Masyarakat dan Budaya Konsumtif saat Bulan Ramadhan

921

Ramadhan adalah bulan yang istimewa dimana pintu pahala terbuka lebar yang mampu diperoleh bila setiap Muslim mampu menahan serta membersihkan diri dari hawa nafsu duniawi, salah satunya adalah perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif adalah kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan secara tidak terencana secara impulsif. Lebih lanjut, fenomena ini dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, personal, dan psikologi yang di dukung oleh pemasaran yang agresif serta iklan-iklan yang persuasif kepada masyarakat[1]. Perilaku konsumtif nampaknya merupakan godaan yang jauh lebih berat dari menahan lapar dan haus saat Ramadhan karena adanya kecenderungan manusia merasa puas dengan makanan yang berlimpah, mengikuti tren, dan kebiasaan masyarakat melakukan flexing dalam media sosial.

Konsumtif dalam Perspektif Islam

Dalam perspektif ekonomi Islam, semua barang dan jasa membawa pengaruh pada kemaslahatan disebut dengan kebutuhan manusia. Misal makan makanan yang halal dan bergizi merupakan kebutuhan manusia agar tetap hidup sehat. Keinginan adalah sesuatu yang terkait dengan hasrat, jika dipenuhi belum tentu meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun sesuatu. Keinginan merupakan bentuk kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh budaya dan kepribadian individual, manusia mempunyai keinginan nyaris tanpa batas, tetapi sumber dayanya terbatas[2].

Allah SWT telah mengingatkan perilaku boros manusia dalam surat Al-Isra ayat 27 :

اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS-Al-Isra : 27)

Ayat ini di dukung oleh hadits Rasulullah SAW berkenaan mengenai peringatan dalam menghindari perilaku konsumtif, Beliau SAW bersabda :

ما ملأ ابن ادم وعاء شرّا من بطن بحسب ابن ادم لقيمات يقمن صلبه فان كان فاعلا فثلث لطعامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه

Artinya : Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia, kecuali perutnya. Karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Perilaku Konsumtif saat Ramadhan

                Bulan Ramadhan tidak hanya mengenai ibadah semata, lebih dari itu berbagai produk telah dibungkus dalam komoditas berbau agama misalnya seperti iklan makanan dan pakaian yang telah dibungkus dengan nuansa Ramadhan, sehingga pada bulan puasa, umat Muslim menjadi segmen utama dalam pasar. Lahirnya tradisi buka puasa bersama dengan dengan sebagai ajang “silaturahmi/reuni” secara berlebihan juga turut pendukung lahirnya budaya konsumtif di bulan suci ini.

                Dilansir dalam survei mandiri yang dilakukan tirto.id diketahui bahwa selama bulan Ramadhan, mayoritas kaum muda Jakarta (56,4 persen responden) mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 1 juta – Rp 3 juta. Dengan rincian buka bersama/makanan (89,5 persen), membeli pakaian/sepatu (49,7 persen), serta infaq/sedekah (40,2 persen). Baik generasi muda wanita maupun pria di Jakarta menyatakan bahwa buka puasa bersama/makanan merupakan pengeluaran terbesar mereka. Konsumerisme ini tidak hanya berhenti ketika Ramadan berakhir. Selama periode hari raya (idul fitri), 55 persen responden menyatakan akan mengeluarkan uang hingga mencapai Rp 2 juta. Mereka mengalokasikan lebih dari 50 persen pendapatannya pada periode hari raya. Dilihat berdasarkan jenis kelamin, wanita akan mengeluarkan  uang lebih banyak dibandingkan pria. Pengeluaran selama idul fitri paling banyak digunakan untuk makanan, lalu uang lebaran, pakaian dan tiket mudik[3].

Survei ini di dukung oleh pernyataan Bank Indonesia, bahwa kebutuhan uang tunai pada Ramadhan tahun 2022 meningkat 13,42 persen dari tahun sebelumnya karena adanya aktivitas masyarakat saat Ramadan dan Idulfitri, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi dan pembayaran[4].

