Baca bagian sebelumnya : Pengadilan terhadap Yesus (as) dan permulaan dari yang akhir | RajaPena.Org
Dalam membaca Injil, seseorang menemukan penyerahan diri tertentu dalam kata-kata dan tindakan Yesus sebelum penyaliban. Tuhan telah mengatakan kepadanya bahwa itu adalah sesuatu yang harus dia tanggung, dan karena itu tampaknya dia menerima peristiwa-peristiwa sebelum penyalibannya sebagai sesuatu yang perlu dan pada akhirnya tidak dapat diubah; itu merupakan keputusan Tuhan. Karena itu, dia tidak melarikan diri dari daerah itu, atau berdebat dengan Sanhedrin Yahudi; sebaliknya, menurut Markus, tampaknya dia memberi mereka tanggapan yang lengah, seolah-olah untuk mempercepat proses sehingga mereka yang pada akhirnya dapat menyerahkannya kepada otoritas Romawi. Tampaknya pengadilan itu berlarut-larut sepanjang malam (Yohanes 18:28). Dia juga tidak mencoba menjelaskan situasinya kepada Pilatus ketika ditanyai, hal itu sangat mengejutkannya (Matius 27:14).
Hadhrat Masih Mau’ud as menyatakan, “Menurut hemat saya, Hadhrat ‘Isa (as) pasti pernah melihat beberapa mimpi [nubuatan] tentang penyalibannya dan takut bahwa dalam peristiwa penyalibannya, orang-orang Yahudi yang bodoh akan menganggapnya dalam stigma terkutuk. Inilah mengapa dia berdoa dengan bersungguh-sungguh sehingga doa itu dikabulkan. Tuhan telah mengubah takdir itu sedemikian rupa sehingga tampaknya dia disalibkan lalu dikurung di dalam kubur, namun hal itu seperti Yunus, dia masuk dalam keadaan hidup dan keluar dalam keadaan hidup pula. Para Nabi itu sangat berani dan dia tidak pernah takut terhadap orang-orang Yahudi yang malang itu.” [14][1] [15][2]
Gagasan Anak Tuhan dalam Masyarakat Yunani dan Romawi
Setelah penyaliban Yesus (as), melalui usaha Paulus dan kelompoknya, konsep yang diputarbalikkan mengenai Yesus mulai disebarkan di antara orang-orang non Yahudi. Setidaknya beberapa orang Kristen non Yahudi yang bertobat dan kemungkinan besar dari mereka dengan sangat cepat mendewakan Yesus (as), dan istilah ‘Anak Allah’ mulai diterapkan padanya dengan cara yang ilahi dan politeistik.
Orang-orang bukan Yahudi ini tidak mengabaikan istilah ‘Anak Tuhan’ – itu adalah istilah yang cukup umum dalam mitologi Romawi. Namun demikian, pemahaman mereka tentang istilah tersebut adalah salah satu yang jauh dari konteks Yahudi di mana itu pada awalnya digunakan untuk Yesus (as): ‘Anak Allah’ adalah gelar kerajaan yang beredar dari Mesir dan Timur ke kerajaan-kerajaan Helenistik (Yunani) dan Kekaisaran Romawi (misalnya, Alexander Agung disebut ‘putra Amon’ dan ‘putra Zeus’). Penggunaannya di Kekaisaran Romawi pada awalnya lebih merupakan pernyataan ideologi politik daripada penerapan kepercayaan mitologis tentang generasi ilahi (misalnya, Oktavianus, yang menyebut dirinya sebagai dalam bahasa Latin: Divi filius = anak keturunan Tuhan). ‘Tuhan’ dan ‘ilahi’ juga diterapkan pada individu yang luar biasa, termasuk penyair, filsuf, pemimpin militer, pelihat, dan pekerja yang membangun bangunan keajaiban (misalnya, Plato, Apollonius dari Tyana, Pythagoras); Ide utama yang muncul dalam penggunaan istilah semacam itu adalah kekuatan yang tidak biasa. Dalam arti terkait, anggota serikat yang dibentuk di bawah perlindungan berbagai dewa menyebut diri mereka ‘anak’ atau ‘anak’ (Greek (bahasa Yunani): Paídes) dewa itu.[3]
Terlepas dari penggunaan bersifat politiknya, kata itu banyak digunakan sebagai istilah untuk mendefinisikan keilahian para dewa dan para tokoh pahlawan. Mitologi Romawi dan Yunani sangat banyak dengan sosok manusia Ilahi atau tokoh-tokoh dewa. Kisah-kisah tentang dewa yang melahirkan dewa setelah bergaul dengan perempuan dan laki-laki itu menjadi dewa setelah kematian dan ini merupakan suatau hal yang umum. Alam ketuhanan adalah panteon, alam yang dipenuhi dengan Dewa, yang masing-masing harus disembah. Selain itu, tidak ada garis tegas antara alam ketuhanan dan fana. Seorang fana bisa ‘naik’, dan menjadi dewa, layak disembah dan dihormati. Jadi, bagi orang gentiles (bukan Yahudi) yang bertobat mengakui Kekristenan, istilah ‘Anak Allah’, terutama kaitannya dengan Yesus yang bukan tokoh politik harus dipahami secara harfiah.
