Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam tentu tidak lepas dari kegiatan yang mengharuskan mereka berada dalam keadaan suci, seperti salat. Salah satu syarat sah salat adalah memiliki wudu yang masih berlaku. Namun, di tengah masyarakat berkembang berbagai pemahaman mengenai hal-hal yang membatalkan wudu. Salah satu yang sering menjadi perdebatan adalah menyentuh lawan jenis. Apakah hal tersebut benar-benar membatalkan wudu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditinjau secara komprehensif melalui sudut pandang Al-Qur’an, hadis, serta pendapat para ulama.
Islam secara umum memang melarang adanya sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh perempuan yang bukan mahram,
bahkan saat melakukan baiat sekalipun. Hal ini sebagai bentuk penjagaan kehormatan dan kesucian.
Namun, penting untuk dipahami bahwa larangan tersebut tidak serta merta berkaitan dengan status wudu. Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram memang dilarang dalam konteks adab dan etika, tetapi apakah itu membatalkan wudu merupakan perkara fikih yang memerlukan dalil khusus.
Salah satu ayat yang kerap dijadikan rujukan dalam pembahasan ini adalah surah Al-Māidah ayat :7
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَاةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًۭا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌۭ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءًۭ فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًۭا طَيِّبًۭا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍۢ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
ۤ“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub maka bersucilah kamu, tetapi jika kamu sakit atau waktu bepergian atau salah seorang dari kamu kembali dari buang hajat, atau kamu telah menyentuh perempuan dan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci dan usaplah wajahmu dan kedua tanganmu dengan itu. Allah tidak berkehendak menjadikan kesukaran atasmu, akan tetapi Dia berkehendak mensucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Māidah: 7)
Ayat ini berbicara tentang keadaan yang membuat seseorang perlu bertayamum jika tidak menemukan air. Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah “menyentuh perempuan” (lamastumun-nisā’). Sekilas, ini bisa dimengerti sebagai bersentuhan fisik. Namun, ulama tafsir seperti Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud “menyentuh perempuan” di sini adalah hubungan suami istri (jima’), bukan hanya menyentuh tangan atau kulit biasa.
Dengan kata lain, bukan semua sentuhan membatalkan wudu, tapi yang dimaksud dalam ayat adalah sentuhan yang sampai pada hubungan intim.
Allah SWT juga berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍۢ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌۭ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءًۭ فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًۭا طَيِّبًۭا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat bila kamu dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub hingga kamu mandi, kecuali jika kamu sedang bepergian. Dan jika kamu dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau seseorang di antaramu selesai buang air atau kamu bercampur dengan istri-istrimu sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka hendaklah kamu tayammum dengan tanah yang bersih, kemudian usaplah wajahmu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 44)
Ayat ini juga menggunakan kata “menyentuh perempuan” dalam konteks orang yang harus bertayamum. Dan seperti pada ayat sebelumnya, banyak ulama menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini bukan sekadar bersentuhan kulit, tapi merupakan kiasan dari hubungan suami istri.
Jadi, dalam dua ayat ini, maksud dari “menyentuh” bukan berarti hanya bersalaman atau menyenggol lawan jenis secara tidak sengaja, melainkan sesuatu yang lebih serius seperti jima’ yang jelas membatalkan wudu.
Untuk memahami suatu hukum secara utuh, penting untuk merujuk kepada praktik Rasulullah SAW sebagai penafsir utama Al-Qur’an. Beberapa hadis sahih menunjukkan bahwa Rasulullah pernah bersentuhan dengan istrinya dan tetap melanjutkan ibadah tanpa memperbarui wudu.
Hadis-hadis sahih berikut memberikan penjelasan terkait praktik Rasulullah SAW dalam bersentuhan dengan istrinya tanpa membatalkan wudu.
Hadis 1:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri beliau, kemudian beliau pergi shalat tanpa mengulangi wudhunya lagi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tetap salat setelah menyentuh istrinya tanpa mengulang wudu, padahal jelas menyentuh dengan penuh kasih sayang, bahkan berciuman. Artinya, sentuhan biasa tidak membatalkan wudu, apalagi jika tidak disengaja.
Hadis 2:
Dari Aisyah ra.:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا . قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah saw dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis ini, Nabi SAW menyentuh kaki istrinya saat sedang salat, tapi beliau tidak menghentikan salat ataupun mengambil wudu ulang. Ini menunjukkan bahwa sentuhan tanpa syahwat tidak membatalkan wudu, bahkan di dalam salat sekalipun.
Dalam mazhab fikih, pendapat tentang hukum menyentuh lawan jenis berbeda-beda. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa setiap sentuhan antara laki-laki dan perempuan yang telah balig dan bukan mahram membatalkan wudu, baik disengaja maupun tidak.
Namun, mazhab Hanafi dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa sentuhan tidak membatalkan wudu kecuali disertai syahwat. Adapun ulama seperti Ibnu Taimiyah secara tegas menyatakan bahwa tidak ada riwayat Rasulullah SAW atau sahabat yang mengulang wudu karena menyentuh perempuan. Ini menjadi dasar kuat bahwa hukum asalnya adalah tidak batal.
Berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadis Nabi SAW, dan pandangan para ulama, sentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak otomatis membatalkan wudu, selama tidak disertai syahwat atau
hubungan suami istri. Ayat dalam QS. Al-Māidah: 6 dan QS. An-Nisa: 43 yang menyebut “menyentuh perempuan” bukan berarti sentuhan biasa, tetapi merupakan kiasan untuk jima’ (hubungan suami istri). Nabi Muhammad SAW sendiri menyentuh istrinya, bahkan dalam salat, dan tidak mengulang wudu, menjadi bukti bahwa sentuhan biasa tidak membatalkan wudu. Dengan demikian, jika kita bersentuhan dengan lawan jenis secara tidak sengaja, tanpa syahwat, atau dalam kondisi wajar, maka wudu kamu tetap sah. Namun jika kamu mengikuti mazhab yang lebih hati-hati seperti Syafi’i, tidak ada salahnya untuk memperbarui wudu sebagai bentuk kehati-hatian.
Oleh : Muharim Awaluddin
Referensi
1. Al-Qur’an
2. Hadist Rasulullah saw