Memenuhi Hak Allah Taala Dengan Mengkhidmati Orang Tua

2801

Laki-laki dewasa yang telah berkeluarga menjadi pemangku utama dalam politik berumah tangga. Dalam kapasitasnya sebagai ‘presiden’ atau ‘raja’, ia mengatur tatanan rumah tangganya sedemikian rupa sehingga terbentuk karakter rumah tangga yang sesuai dengan pola kepemimpinannya. Istilah ‘suami’ merujuk kepada laki-laki dewasa apabila dilihat dari sudut pandang wanita yang berperan sebagai pasangannya (dalam suatu pernikahan) dan istilah ‘ayah’ merujuk kepadanya pula ketika telah lahir keturunan di pernikahan mereka.

            Ketika lahir keturunan yang kemudian disebut ‘anak’, maka timbul ikatan lahir dan batin antara orang tua dan anak. Selain asupan jasmani, asupan rohani juga sangat penting untuk tumbuh kembang anak. Dalam hal ini, peran orang tua sebagai pendidik tak boleh luput dari pembentukkan karakter anak.

            Menurut para ahli, orang tua memiliki cara yang berbeda satu sama lainnya dalam hal bagaimana mereka mendidik anak. Faktor demikian tentu memengaruhi perkembangan anak sesuai dengan usianya. Banyak penelitian deskriptif memberikan informasi mengenai usia rata-rata saat anak-anak mencapai tonggak perkembangan. Menurut psikolog, selain pembekalan ilmu yang bersifat eksak ataupun abstrak seperti yang telah disebutkan tadi, faktor lain seperti pola asuh orang tua, hubungan anak dengan saudara kandung, nutrisi dan jaminan kesehatan, serta aktivitas-aktivitas mendidik lainnya juga berkontribusi dalam membentuk perilaku individu.

            Penanaman nilai dan norma yang bermula dari keluarga diyakini mampu menjadi bekal bagi setiap individu untuk hidup dalam lingkungan masyarakat seiring berjalannya waktu dan tingkat kematangan emosionalnya. Ketika seorang individu keluar dari zona keluarga yang memberikannya pendidikan primer, maka ia tinggal mengaplikasikan nilai-nilai tersebut ke lingkungan masyarakat. Proses ini terus akan berlanjut selama manusia menapakkan kakinya di muka bumi karena selama hayat dikandung badan manusia tak akan lekang dari yang namanya proses “belajar”.

Seorang ibu adalah sosok wanita yang memegang peranan kunci dalam keluarga. Tanpa ibu, tak akan lahir anak-anak manusia. 270 hari kita dalam kandungannya tentu membuat hari-harinya penuh rasa sakit karena satu jiwa tumbuh dan berkembang membebani rahimnya, yaitu kita sebagai anak. Allah Taala secara khusus menyinggung masalah tentang ibu yang Dia firmankan dalam Surah Lukman ayat 15 berikut ini:

“Dan Kami telah menasehatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada Ibu-Bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam kelemahan di atas kelemahan, lalu menyapihnya dalam dua tahun, supaya bersyukur kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Kepada Aku-lah tempat kembali.”

            Tafsir dari ayat tersebut yakni kita diperintahkan untuk menunaikan kewajiban kedua untuk menyayangi ibu dan bapak kita, setelah kewajiban pertama terhadap Tuhan kita tunaikan.

Seorang ayah pun seyogianya senantiasa memberikan tarbiyat kepada anak-anaknya untuk tetap teguh dalam Islam dan memberikan pengertian bahwa dalam setiap nafas, derap langkah, dan niat yang tersirat dalam batin harus menyertai Allah SWT sebagaimana wasiyat Nabi Ibrahim as kepada anak-anaknya dalam Surah Al-Baqarah ayat 133, demikian bunyinya:

“Dan Ibrahim mewasiyatkan yang demikian kepada anak-anaknya dan demikian pula Yakub seraya berkata: Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati dalam keadaan berserah diri.”

Nabi Ibrahim as mengamanatkan kepada keturunannya untuk senantiasa ada dalam kondisi yang berserah diri kepada Allah Taala. Huzur Anwar bersabda dalam sebuah riwayat Hazrat Muslih Mauud ra mengatakan, “Kesulitan dan kesempitan yang dihadapi orang beriman tidaklah menyakiti baginya karena ia berkata, ‘Saya sudah terbiasa dengan kondisi-kondisi seperti itu.’ Ketika orang dunia hendak membunuh orang beriman, ia berkata, ‘Mengapa kalian ingin membunuhku? Saya sudah mati di jalan Allah.’ Dunia ingin membunuh orang beriman, namun ia tidak takut mati karena ia berkata, ‘Saya telah mati di hari saya menerima Islam. Perbedaannya adalah sejak sebelum ini saya mayat hidup dan kini jika kalian menguburku, itu tidak akan membuat perbedaan besar bagiku.’ Inilah keadaan seorang yang benar-benar beriman.” (2 Al-Fadhl, 23 Mei 1943, jilid 31 nomor 122, hlm 6)

Dalam konteks antara ayah dan anak, sebuah hadits berbunyi, ” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Jangan-lah kamu membenci bapak-bapak-mu, karena barangsiapa membenci bapaknya, maka itu merupakan perbuatan kekafiran”. [HR. Al-Bukhâri, No. 6386 dan Muslim, No. 62]. Ayah juga seorang manusia yang tak luput dari kesalahan. Meski demikian, apabila ada seorang anak yang memandang sosok ayahnya sebagai orang yang tidak baik, maka rasa kebencian terhadap sang ayah haruslah diredam. Sebuah peribahasa Sunda berbunyi “Buruk-buruk papan jati.” yang berarti seburuk-buruknya papan, tetaplah dia terbuat dari kayu jati yang unggul kualitasnya. Dan seburuk-buruknya ayah, tetaplah ia adalah ayah kita yang disebutkan namanya oleh Allah SWT melalui firman-Nya untuk diperlakukan dengan hormat oleh kita sebagai anak-anaknya, terutama anak laki-laki, hingga matinya dia harus tetap berkhidmat kepada orang tuanya.

Bentuk kasih sayang orang tua kepada kita telah zahir dengan apa yang telah mereka nafkahkan kepada kita, baik nafkah lahir maupun nafkah tarbiyyat sehingga kita tumbuh menjadi apa yang seperti sekarang ini. Sudah selayaknya kita mengganjar mereka dengan mengkhidmati mereka dan melakukan apa yang membuat sekiranya mereka ridha kepada kita. Terutama ketika usia orang tua kita sudah senja, banyak perhatian yang mesti kita curahkan kepada mereka. Karena seiring berjalannya waktu, umur kita pun kian terkikis dan tiba saatnya kita menjadi orang tua. Sebagaimana yang tertulis dalam hadits berikut ini:

Keridhaan Allah itu tergantung pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua”  (H.R Tabrani) Dengan demikian, jelaslah bahwa ketika orang tua kita ridha, maka disitulah Allah SWT pun tersenyum dan ridha kepada kita.


Oleh: Umar Farooq Zafrullah

Sumber:

  1. Atkinson, Rita L., et. al. Tanpa tahun. Pengantar Psikologi Jilid Kedua. Batam: Interaksara
  2. Ormrod. 2008. Psikologi Pendidikan, Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
  3. Al Quran Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Sumber Gambar: http://voice.gogetterz.com