Menghindari Perilaku Konsumtif saat Bulan Ramadhan

                Dalam penjelasan Khalifah Ahmadiyah ke-2, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, puasa memiliki banyak hikmah diantaranya[5] :

  1. Menyeimbangkan konsumsi dengan membantu fakir miskin

Hikmah pertama adalah melalui puasa seseorang diselamatkan dari penderitaan. Selintas tampak mengejutkan bahwa puasa dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan karena faktanya orang mengalami lebih banyak kesusahan dengan berpuasa. Tetapi jika merenungkan, maka kita akan menyadari bahwa puasa sebenarnya mengajarkan kepada orang-orang dua pelajaran yang dapat melindungi orang-orang secara nasional.

Pelajaran pertama adalah orang-orang kaya yang biasa mengkonsumsi makanan terbaik sepanjang tahun seringnya tidak menyadari penderitaan saudara-saudaranya yang miskin yang mengalami kelaparan. Mereka tidak pernah merasakan bagaimana menderitanya jika kelaparan. Namun, melalui perintah Islam, orang-orang yang sangat kaya harus berpuasa dan kemudian mereka merasakan perihnya lapar dan mereka benar-benar dapat merasakan kondisi saudara-saudara mereka yang miskin, kemudian timbullah rasa simpati di hati mereka.

  • Menjadikan Bulan Ramadhan sebagai latihan menanggung berbagai kesulitan

Selain itu, Islam tidak ingin umat Islam menjadi malas, ceroboh dan tidak terbiasa menanggung kesulitan, tetapi Islam menginginkan supaya mereka mampu menanggung segala macam kesulitan ketika dibutuhkan. Setiap tahun, puasa menciptakan kekuatan ini pada umat Islam dan orang-orang yang mematuhi perintah ini tidak akan pernah menderita dengan meninggalkan sifat memanjakan diri dalam kemewahan dan kemudahan.

  • Menjadikan Bulan Ramadhan sebagai  sarana bersyukur

لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ

Artinya : Supaya kamu bersyukur. (Surah al-Baqarah : 186)

Hikmah kedua puasa adalah dengan merasakan pedihnya lapar maka hal ini akan menimbulkan rasa syukur yang kuat di dalam hati. Karena secara alami manusia tidak menghargai suatu nikmat saat mereka memilikinya, nilainya terasa ketika nikmat itu hilang dari mereka.

Orang yang memiliki mata pada umumnya tidak terpikir bahwa mata adalah berkah yang besar, tetapi ketika seseorang menjadi buta, barulah mereka memahami betapa bernilainya mata yang merupakan berkah besar luar biasa dari Allah Ta’ala.

Demikian pula, ketika seseorang merasakan lapar selama puasa, mereka akan menyadari betapa banyak kenyamanan yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka, dan dengan kehidupan yang nyaman itu mereka harus melakukan banyak perbuatan baik bermanfaat dan tidak melakukan hal yang sia-sia.


Ditulis Oleh : Rhaska Fortuna Arimansah Putri

Sumber Gambar : https://www.qureta.com/post/puasa-dan-budaya-konsumtif

Referensi :

[1] Fauzia, I. Y., & Riyadi, A. K. (2014). Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqasid al-Syariah Cet. Jakarta: Kencana.

[2] Rozalinda. (2016). Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqasid Al-Syariah Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[3] Dhani, A. (2016, Juni 21). Konsumerisme Puasa. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/konsumerisme-puasa-bnTl

[4] Hendartyo, M. (2022, April 4). Ramadan 2022, Bank Indonesia Sediakan Rp 175,26 T Uang Tunai. Retrieved from Tempo.co: https://bisnis.tempo.co/read/1578268/

[5] Tim Ahmadiyah.id. (2022, April 3). Hikmah Puasa Ramadhan (Penjelasan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad). Retrieved from Ahmadiyah.id: https://ahmadiyah.id/hikmah-puasa-ramadhan-penjelasan-mirza-basyiruddin-mahmud-ahmad.html