhan’.
Dalam beberapa kasus, untuk menjawab tuduhan hujatan mereka, ia menyatakan bahwa dalam kitab suci Yahudi mereka sendiri menunjuk kepada manusia tertentu sebagai Allah. Referensi ini ada di dalam kitab Mazmur, dimana dikatakan: Aku sendiri telah berfirman: Kamu adalah Allah; namun seperti manusia kamu akan mati seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas’. (Mazmur 82:6-7)
Orang-orang Yahudi tidak pernah menafsirkan teks semacam itu secara harfiah, tapi mereka akan selalu memahaminya sebagai metafora (kiasan)—sebuah istilah yang diterapkan kepada manusia yang telah diberi perintah ilahi. Oleh karena itu, argumennya adalah jika ia telah menggunakan istilah anak Tuhan untuk dirinya sendiri, apakah masalah yang mereka miliki dengan istilah metafora (kiasan) itu yang lazim bagi mereka dan ditafsirkan sepenuhnya dalam corak monotheistis? Bahkan, menjadi ‘anak Tuhan’ bukan betul-betul bukan permasalahan atau klaim besar (secara teologis dan polemis) sebagaimana menjadi Tuhan, namun, mereka menafsirkan yang terdapat di dalam kitab suci mereka dalam corak sepenuhnya monotheistis, tetapi secara tidak adil tidak melakukannya dalam kasus Yesus, dan juga secara komparatif dengan klaim yang lebih rendah.
Ia (Yesus) melanjutkan dengan menegaskan bahwa penggunaan istilah ini adalah salah satu penyerapan; dari sebuah makna metafora (kiasan), sepenuhnya monotheistis dan tidak menegaskan keilahian dalam bentuk apapun: Janganlah percaya padaku sampai aku melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapaku. Tetapi, jikalau aku melakukannya, meskipun kamu tidak mau percaya kepadaku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu,….(Yohanes 10:37-38)
Ia tidak berkata kepada mereka, “Percayalah kepadaku karena sifatku. Aku adalah benar-benar Tuhan, berlututlah di hadapanku dan patuhilah kekuatan ilahiku.”
Namun, ia mengarahkan mereka untuk melihat pekerjaan-pekerjaannya—ia menyatakan bahwa ia melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan, artinya, ia memenuhi perintah-perintah Tuhan. Ia mengklaim bahwa ia adalah seorang yang saleh yang melakukan perintah Tuhan di bumi. Oleh karena itu, ia adalah ‘anak Tuhan’ dalam artian pekerjaan-pekerjaannya yang membuat ia menjadi anak Tuhan. Pekerjaan-pekerjaannya membuktikan bahwa ia adalah anak Tuhan dalam corak yang sama dengan pekerjaan-pekerjaan orang-orang saleh sebelumnya membuktikan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan.
Ini benar-benar sejalan dengan pemikiran Yahudi, yang membicarakan mengenai orang-orang yang kesalehan mereka memberi mereka pembeda dengan diberi label anak-anak Tuhan:….. sebuah sebutan yang juga dimiliki oleh siapapun yang kesalehannya telah menempatkannya kedalam hubungan dengan Tuhan (lihat Wisdom ii. 13, 16, 18; v. 5, where ‘the sons of God’ are identical with ‘the saints’; comp. Ecclus. [Sirach] iv. 10). Melalui hubungan-hubungan pribadi yang seperti inilah dengannya seseorang menjadi sadar akan sifat ke-Bapa-an Tuhan….[1]
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dipilih oleh Tuhan sebagai Pembaharu di zaman ini. Beliau diutus oleh Tuhan untuk menjelaskan ajaran Islam dan juga memperlihatkan kebenarannya. Ia menyatakan diri sebagai Yesus (as) yang kedatangannya yang kedua telah ditunggu-tunggu — al-Masih yang Dijanjikan. Ia mendedikasikan diri dengan menulis ratusan halaman dalam meneliti dan menjelaskan kebenaran Yesus (as). Di satu tempat, ia menulis, “Berdasarkan pemahamanku, nabi-nabi lain adalah lebih tinggi daripada Yesus (as) dalam hal julukan dan sebutan ini. Ini karena Yesus (as) sendiri telah memutuskan perkara ini dan berkata, ‘Kenapa kamu berdukacita karena aku menggunakan istilah ‘anak Tuhan’?’ Ini bukanlah sebuah ujian besar. Di dalam Mazmur, dikatakan, ‘kamu adalah Allah’.
