Al-Qur’an dan Ramadhan Momentum Pencerahan Menuju Transformasi Rohani

119

Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa yang penuh berkah di mana umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ramadhan memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِ ْ˜ي اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْٰانُ هُدًى لِِّلنَّاسِ وَبَيِِّٰنتٍ مِِّنَ الْهُٰدى وَالْفُرْقَانِِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَٰلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَُۗ يُرِيْدُ هاللُّٰ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلََ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرََۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِِّرُوا هاللَّٰ عَٰلى مَا هَٰدىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan furqan.” (QS. Al-Baqarah: 186).

Dalam konteks ini ramadhan bukan hanya sekadar bulan untuk memperbanyak ibadah, tetapi juga momentum bagi setiap Muslim untuk merefleksikan dan mengamalkan ajaran Al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya bagi sebagian orang interaksi dengan Al- Qur’an sering kali hanya sebatas membaca tanpa memahami dan menerapkannya dalam kehidupan. Padahal esensi dari diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk yang seharusnya membentuk pola pikir dan perilaku seorang Muslim.

Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba) Khalifah Ahmadiyah ke 5 dalam khutbahnya pada 31 Maret 2023 di Masjid Mubarak, menekankan bahwa Ramadhan bukan hanya waktu untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga kesempatan terbaik untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah di bulan Ramadhan seharusnya tidak hanya ritualistik, tetapi juga membawa dampak nyata dalam cara berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan sesama.

Membaca Al-Qur’an Bukan Sekadar Ritual

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) menegaskan bahwa membaca dan memahami Al- Qur’an harus disertai dengan pengamalan. Jika seseorang hanya membaca tanpa mengamalkan, maka ia belum benar-benar mendapatkan keberkahan dari Al-Qur’an. Beliau juga menjelaskan bahwa seseorang yang tidak menyucikan jiwanya tidak akan dapat memahami hikmah dan keunggulan Al-Qur’an:

“Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT dan ilmu yang terkandung di dalamnya berada di tangan Tuhan; kebenaran menjadi tangga menuju ilmu ini. Lalu, bagaimana orang-orang yang tidak beriman, jahat, dan korup, serta mereka yang diperbudak oleh hawa nafsu duniawi bisa cukup beruntung untuk menerima ilmu ini?” (Malfuzat Vol. 2 hlm. 140-144).

Ini adalah refleksi yang sangat mendalam bagi kita semua. Banyak umat Islam yang berusaha mengkhatamkan Al-Qur’an dalam Ramadhan, tetapi berapa banyak yang benar-benar

memahami dan mengamalkan isinya? Seharusnya bacaan Al-Qur’an bukan hanya menjadi ritual tanpa makna, tetapi harus menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa sebagai Latihan Disiplin Ruhani

Selain Al-Qur’an ibadah puasa memiliki peran penting dalam transformasi rohani seorang Muslim. Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba) menegaskan bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga sarana untuk mendidik jiwa dan memperkuat hubungan dengan Allah. Sejalan dengan itu, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) bersabdah:

“Puasa dan Salat merupakan bentuk ibadah. Puasa berdampak kuat pada tubuh dan Salat berdampak kuat pada jiwa. Salat menghasilkan kondisi hati yang terbakar dan meleleh, dan karenanya merupakan bentuk ibadah yang lebih tinggi daripada puasa. Salat menumbuhkan kemampuan untuk melihat.” (Malfuzat, Vol. 7 hlm. 378-379).

Dari kutipan ini, dapat kita pahami bahwa puasa bukan sekadar kewajiban, tetapi juga latihan spiritual yang harus beriringan dengan shalat. Jika puasa bertujuan untuk menahan diri secara fisik, maka shalat bertujuan untuk menyucikan jiwa. Oleh karena itu selama bulan Ramadhan, seorang Muslim harus meningkatkan kualitas shalatnya agar manfaat puasa dapat lebih terasa dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW juga bersabda:

“Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Shahih Bukhari, Kitab Shalat Tarawih).

Dengan demikian ibadah Ramadhan tidak hanya terbatas pada puasa, tetapi juga harus disertai dengan peningkatan kualitas shalat dan interaksi dengan Al-Qur’an.

Puasa sebagai Bentuk Ketaatan dan Keseimbangan Hidup

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang praktis dan tidak memberatkan pemeluknya. Allah SWT berfirman:

أَيَّامًا مَّعْدُوَٰدَتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلََٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ ِ’منْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “[Puasa yang diwajibkan] adalah puasa yang telah ditentukan jumlahnya, tetapi barangsiapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan, hendaklah ia berpuasa sebanyak itu di hari-hari lainnya. Dan bagi orang-orang yang sangat sulit untuk berpuasa, maka ada penebusan dosa, yaitu memberi makan orang miskin. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal saleh dengan penuh kerelaan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasa itu baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengingatkan bahwa memaksakan diri berpuasa dalam kondisi yang tidak memungkinkan bukanlah ketaatan, tetapi justru bisa menjadi suatu kesalahan.

“Mengikuti ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an merupakan taqwa. Allah telah memberikan izin kepada orang yang sakit atau dalam perjalanan untuk berpuasa pada hari-hari lainnya, oleh karena itu seseorang juga harus mengamalkan perintah ini.” (Malfuzat, Vol. 5, hlm. 67).

Ini adalah pelajaran penting bagi kita agar tidak memandang ibadah sebagai beban, tetapi sebagai bentuk kepatuhan yang dilakukan dengan keseimbangan dan kebijaksanaan, sebab ibadah bukanlah beban melainkan bentuk kepatuhan yang dilakukan dengan keseimbangan dan kebijaksanaan. Islam tidak mengajarkan kesulitan yang berlebihan melainkan menuntun umatnya untuk selalu berada dalam keseimbangan antara ibadah dan kondisi kehidupan mereka.

Kesimpulan: Menjadikan Ramadhan sebagai Titik Awal Bukan Titik Akhir

Ramadhan dan Al-Qur’an adalah dua elemen yang tidak terpisahkan. Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi manusia, dan Ramadhan adalah momentum terbaik untuk mendekatkan diri kepada petunjuk tersebut. Namun yang lebih penting dari ibadah selama Ramadhan adalah bagaimana seseorang mempertahankan kebiasaan baiknya setelah Ramadhan usai.

Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra) menjelaskan keistimewaan Ramadhan dalam hubungannya dengan spiritualitas:

“Sudah begitu banyak abad berlalu antara kita dan Nabi Suci saw, tetapi dengan datangnya Ramadhan, rasanya seolah-olah bulan ini telah mengakhiri semua abad itu dan membawa kita lebih dekat kepada Nabi Suci saw. Bahkan, bukan hanya Nabi Suci saw, tetapi sejak Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah SWT, rasanya Ramadhan telah menyusutkan rentang waktu yang luas ini dan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan.” (Tafsir-e-Kabir, Vol. 2 hlm. 393-394).

Dengan demikian, Ramadhan bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi harus menjadi ajang perubahan diri yang berkelanjutan. Jika nilai-nilai yang dipelajari selama Ramadhan dapat terus dipertahankan, maka bulan suci ini benar-benar menjadi sarana transformasi ruhani bagi setiap Muslim.


Oleh : Uaiswy Qorni Eka Saputra