Siang hari tropis Pulau Jawa yang terik itu tidak begitu dirasa panas oleh Tuan Bupati Lebak. Atap pendopo yang ditopang oleh tiang-tiang kayu kuat itu berdiri dengan gagah melindungi kepalanya. Tak lama kemudian, kereta kuda yang ditunggu-tunggu datang. Dari antara kedua roda kanannya yang terlumuri lumpur jalan raya turunlah seorang pria tinggi berusia lima puluhan, disusul oleh pria paruh baya berkumis, lalu disusul lagi oleh istri dan anaknya. Ketika Nampak seakan satu orang lagi akan turun dari kereta, pria berkumis menawarkan tangannya sebagai pegangan. Turunlah penumpang yang terakhir dari kereta dekil itu, seorang babu dengan rambut abu-abu. Lalu pria berkumis itu segera menyalami Tuan Bupati;
“Perkenalkan, Tuan Bupati, nama saya Havelaar, Max Havelaar”
Douwes Dekker menyelesaikan dan menerbitkan bukunya[1] yang tidak sesuai perkiraannya akan menjadi buku yang menghapuskan kolonialisme di Hindia Belanda. Mahakaryanya itu diterbitkan di tahun 1860, dekade yang menjadi saksi perubahan besar dalam tatanan dunia. Tahun 1863, Belanda menghapuskan perbudakan di koloni-koloninya di Indonesia dan Suriname. Dua tahun berikutnya, Presiden Abraham Lincoln secara resmi menghapuskan sistem perbudakan walau harus memulai perang saudara di Negara Amerika di seberang Laut sana. Sedangkan Sultan di Turki masih duduk menunggu dengan sabar budaknya yang sedang membuatkannya teh susu hangat.
Seratus tahun berlalu, Martin Luther King Jr. naik ke atas podium menyampaikan pidato terkenalnya “I Have A Dream” melihat buruknya penerapan hukum segregasi[2] di Amerika Serikat, kebebasan secara fisik dan administratif ternyata tidak menjamin kebebasan pikiran dan hak. Bergulirnya waktu di abad dua puluh satu ini kenyataannya dunia melihat bentuk perbudakan baru, dalam payung human trafficking. Beberapa hari yang lalu muncul pemberitaan tentang tewasnya Muhammad Alfatah, pemuda 20 tahun asal Sulawesi Selatan yang jenazahnya dibuang di perairan Samoa. Alfatah dipekerjakan sebagai anak buah kapal (ABK) dalam perusahaan luar negeri pelayaran melalui agen Ming Feng International (MFI). Dirinya menderita sakit yang cukup berat dan meninggal di atas kapal Long Xing 802 dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kapten yang khawatir bahwa penyakit yang merenggut nyawa Alfatah adalah penyakit menular, memutuskan untuk membuang jenazahnya di tengah laut. Dikutip dari Vice Indonesia, kasus ini menjadi pengingat atas masih buruknya industri perikanan Asia yang tak jarang mengarah ke eksploitasi sumber daya manusia, perdagangan manusia, dan perbudakan. Kasus ini bukanlah yang pertama, dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak ABK kapal Indonesia yang menjadi korban, tergiling dalam ketatnya persaingan ekonomi dan industri.
Dalam ranah domestik juga sering kita dapatkan berita tentang kekerasan dan penganiayaan yang harus diterima oleh tenaga kerja asing Indonesia (TKI) yang melayani majikannya di negara-negara tetangga dan semenanjung Saudi Arabia. Dibutuhkan waktu yang lama sebelum Pemerintah Saudi mengeluarkan peraturan yang lebih melindungi hak pekerja domestik di Arab sana. Menurut International Labor Organization (ILO), kasus tersebut termasuk dalam istilah domestic servitude, yakni tindakan penganiayaan majikan kepada pekerjanya serta kontrak sepihak yang tidak mengizinkan seorang pekerja domestik untuk keluar atau berhenti dari pekerjaannya. Dalam hal itu rasanya kisah perbudakan dan eksploitasi dalam Max Havelaar tidaklah begitu asing di dunia modern ini.
Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timur Tengah membuat publik mengkaji ulang perbudakan dalam Islam, timbul pertanyaan yang agak menyinggung;
Mengapa syariat Islam tidak melarang tindak perbudakan selayaknya melarang pengikutnya dari meminum alkohol atau memakan daging babi?
Pembenci Islam mengarahkan serangannya kepada Syariat Suci yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Mereka menganggap kasus tersebut sebagai bukti bahwa Islam bukanlah solusi universal, bahwa Islam bukanlah apa yang disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memang, syariat Islam tidak melarang tindak perbudakan secara terang selayaknya perbuatan-perbuatan haram lainnya. Tapi jika dilihat secara menyeluruh justru penghapusan sistem perbudakan versi Islam adalah revolusi sistem yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan apa yang diucapkan dalam pidato lantangnya Lincoln.
وَهَدَيۡنٰهُ النَّجۡدَيۡنِ . فَلَا اقۡتَحَمَ الۡعَقَبَةَ . وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا الۡعَقَبَةُ . فَكُّ رَقَبَةٍ
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan kebaikan dan keburukan? Tetapi ia tidak berusaha menempuh jalan “Aqabah”. Dan apakah engkau tahu ap aitu “Aqabah”? Yaitu memerdekakan budak” (Al-Balad, 11-14)
Surat yang diturunkan di Mekkah di masa awal kenabian Rasulullahsaw tersebut membuktikan dimana posisi Islam terhadap perbudakan. Membebaskan budak merupakan suatu sarana untuk mencapai kemuliaan. Bahkan sebuah masyarakat tidak dapat mengalami kemajuan sebelum budak-budaknya dibebaskan, sebelum warganya memiliki derajat dan kebebasan yang setara. Lebih jauh di dalam masa kenabian beliau saw. perbudakan diatur didalam sistem yang sangat berlandaskan pada keadilan dan rahmat. Dalam surat An-Nisa ayat 37, Allah swt. memerintahkan orang-orang beriman untuk berbuat baik kepada para budak sama seperti memperlakukan orang tua atau kerabat kita sendiri.
Islam mengatur sistem yang sebelumnya tidak pernah diatur ini. Rasululahsaw memberikan batasan yang jelas bagi para majikan terhadap budaknya, serta memberi jaminan secara hukum terhadap hak-hak dasar mereka. Sahih Muslim menarasikan sebuah hadis yakni ketika seorang Sahabat bernama Abu Masudra merasa kesal dan mendisiplinkan secara fisik salah seorang budaknya, Rasulullahsaw mendatanginya dan berkata “Wahai Abu Masud, jangan pernah lupa bahwa ada Tuhan di atas mu, Yang memiliki kekuasaan lebih banyak atas kamu dibandingkan apa yang kamu miliki atas hamba-Nya”. Abu Masudra pada saat itu juga langsung membuat pernyataan bahwa ia akan membebaskan budaknya tersebut. Rasulullahsaw lalu berkata “Jika kamu tidak membebaskannya (dari status budak), maka tentu kamu akan terbakar di dalam api neraka.”
Hadis tersebut menekankan kepada pemilik budak untuk berbuat baik dan jangan sekali-kali menyakiti mereka. Sesungguhnya itu adalah perbuatan dosa, dan satu-satunya cara untuk menebus dosa itu adalah dengan membebaskan budak tersebut.
