Tujuan Ibadah: Pahala dan Imbalan

3369

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl, 129)

Waktu saya kecil, beberapa kali orang tua saya membujuk saya dengan permen atau iming-iming hal lain yang saya sukai supaya saya mau melakukan sesuatu yang tidak saya inginkan. Misalnya jika ada pemeriksaan ke dokter gigi atau jika ada imunisasi gratis di sekolah. Walaupun sebenarnya dua hal tersebut pada dasarnya baik untuk diri saya tapi sebagai anak kecil, saya dulu hanya melihat dari sudut pandang yang sempit. Iming-iming permen bisa dibilang merupakan sistem imbalan (reward) sederhana yang dilakukan orang tua saya untuk merubah pikiran saya yang tadinya tidak mau menjadi mau.

Sistem imbalan dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan mendapat reward jika seorang tersebut melakukan hal yang dikehendaki si pemberi imbalan. Katakanlah seorang karyawan akan diberi gaji dengan bonus yang besar apabila dia melaksanakan pekerjaannya dengan ekstra telaten dan sungguh-sungguh. Bisa dibilang bahwa sistem kehidupan sosial kita tidak jauh dari sistem imbalan ini.

Keniscayaan manusia yang selalu mengejar imbalan dapat dijelaskan dari sistem yang terjadi di dalam otak. Sebuah sistem primitif yang juga dimiliki oleh hewan-hewan lain. Pada manusia, sistem ini disebut sistem dopamine reward (imbalan dopamin) yang berupa aktifasi sel-sel saraf dopaminergik, diambil dari nama zat kimia saraf, yaitu dopamin. Yang sering dianggap sebagai hormon kebahagiaan. Pada dasarnya, semakin banyak dopamin beredar di otak kita semakin kita akan merasa bahagia.

Zat adiktif pada alkohol dan narkotik memiliki bentuk kimia yang mirip dengan dopamine, ini menjelaskan kenapa pecandu dapat merasa bahagia dengan mengonsumsi narkotika. Sistem ini sangat berperan dalam keselamatan (survival) di dunia ini, dari sistem itulah lahir insting hewani untuk mendekati hal-hal yang membuat kita bahagia, yang baik untuk kita dan menjauhi hal-hal yang membuat kita sengsara, yang berpotensi mengancam keberadaan kita.

Di dalam agama juga dikenal sistem imbalan, yaitu pahala. Sebuah imbalan abstrak yang sangat menentukan seperti apa kehidupan yang akan kita rasakan di akhirat nanti, surga atau neraka. Berbeda dengan permen, pahala tidak dapat kita lihat, pegang, dan rasakan serta tidak pula kita dapat menghitung jumlahnya. Oleh karena itu, bukanlah suatu sikap yang tepat apabila kita menjadikan banyaknya pahala sebagai penentu nasib kita di akhirat. Pahala juga bukan obyek yang harus dikumpulkan sebanyak banyaknya dan menjadi penggerak atau motivator utama kita dalam berbuat kebaikan di dunia ini.

Mindset yang terlalu terfokuskan dalam mencari pahala dapat menimbulkan bibit-bibit kesombongan. Misalnya si A, yang shalat fardhunya selalu di awal waktu, tidak pernah bolos shalat tahajjud, bahkan merawat janggutnya semata-mata untuk mengikuti sunnah Rasul. Jika si A terlarut dalam sistem jumlah pahala, tentu dia akan merasa pahalanya sudah terkumpul banyak karena amalan-amalannya itu. Lalu muncul rasa kesombongan dalam hatinya. Jika si A melihat si B misalnya yang shalat fardhu nya bolong-bolong dan tidak melaksanakan sunnah-sunnah rasul. Kesombongannya akan memuncak dan berujung pada perpecahan dan pengkafiran yang dilontarkan si A kepada si B.

Sebagai orang yang sudah dewasa dan memiliki pikiran yang sudah matang, seharusnya sistem pahala tidak menjadi tujuan kehidupan kita. Tujuan kita mencari pahala harus diubah menjadi tujuan kita untuk mendapatkan ridha dari Allah semata. Karena pada akhirnya, Dia lah sang Hakim yang dapat menentukan masuk atau tidaknya sebuah jiwa ke dalam surga-Nya. Ridha Allah tidak membicarakan jumlah, ridha Allah bersifat biner; yes or no, ridha atau tidak ridha. Subyeknya adalah Tuhan itu sendiri, jadi manusia tidak bisa menganggap dirinya lebih diridhai daripada orang lain.

Terlepas dari itu, memang secara hakikat seorang yang dewasa sudah mengetahui yang mana yang baik yang mana yang buruk, yang mana yang halal yang mana yang haram. Sehingga tidaklah harus kita terpaku dalam konsep abstrak ini (pahala dan dosa). Bagi orang dewasa, melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan adalah suatu keharusan. Bahkan dalam bentuk ketakwaan yang tinggi seseorang akan rela merasakan kesengsaraan hanya untuk mencari ridha Tuhannya.

Dari satu sisi itulah yang membedakan kita dengan hewan, disaat hewan mengikuti instingnya untuk mendekati hal yang membuat bahagia dan menjauhi hal yang dia tidak sukai, manusia mampu secara sukarela mendekati sesuatu yang merugikan baginya, bahkan mengorbankan sesuatu yang dia cintai tanpa mendapat imbalan semata-mata untuk membuat Allah ridha.


Oleh: Rafif Ardianto

Sumber Gambar: unsplash.com