Islam dan Katolik telah menyepakati perihal pandangan hidup secara substansi dari akidah kedua agama tersebut. Segala sesuatu yang ‘hidup’ di alam raya ini bersumber dari Sang Hidup yang abadi dan memiliki hak prerogatif untuk berkehendak atas siapa saja yang ‘hidup’ agar berjumpa dengan kematian, artinya telah tertulis kontrak sepihak antara Sang Hidup dengan ‘Si Hidup’ itu untuk menyelesaikan sebuah permainan di dunia.
Berangkat dari sesuatu yang primordial, asal muasal hidup tak lepas dari suatu Dzat yang bersifat ‘Maha’. Lantas siapakah dia? Apakah dia juga ada penciptanya? Apakah si pencipta juga ada yang menciptakan lagi? Islam dan Katolik meyakini adanya wujud atau Dzat yang menciptakan pergerakan segala unsur di alam ini yang tampak secara zahir sehingga disebut hidup. Wujud atau Dzat tersebut adalah sesuatu yang terpatri dalam diri manusia (‘Si Hidup’ yang menduduki derajat paling tinggi di alam semesta) sebagai sembahan, pujaan dan diyakini memiliki daya magis yang luar biasa dalam menciptakan alam jagad raya juga sebagai pengatur tatanan yang ada di dalamnya. Dan Katolik menyatakan bahwa Tuhan adalah sumber hidup (Mazmur 36: 10). Sementara Al-Quran, Tuhan atau Sang Pencipta termaktub dalam Surah Al-Fatihah ayat 2.
Dengan demikian, peran Tuhan sebagai ‘tokoh’ supranatural juga masuk ke dalam dogma agama-agama ketika mengisahkan tentang penciptaan kehidupan. Kisah penciptaan versi kitab suci yang sama-sama dimiliki kaum Ibrani, Kristen dan Islam muncul dalam bab pertama kitab Perjanjian Lama dimana kisah ini menceritakan bagaimana Tuhan menciptakan langit, bumi dan semua makhluk hidup (termasuk manusia di dalamnya) dalam kurun waktu 6 hari1. Dan Al-Quran pun juga menegaskan posisi Tuhan sebagai creator dalam penciptaan alam semesta ini sebagaimana yang ditampilkan dalam ayat berikut:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam2.”
Para ilmuwan dan penulis buku-buku sains juga sering mengungkapkan fakta-fakta dibalik penciptaan kehidupan yang mana dikenal dengan istilah ‘evolusi’. Kreasi alam semesta melalui tahap evolusi juga didukung oleh Al-Quran sebagaimana dalam firman-Nya:
“Tidakkah orang-orang kafir melihat bahwa seluruh langit dan bumi keduanya dahulu suatu massa yang menggumpal lalu Kami pecahkan keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air. Apakah mereka tidak mau beriman?3”
Jelas dalam ayat tersebut bahwa Tuhan (Allah SWT) menciptakan alam semesta melalui proses evolusi dimana bumi dan langit pada mulanya adalah gumpalan kabut atau Nebula yang secara kimiawi merupakan uni gas yang sangat panas dan membuatnya mampu bergerak. Konjungsi para ilmuwan seperti Imanuel Kant, Laplace, Gerald P. Kuipper, Van Weizsacker dan yang lainnya terletak pada Nebula sebagai unsur kreasi alam dan menurut Van Weizsacker serta Gerald P. Kuipper, gumpalan kabut atau Nebula tersebut mengandung unsur-unsur gas Hidrogen dan Hellium yang berak lambat, kemudian perlahan-lahan menjadi cepat hingga akhirnya berubah menjadi padat yang mengakibatkan putaran padatan tersebut menjadi tak seimbang lalu pecah dan pecahan-pecahan inilah yang menjadi cikal-bakal planet-planet termasuk bumi tempat manusia berpijak4.
Kemudian dari planet bumi juga terjadi evolusi secara masif pada seluruh penghuninya, baik tumbuhan maupun hewan termasuk manusia di dalamnya. Konsep ‘Adam’ yang dialamatkan kepada manusia juga mengalami perubahan terus menerus secara berkala hingga manusia mencapai level klimaks dari proses evolusi yang kemudian dikenal dengan Homo sapiens. Seorang filsuf bernama John Locke mengatakan bahwa manusia adalah binatang hidup dengan eksistensi yang berlangsung terus, tanpa terpotong, dikendalikan oleh hukum-hukum perkembangan dan penyusutan yang berlaku untuk tubuh-tubuh binatang (manusia)5.
Perkembangan manusia secara fisik juga disertai perkembangan akal dan rohani. Hal ini juga melahirkan pemikiran-pemikiran manusia mengenai tujuan mereka dilahirkan dan dikehendaki oleh Tuhan untuk hidup di dunia ini. Prinsip hidup sebetulnya berakar pada bagaimana suatu makhluk dapat beraktivitas dan cenderung ingin menyempurnakan diri secara terus-menerus. Dalam hal ini Tuhan sebagai pemegang poros kehidupan memberikan hak kepada para makhluk (yang diciptakan-Nya) untuk berbuat sedemikian rupa namun tetap konsisten berada dalam rajah-Nya, termasuk manusia.
Dalam hal ini, Katolik berpandangan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan yang begitu istimewa dan hidup manusia adalah kudus sebagai anugerah kasih Tuhan. Gagasan tentang hidup merupakan konsep kunci dalam Injil Yohanes. Ini bukan saja karena hidup manusia adalah ciptaan Sabda Allah yang paling menakjubkan, tetapi karena dalam hidup manusia diungkapkan keluhuran dalam Sabda Allah yang menjadi manusia (Yohanes 1:14). Di dalam tubuh manusia, tidak hanya terdapat dimensi fisik, tetapi juga terdapat dimensi rohani6.