Mitologi Yunani dan Romawi memungkinkan semua jenis interaksi antara alam ketuhanan dan alam fana. Terdapat kisah dimana dewa untuk sementara menjadi manusia, seperti halnya dewa Yupiter dan Merkurius menyamar sebagai manusia dan mengembara di bumi. Ada juga kisah tentang dewa yang dilahirkan dari dewa dan manusia, seperti dalam kasus Alexander Agung, yang dianggap sebagai putra dewa Zeus dan ibu manusia Olympias atau dalam kisah Hercules, yang dianggap sebagai putra dari dewa Zeus dan Alcmene yang fana. Plato juga dianggap oleh beberapa orang sebagai putra dewa Apollo.
Ada juga cerita tentang manusia yang menjadi ilahi karena perbuatan besar mereka. Romulus, pendiri kekaisaran Romawi dianggap lahir dari persatuan antara dewa Mars dan seorang perawan yaitu Rhea. Dia seharusnya diangkat ke surga dan dijadikan dewa di surga setelah dia mendirikan kota Roma. Julius Caesar dinyatakan telah menjadi dewa setelah pembunuhannya dan diterima di jajaran dewa agung. Putra angkatnya, Oktavianus (atau Caesar Augustus) dikatakan sebagai putra dewa Apollo dan seorang wanita fana yaitu Atia. Karena ayahnya dinyatakan sebagai dewa, ia dinyatakan sebagai putra Allah selama masa hidupnya, dan juga secara anumerta dinyatakan sebagai dewa. Kaisar lain dinyatakan sebagai dewa secara anumerta, meskipun banyak yang disembah sebagai dewa saat masih hidup. (Lihat ‘How Jesus Became God’ atau ‘Bagaimana Yesus Menjadi Tuhan’, Bart D. Ehrman, hal 14-20.)
Baca bagian selanjutnya : Yesus Menjadi Putra Ilahi | RajaPena.Org
[1] Haqiqatul Wahi (The Truth about Revelation), pg. 287. Eng. Trans. pg. 349, Ruhani Khazain (Spiritual Treasures) vol. 22: مجھے معلوم ہوتا ہے کہ حضرت عیسیٰ نے اپنے سُولی دئے جانے کی نسبت کوئی خواب دیکھی ہو گی اس لئے ان کے دل میں یہ خوف دامنگیر ہوا کہ اگرمیں سُولی دیا گیا تو شریر یہودی لعنتی ہونے کی تہمت میرے پر لگائیں گے پس اسی وجہ سے انہوں نے جان توڑ کر دعا کی اور وہ دعا قبول ہو گئی اور خدا نے اس تقدیر کو اس طرح بدل دیا کہ بگفتن سُولی پر چڑھائے گئے۔ قبر میں بھی داخل کئے گئے مگر یونس کی طرح زندہ ہی داخل ہوئے اور زندہ ہی نکلے۔ نبی بہادر ہوتے ہیں ذلیل یہودیوں کا ان کو خوف نہ تھا۔ منہ
(حقیقة الوحی، صفحہ ۲۸۷، روحانی خزائن جلد ۲۲) .
[2] Nishan-e-Asmani (A Heavenly Sign), pg. 455, Ruhani Khazain (Spiritual Treasures) vol. 4
[3] (Myers, A. C. (1987). The Eerdmans Bible dictionary (961). Grand Rapids, Mich.: Eerdmans.)