Baca bagian sebelumnya : Al-Qur’an Suci – Yesus (as) sebagai ‘Hamba Tuhan’ | RajaPena.Org
Masih ada pertanyaan penting: jika Yesus (as) tidak pernah mengklaim sebagai anak Tuhan yang ilahi, bagaimana ide-ide ini masuk ke dalam jiwa Kristiani? Bagaimana gagasan tentang status anak secara metaforis, yang didasarkan pada monoteisme murni, berubah menjadi politeistik? Bagaimana kesalahan besar seperti itu diterima sebagai bagian dari teologi Kristen secara umum?
Merupakan kesalahan untuk percaya bahwa semua orang Kristen dalam sejarah menerima bahwa Yesus (as) adalah anak Tuhan yang ilahi. Ada gerakan unitarian awal dan monoteistik Yahudi-Kristen yang terdokumentasi, seperti Ebionites, yang menolak keilahian Yesus (as). Sayangnya, mereka tidak selamat (tidak bertahan) dalam pertempuran-pertempuran melawan penentang mereka selama berabad-abad untuk gelar menjadi golongan Kristen yang ortodoks (yang unggul, berpengaruh dan dijadikan rujukan utama).
Bagaimana kita menjelaskan hal ini? Beberapa orang akan menyatakan bahwa penerimaan awal mengenai ide tersebut akan menunjukkan kepada kebenarannya. Jawaban yang seperti itu tidak sesuai dengan keadaan kekristenan Ortodox. Bagaimana mereka memperhitungkan mengenai gerakan-gerakan awal yang setara (yang dianggap ajaran bidah) dalam hal sifat-sifat dan ajaran Yesus? Bagaimana mereka menjelaskan mengenai pertikaian awal yang terjadi antara para rasul (utusan) Yesus dengan Paulus? Paulus ialah tokoh yang hendak membawa pesan Yesus kepada orang-orang bukan Yahudi dan mengabaikan Hukum, hingga terjadi keberatan dari pihak-pihak selainnya? Kekristenan pada awalnya bukanlah tempat untuk buku-buku atau membaca buku-buku dan belajar singkat. Kebanyakan orang adalah buta huruf dan cerita disampaikan secara mendongeng dan kesalahan terbesar adalah berita palsu dan kesalahan penafsiran yang berlimpah. Yesus (as) mengatakan; “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepada kamu dari antara kamu yang menyamar seperti domba tetapi sesungguhnya mereka itu adalah Serigala yang buas.” (Matius 7:15).
Penyebaran rumor dan terciptanya doktrin-doktrin palsu semakin memburuk setelah pembetulang langsung oleh Yesus sudah tidak ada lagi di kalangan orang-orang. Tampaknya Paulus jengkel dengan apa yang ia rasakan mengenai ajaran yang bertentangan dengan kebenaran, di satu tempat tertulis, “Di sini ada banyak hal-hal yang harus kamu ajarkan dan nasehatkan. Jika seseorang mengajarkan ajaran lain dan tidak menyuruh perkataan yang sehat – seperti yang terdapat didalam perkataan Tuhan kita Yesus Kristen – yang tidak sesuai dengan ajaran dan ibadahnya kita, maka ia adalah seorang yang berlagak tahu padahal tidak tahu apa apa. Penyakitnya adalah mencari-cari permasalahan yang jelas dan bersilat lidah sehingga dapat menyebabkan dengki, cedera, fitnah, berburuk sangka dan percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan.” (1 Timotius 6 : 2-5).
Tidak akan sulit untuk memperhatikan bahwa orang-orang menyebarkan Bid’ah (hal mengada-ada) lainnya mengenai Yesus, mereka adalah orang yang tidak akan menolak untuk menyampaikan hal yang sama mengenai permasalahan dia sebagai ‘seorang anak tuhan’.
Meskipun demikian, jika ada satu titik putih yang terletak pada sisi kegelapan sebuah yin-yang, itu seperti halnya sebuah dusta baik yang di dalamnya terdapat sebuah aspek kebenaran. Secara relatif ide kecil bahwa Yesus sebagai ‘anak Tuhan’ mempunyai akar kepercayaan monoteisme, tetapi bagian yang menyimpang itu menyebar dengan sangat cepat.
Proses penggunaan gelar untuk Yesus (as) dalam satu kebiasaan atau kepercayaan yang bukan monoteisme, dapat dipahami dalam beberapa bagian yang berbeda. Yang terutama ialah propaganda orang-orang Yahudi yang melawan Yesus, mereka menegaskan bahwa ia (Yesus) mengklaim diri menjadi seorang atau sebagai ‘anak tuhan’ seperti yang orang-orang Kristen saat ini pahami. Pemikiran yang seperti ini dapat meracuni orang-orang Kristen baru dalam kalangan gentiles (non Yahudi) yang tanpa menyaringnya dan berpemikiran bersedia apa pun untuk mulai percaya terhadap kebohongan itu dan menyesuaikannya dengan kepercayaan ide-ide politeistik mereka sendiri, di dalam paradigma orang-orang Romawi mengenai ‘anak tuhan’.
Baca bagian selanjutnya : Pengadilan terhadap Yesus (as) dan permulaan dari yang akhir | RajaPena.Org