Sabda-sabda Yesus (as) yang tertulis di dalam Yohanes 10:35: ‘Aku telah berfirman bahwa kamu adalah Allah?’ Jikalau ia, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah—sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan—masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.’
Sekarang mereka yang adil haruslah mempelajari ayat-ayat tersebut dengan ketakutan kepada Allah Yang Maha Esa dalam hati mereka. Bukankah ini merupakan suatu keharusan bagi Yesus (as) pada kesempatan itu, ketika ke-anak-annya telah dipertanyakan, ia berkata, bahwa kalau ia benar-benar anak Tuhan, maka harusnya dia katakan, ‘Aku adalah anak Allah Yang Maha Esa, dan kamu sekalian adalah manusia’!? Namun seballiknya, ia menantang mereka melalui jawabannya dalam corak yang dia kemukakan dekat dengan berargumen, “Kamu sendiri termasuk dalam corak perkataanku secara lebih hebat. Aku telah disebut ‘anak’ padahal kamu telah disebut ‘allah’.”[2]
Baca bagian selanjutnya : ‘Anak Tuhan’ vs. ‘Anak Manusia’ dan ‘Anak’ | RajaPena.Org
[1] The Jewish Encyclopedia, vol. 11, pg. 461, under ‘Son of God’
[2] (جنگ مقدس صفحہ ۱۰۸، روحانی خزائن جلد ۶) Jang-e-Muqaddas (The Heavenly War), pg. 108, Ruhani Khazain (Spiritual Treasures) vol. 6: میری دانست میں تو اور انبیاء حضرت مسیح علیہ السلام سے اس القاب یابی میںؔ بڑھے ہوئے ہیں۔ کیونکہ حضرت مسیحؑ خود اس بات کا فیصلہ کرتے ہیں اور فرماتے ہیں کہ میرے ابن اللہ کہنے میں تم کیوں رنجیدہ ہوگئے یہ کونسی بات تھی زبور میں تو لکھا ہے کہ تم سب الہ ہو۔ حضرت مسیحؑ کے اپنے الفاظ جو یوحنا ۱۰باب۳۵ میں لکھے ہیں یہ ہیں کہ میں نے کہاتم خدا ہو جبکہ اس نے انہیں جن کے پاس خدا کا کلام آیا خدا کہا اور ممکن نہیں کہ کتاب باطل ہو تم اسے جسے خدا نے مخصوص کیا اور جہان میں بھیجا کہتے ہو کہ تو کفر بکتا ہے کہ میں خدا کا بیٹا ہوں۔ اب منصف لوگ اللہ تعالیٰ سے خوف کرکے ان آیات پر غور کریں کہ کیا ایسے موقعہ پر کہ حضرت مسیحؑ کی ابنیت کے لئے سوال کیا گیا تھا حضرت مسیحؑ پریہ بات فرض نہ تھی کہ اگر وہ حقیقت میں ابن اللہ تھے تو انہیں یہ کہنا چاہئے تھا کہ دراصل خدا تعالیٰ کا بیٹا ہوں اور تم آدمی ہو۔ مگر انہوں نے تو ایسے طور سے الزام دیا جسے انہوں نے مہر لگا دی کہ میرے خطاب میں تم اعلیٰ درجہ کے شریک ہو مجھے تو بیٹا کہا گیا اور تمہیں خدا کہا گیا۔ .