Benarkah Gus Yaqut Menyamakan Suara Azan pakai TOA dengan Anjing?

1069

Bagaimana, kalian sudah menonton pernyataan dari Gus Yaqut mengenai pengeras suara yang hanya dibatasi maksimal 100 dB? Jujur, saya tidak menemukan kesalahan apapun dengan pernyataan Menteri Agama tentang analogi pengeras suara dengan anjing itu. Saya nonton berkali – kali di youtube, dimana salahnya ya, apa iya dia menghina agama menyamakan pengeras suara dengan anjing? Tak ada tuh. Buat kalian yang ketinggalan berita atau belum menonton pernyataan Gus Yaqut terkait pengeras suara masjid maksimal 100 dB, bisa disaksikan di youtube, saya kasih link nya di bagian akhir.

Dari pemahaman saya setelah menyaksikan pernyatan dari Gus Yaqut, Menteri Agama hanya ingin mengibaratkan ketidaknyamanan masyarakat akan ramainya bunyi pengeras suara waktu azan yang berbarengan kuat – kuatan suara. Itu pastinya mengganggu warga sekitar, apalagi mendekati waktu subuh. Misalnya ya, subuhnya sekitar jam 4:30, tapi suara ngaji pakai toa yang kerasnya luar biasa bahkan sudah terdengar mulai jam 3 pagi. Kebayang gak sih, orang jadi gak bisa tidur terus misalnya ada bayi yang terganggu atau orang sakit yang butuh istirahat, mereka diganggu dengan suara ngaji yang begitu keras, yang bahkan itu cuma kaset yang diputar berulang – ulang setiap hari, mengganggu kan?

Ini sebenarnya pertanyaan saya dari dulu yang sempat pendam dari waktu saya SMA kelas 10. Kenapa yaa mereka yang ngakunya religius yang sering datang ke masjid untuk beribadah malah tidak punya empati kepada warga sekitar? Apa yang ingin mereka capai dengan pengeras suara yang disetel dengan volume maksimal? Supaya orang tergerak hatinya dengan bacaan kitab suci dan akhirnya masuk islam, gitu? Reaksi yang didapatkan malah sebaliknya. Orang kesal karena di saat mereka butuh istirahat karena seharian bekerja keras, harus terganggu dengan bunyi dari pengeras suara yang memekakkan telinga. Tapi orang jadi tak berdaya karena kalau ditegur sedikit, orang-orang religius itu pasti ngamuk dan menuding si orang yang menegur itu sudah menghina agama.

Seperti kasus Meliana di Tanjungbalai tahun 2016 seharusnya menjadi pelajaran. Meliana, warga nonmuslim sangat terganggu dengan suara azan pakai pengeras suara yang semakin lama semakin keras dan mengganggu yang rumahnya berdekatan dengan masjid. Mungkin karena stress, Meliana lalu marah-marah. Akhirnya marah-marahnya Meliana dipelintir ke mana-mana sampai menjadi isu SARA. Dan masyarakat religius itu ngamuk dan membakar kelenteng dan vihara. Ini gara-gara suara azan yang terlalu keras, akhirnya malah bakar-bakaran. Meliana malah menjadi tersangka, kemudian masuk penjara.

Permasalahan pengeras suara di Indonesia ini sudah jadi keluhan lama. Tapi tidak banyak orang yang berani menegur pengurus masjidnya karena mereka takut digeruduk massa. Akhirnya mereka memendam kebencian, yang kemudian ditimpakan ke agama islam. Agama islam lalu mendapat stigma negatif karena dianggap tidak punya empati kepada mereka yang nonmuslim.

Heran memang, toa-toa di masjid itu sudah masjidnya berdekatan, mereka seperti berlomba keras-kerasan suaranya seakan sedang bersaingan sama masjid sebelahnya. Benar kata Gus Yaqut, ini bukan syiar namanya. Syiar itu membawa kesejukan, kedamaian, ketenangan, kebahagiaan. Kalau warga malah jadi budeg kupingnya, menggerutu hatinya, bahkan sampai dendam dan membenci karena terus menerus terganggu, itu bukan syiar namanya, tapi cari masalah.

Nah, masalah inilah yang ingin segera diselesaikan oleh Menteri Agama. Toa-toa atau pengeras suara itu ingin ditertibkan, dikecilkan suaranya supaya tidak mengganggu. Karena itulah dikeluarkan surat edaran Menteri Agama untuk mengatur pengeras suara. Sebuah niat bagus yang seharusnya sudah dilakukan sejak lama oleh Menteri Agama sebelumnya. Meskipun saya sendiri tidak begitu yakin surat edaran itu punya dampak, karena tidak ada sanksi di dalam pelaksanaannya.

Dengan gaya Bahasa yang nonformal, Gus Yaqut menyampaikan itu di depan wartawan. Dia mengajak kita semua empati dengan perasaan nonmuslim yang setiap hari selama 5 kali sehari mendengar suara azan dengan suara toa yang volumenya maksimal, pastilah banyak orang terganggu. Gus Yaqut juga mengambil analogi sederhana, seandainya kita tinggal di sebelah rumah yang banyak pelihara anjing yang terus menggonggong. Pasti kita pun akan terganggu.

