Belakangan ini, salah satu aliran filsafat yaitu stoisisme (Stoik) begitu populer, terkhusus oleh kalangan anak muda yang sedang mencari jati diri, makna kehidupan dan menginginkan kehidupan yang lebih baik. Dalam lintas pemikiran, filsafat Stoik sering dikaitkan dengan beberapa ajaran agama, termasuk ajaran Islam. Ada banyak temuan serta irisan yang menunjukan bahwa Stoik dan Islam itu tampak sejalan. Stoik dan Islam sama-sama concern membahas tentang mengendalikan diri, menerima takdir, dan mencari ketenangan batin. Lalu apa perbedaanya? Apakah Stoik dan Islam benar-benar sejalan?
Perspektif Stoik tentang pengendalian diri adalah bahwa penderitaan manusia itu bermuara karena manusia tidak bisa memandang peristiwa dengan jernih, melainkan manusia sepatutnya melatih cara bereaksi terhadap hal-hal yang diluar kendali kita. Pengendalian diri menjadi kunci penting untuk menuju kebahgiaan, bukan perihal respon dari eksternal. Jika kita melihat pengendalian diri dalam perspektif Islam, pengendalian diri dipandang sebagai syarat penting dalam meraih kedekatan dengan sang maha pencipta. Emosi harus dikelola dan diselaraskan dengan ajaran Islam yang haqiqi. Dalam hadits, Abu Hurairah r.a.: “Rasulullah saw. bersabda: Orang yang kuat bukanlah orang yang (biasa menang) saat bertarung/bergulat, tetapi orang kuat itu adalah yang (mampu) mengendalikan nafsunya ketika marah.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Kedua perspektif tersebut sama sekali tidak bertentangan satu sama lain, keduanya menekankan tentang refleksi terhadap diri sendiri.
Selanjutnya mengenai menerima takdir, aliran stoik percaya bahwa takdir adalah sesuatu yang harus kita pasrahkan. Dalam bukunya Meditations, Aurelius menulis bahwa “Terimalah apa pun yang ditakdirkan oleh alam semesta untukmu, sebab ia menenun takdir kita bersama.”. Pandangan ini menekankan bahwa takdir adalah bagian dari keteraturan dan manusia harus selaras dengannya. Sedangkan, dalam Islam menerima takdir adalah salah satu yang tertera dalam Rukun Iman. Khalifatul Masih V, Hazrat Mirza Masroor Ahmad dalam khutbahnya bersabda “Seorang mukmin sejati menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha, namun tetap berdoa dan berusaha. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam.”. Kedua perspektif tersebut menekankan bahwa penerimaan takdir adalah hal yang bijak sehingga adanya keseimbangan.
Berbicara mengenai ketenangan batin ala Stoik, ada kata populer bagi kaum Stoik yaitu apatheia yang berarti kondisi jiwa yang bebas dari emosi negatif, sehingga tercapai ketenangan batin. Epicetus menambahkan dalam bukunya bahwa “Jangan menuntut agar segala sesuatu terjadi sebagaimana yang engkau inginkan, tetapi berharaplah agar segala sesuatu terjadi sebagaimana adanya—maka engkau akan hidup dengan tenang.”. Ini berarti bahwa ketenangan batin adalah tentang rasa cukup. Selanjutnya, jika kita melihat ketenangan batin menurut Islam dipandang sebagai hasil dari penyucian jiwa, pikiran dan hubungan pribadi dengan Allah SWT. Khalifatul Masih V, Hazrat Mirza Masroor Ahmad Dalam salah satu khutbah Jumat beliau menekankan: “Ketenangan batin tidak bisa dibeli dengan kekayaan. Ia lahir dari doa, sabar, syukur, dan keyakinan penuh bahwa Allah mendengar dan menolong hamba-Nya.”. Kekayaan akan bisa menenagkan jika ia didapat dengan doa, kegigihan, kesabaran dan hasil dari perbuatan baik selama ini. Bisa kita tarik garis besarnya bahwa kedua perspektif tersebut mengajari kita bahwa ketenangan batin adalah tidak terlalu menggebu-gebu tentang keinginan. Karena sejatinya tidak semua keinginan manusia itu didasarkan pada kebutuhannya. Rasa cukup adalah bentuk ketenangan batin yang terkadang lebih sering dikaitkan dengan kemalasan, padahal rasa cukup bisa memberi sinyal ke otak kita untuk berhenti memikirkan hal-hal yang sebenarnya kurang esensial.
Kesimpulan mengenai pembahasan ini adalah bahwa Stoik dan Islam tidak sama. Karena stoik berpandangan bahwa kebenaran berasal dari akal dan alam semesta, sementara Islam menganggap bahwa alam semesta ini dijalankan oleh Allah SWT. Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita di luar sana adalah sebuah keniscayaan. Meskipun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya nilai-nilai Stoik yang selaras dengan nilai Islam.
Oleh: Adeel Fivo Nugraha
Referensi:
Malfuzat, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Khutbah Jumat Hazrat Mirza Masroor Ahmad, 6 April 2018 (alislam.org).
Khutbah Jumat Hazrat Mirza Masroor Ahmad, 7 Oktober 2016 (alislam.org).
Epictetus, The Enchiridion
Marcus Aurelius, Meditations
Ryan Holiday, Hening Adalah Kunci Terpenting