Keadaan biologis dalam sistem hormon dan syaraf menjadi prinsip sistem kontrol diri dalam manusia. Adanya dimensi rohani seperti yang telah disebutkan sebelumnya tidak dapat lepas dari unsur jasmaniah atau biologis yang memengaruhi motorik, gerak-gerik, pemikiran, etika, bahkan hati nurani seorang manusia. Misalnya ketika seseorang memiliki hasrat pada hal tertentu, maka sinyal-sinyal kimiawi yang terintegrasi dengan sistem koordinasi tubuh akan bekerja memengaruhi otak untuk memerintahkan anggota tubuh yang berwenang agar melakukan sebuah tindakan supaya hasrat yang terpendam dalam hatinya dapat terpenuhi. Oleh karena itu, output atau perilaku manusia juga merupakan manifestasi dari ‘permainan’ internal tubuh akibat suatu proses biologis yang dikendalikan oleh sistem hormon dan syaraf tersebut.
Dalam hidup manusia, jasad dan roh merupakan unit kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Paham ini kemudian disebut sebagai pandangan unitarian. Pepatah klasik mengatakan bahwa jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat (Mens sana in corpore sano). Bila dipahami, kalimat tersebut dapat memberikan contoh pada realita apabila tubuh manusia didera suatu penyakit maka jiwanya juga terganggu. Tidak sedikit kasus yang menyebutkan bahwa penyakit muncul karena pengaruh mental dan jiwa, bukan karena latar belakang fisik. Filsuf bernama JP Sartre melukiskan bahwa dari tubuh manusia tampak totalitas seluruh pribadinya (J’existe mon corps). Sedangkan Herbert Marcuse memandang tubuh manusia sebagai tempat atau alat pembebasan manusia, kesatuan dan keutuhan tubuh dan jiwa ditekankan sebab tubuh dan jiwa manusia saling terkait dan saling berpengaruh7.
Diskursus mengenai hakikat hidup manusia dalam Islam juga sejalan dengan prinsip unitarian seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as (Imam Mahdi dan Masih Mauud yang kedatangannya telah dinubuwwatkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW) bersabda bahwa anggapan mengenai roh adalah suatu cahaya latif (halus) yang tumbuh dari dalam tubuh manusia itu juga serta dibesarkan dalam rahim seorang ibu merupakan hal yang benar. Tak disangkal lagi bahwa adanya pertalian yang luar biasa antara roh dan nutfah dalam rahim wanita merupakan kehendak dan izin dari Tuhan Samawi dan roh merupakan inti cahaya nurani nutfah. Maka dari itu jelaslah bahwa Islam memandang roh tumbuh dalam diri itu juga dan berdasarkan keterangan itu pun bahwa roh adalah suatu makhluk8.
Sebagai kesatuan unit yang tak terpisahkan dari unsur jasmaniah, kehidupan roh manusia pun juga mengalami ‘evolusi’. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran dalam tafsir Surah Al-Qiyamah ayat 3 bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan jiwa manusia. Tingkat pertama disebut Nafs Ammarah (sifat kehewanan), tingkat kedua adalah Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali diri), dan tingkat ketiga adalah Nafs Muthmainnah (tingkat tertinggi pada perkembangan ruh manusia/jiwa yang tentram). Keadaan ketiga inilah roh manusia secara praktis menjadi kebal terhadap kegagalan dan ada dalam suasana ketentraman bersama Khaliq-nya9.
Demikian kesimpulannya adalah Islam dan Katolik sepakat bahwa kehidupan merupakan produk kreasi dari Sang Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dihidupkannya manusia di alam semesta ini membawa peristiwa evolusi jasmani yang diiringi dengan evolusi rohani (akhlak). Sebagaimana Tuhan dengan hikmah-Nya yang tidak pernah melesat dan sesuai dengan rencana agung telah memecahkan gumpalan debu dan pecahan yang bertebaran itu menjadi kesatuan wujud tata surya, persis seperti itu pula Dia mewujudkan suatu tertib rohani yang baru dalam suatu alam yang berguling-gantang10. Bila umat manusia hanyut dalam arus akhlak yang keruh dan langit kerohanian tersaput awan badai, maka Tuhan munculkan cahaya yang akan melenyapkan kegelapan itu dengan menzahirkan seorang utusan Ilahi sehingga lahirlah suatu alam semesta rohani yang luas melingkupi bumi dan menerangi kehidupan alam semesta termasuk manusia di dalamnya.
Referensi :
- Green, Jen. 2019. Routes of Science Evolution. The Brown Reference Group plc.
- QS Al-Fatihah:2
- QS Al-Anbiya: 31
- Nahdi, Saleh A. & Dadang Firdaus. Evolusi Manusia dalam Perspektif Al-Quran. Jakarta: Arista
- Teichman, Jenny. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius
- Bdk. Bernard Haring. Free and Faithful in Christ: Moral Theology for Priests and Laity: Vol. 3: Light to The World Salt for the Earth. Middlegreen, Slough: St. Paul Publicantions, 1981, 4-5
- Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar. Aborsi, Mastrubasi, Bayi Tabung, Hukuman Mati, Pemanasan Global. Yogyakarta: Kanisius.
- Ahmad, Mirza Ghulam. Filsafat Ajaran Islam. 9-10.
- Tafsir Saghir QS Al-Qiyamah (3). Al Quran Terjemah dan Tafsir Singkat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
- Tafsit Saghir QS Al-Anbiya (31). Al Quran Terjemah dan Tafsir Singkat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Image : unsplash.com
Oleh: Umar Farooq Zafrullah