Eh, pernyataan Gus Yaqut yang menganalogikan perasaan terganggu seseorang mendengar suara azan keras dan perasaan terganggu seseorang karena mendengar suara anjing menggonggong terus menerus itu, disatukanlah dalam satu judul oleh media online. Jadilah persepsinya berubah “Gus Yaqut menyamakan azan pakai toa dengan anjing”. Kocak memang.

Bahkan sekelas partai koalisi seperti PPP, PKB dan Golkar termakan narasi clickbait itu dengan menyuruh Menteri Agama minta maaf. Kalau partai oposisi mah biasalah, mereka suka cari panggung atas nama agama, itu memang kerjaan mereka. Yang paling lucu lagi Roy Suryo, mantan Menteri era SBY yang pernah tersangkut kasus hilangnya panci – panci di kantor Kemenpora. Dia melaporkan Menteri Agama atas dasar penistaan agama. Ini apa – apaan? Dia melaporkan Menteri Agama atas dasar persepsi dia sendiri atas pernyataan Gus Yaqut itu. Ya jelas lah laporannya ditolak sama polisi.

Fakta yang lebih menarik, sensitivitas masyarakat di era media sosial ini memang sekarang jadi setipis kertas. Gampang banget tersinggung sampai berniat melaporkan ke polisi hanya gara-gara hal remeh-temeh atau sepele yang kadang itu hanya berdasarkan asumsi pribadi mereka. Memang benar seperti bot dan akun palsu sengaja membuat narasi atau komentar di media sosial dengan asumsi pribadi supaya orang yang lugu terhadap medsos pun berhasil terpancing oleh opini itu. Apalagi kemakan clickbait dari judul berita media online yang butuh traffic tinggi. “Bad news is good news” itu motto media supaya banyak yang baca berita dan mampir ke link nya.

Kalau saya sih sudah berada diposisi Wakil Menteri Agama, saya akan somasi balik tuh Roy Suryo. Enak banget main somasi tanpa dasar hukum dan bukti data yang kuat. Biar sebagai pelajaran, biar tidak seenaknya somasi orang. Nanti kalau RS jadi tersangka, titipkan ke pak polisi, biar nanti satu sel sama panci, dandang, parabola sampai pompa dragon, sekalian jual perabotan ke napi-napi lainnya.  Jalan terus Gus Yaqut, bapak tidak salah kok. Yang salah itu orang-orang yang mempolitisasi apa yang bapak ucapkan berdasarkan kepentingan politik pribadi. Saya yang paling khawatirkan itu cuma satu, dan ini pesan terakhir untuk Gus Yaqut dari saya, semoga Gus Yaqut bisa mampir ke website Rajapena.

 “Gus, hati-hati dengan jabatan saat ini. Jabatan itu amanah sekaligus racun yang mematikan. Hindari juga gratifikasi atau sogok menyogok dari orang lain di sana. Karena sekali saja Anda tertangkap KPK misalnya, maka runtuhlah simbol perlawanan yang susah payah dibangun selama ini dan membekas di hati banyak orang yang berharap pada Anda. Jaga sikap dan selalu berhati-hati juga dalam menyampaikan pernyataan ke media. Kalau sudah selesai tugas di tahun yang akan datang sebagai menteri, bolehlah kita nongkrong, berdiskusi sambil ketawa-ketiwi dan bercerita tentang lucunya hidup ini bersama kaum minoritas termasuk Jemaat Ahmadiyah sambil makan sate maranggi dan seruput secangkir kopi.”

Itu dia pembahasan soal toa yang tak kunjung selesai, semoga kaum mayoritas dan minoritas menjadi pembelajaran sekaligus menyadari dalam kejadian sebelumnya menghadapi kelompok yang ngakunya religius sekaligus racun yang melawan ideologi pancasila. Belajarlah seperti kami, Jemaat Ahmadiyah sama sekali tidak pernah menggunakan pengeras suara luar masjid yang justru malah mengganggu warga sekitar seperti kegiatan Tilawat Quran, ceramah, dan keisengan anak-anak, tapi pengeras suara luar masjid itu hanya digunakan ketika menjelang salat 5 waktu. Karena kami punya rasa empati kepada warga sekitar, Tuhan memberkati kalian, begitulah sobat rajapena.


Penulis: Hafiz Abdul Jabbar

Referensi:

https://kaltim.kemenag.go.id/berita/read/424433

https://www.kompasiana.com/fredysuni/5fb55e6ad541df7c40135bb2/sensitivitas-pengguna-media-sosial

https://tirto.id/aturan-toa-masjid-kemenag-dan-pengeras-suara-masjid-di-arab-saudi-gpny

https://populis.id/read12213/dituding-pelintir-omongan-menag-roy-suryo-akui-yaqut-nggak-nyebut-azan-dalam-video-yang-dijadikan-barbuk

https://www.rmolnetwork.id/klarifikasi-gus-yaqut-agama-jangan-menjadikan-manusia-sewenang-wenang