Abu Hurairah meriwayatkan perkataan Rasulullah mengenai perbuatan yang selayaknya diberikan oleh seorang majikan kepada budaknya: “Adalah sangat penting untuk memberi makan (yang layak) kepada para budak, memberi pakaian yang layak kepada mereka dan jangan memberi mereka suatu pekerjaan yang melebihi kemampuan mereka”. Dalam hadis yang sangat luar biasa itu dapat disimpulkan bahwa standar perlakuan bagi seorang budak adalah perlakuan yang sama yang kita berikan untuk diri kita sendiri. Seorang majikan selayaknya makan bersama budaknya dengan menu makanan yang sama, memberi pakaian dengan kualitas yang juga tidak kalah baiknya dengan yang dimilikinya, serta tidak memberikan pekerjaan-pekerjaan yang melebihi kemampuan si budak tersebut, jika memang pekerjaan yang berat itu harus diberikan kepada mereka, maka majikan harus membantu mengerjakannya bersama budaknya.
Memang tidak dapat kita temukan pengharaman atas tindak perbudakan di dalam Islam, tapi justru di dalam itu dapat terlihat metode Islam yang unik. Islam tidak menghapuskan atau membuat pernyataan atas penghapusan tindak perbudakan. Tidak seperti Amerika Serikat yang mencantumkan kata liberty (bebas) di dalam Declaration of Independence[3] nya di tahun 1776 tapi kebebasan belum dimiliki oleh sebagian penduduknya yang berkulit hitam sampai seratus tahun kemudian Presiden Lincoln secara resmi menghapuskannya, walau sampai menyebabkan peperangan. Dan bahkan butuh seratus tahun lagi untuk keturunan budak-budak itu untuk bisa mendapat kesetaraan ras. Islam melakukan integrasi dan memasukkan budak ke dalam kesatuan tatanan sosial yang sama dengan masyarakat pada umumnya, bukan menciptakan kelas baru di dalamnya.
Tentang kasus-kasus babu dan pekerja yang mengalami pelakuan buruk dari yang mempekerjakannya di zaman modern ini. Itu semua adalah bentuk-bentuk perbudakan modern. Dan merupakan pandangan yang salah jika perbuatan-perbuatan buruk itu di asosiasikan dengan syariat Islam. Jika seseorang memahami dan melakukan syariat Islam mengenai perbudakan, tentu hal-hal merendahkan (penganiayaan) semacam itu tidak akan terjadi. Bagaimanapun juga sebutannya, menjadi pekerja domestik atau asisten rumah tangga sekalipun jika teraniaya oleh majikannya, masih kurang menarik dibanding menjadi seorang budak yang diperlakukan setara. Di abad ke duapuluh satu ini, sisa-sisa perbudakan masih hidup dbawah permukaan. Bahkan negara-negara besar masih menjadikan negara-negara berkembang “babu” dalam mencapai keinginannya untuk memuaskan keserakahannya. Ingat, dunia ini tidak akan dapat memulai progresnya sebelum kebebasan mendasar seperti kebebasan beragama, berpolitik, nasional dan sipil ditegakkan.
Oleh: R. Adianto Abd. Wahab
Referensi
- Al-Quran Terjemah dan Tafsir Singkat Bahasa Indonesia, Jemaat Ahmadiyah Indonesia
- Al-Hakam article, Slavery in Islam: Abolishing the Social Vice, 30 Agustus 2019
- Sirat Khataman Nabiyyin, Mirza Bashir Ahmad, terjemahan bahasa Indonesia
- Vice Indonesia, artikel online; Perbudakan di Laut Masih Terjadi, WNI Kerap Jadi Korban Dipekerjakan Sampai Tewas, 22 Januari 2020
- Rational Religion, Video diakses dari YouTube.com, lslam and Slavery – Condoned or Condemned?
- Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Hindia, Multatuli, Terjemahan Bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin. Terbitan tahun 2014
- The Domestic Workers in Indonesia – Current Laws, International Standards, and Best Practices. 2006. International Labour Organization. Jakarta
[1] Max Havelaar: Lelang Kopi Maskapai Dagang Hindia Belanda
[2] Politik pemisahan kehidupan dan pembatasan hak-hak orang kulit hitam di Amerika
[3] Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat terlepas dari status koloni Inggris
Image source : https://restavekfreedom.org/wp-content/uploads/2018/08/blog-america-slavery.jpg