Melawan Ketamakan Ekonomi dengan Kaidah Candah

2638

Dinamika perekonomian dunia, bergerak sesuai dengan sistem manajerial pemerintahan yang diagungkan. Setidaknya ada beberapa konsep pemikiran yang memengaruhi perekonomian dunia, yaitu kapitalisme, sosialis (komunis), dan Islam. Dalam hal mana, pada setiap sistem yang dijalankan, didapuk memiliki kedamaian tersendiri bagi masyarakat yang menjalankannya.

Pada masyarakat kapitalis, pemerintahan akan senantiasa berbicara mengenai kesamaan kesempatan dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya, tanpa pernah memperhatikan apakah telah terjadi pemerataan pendistribusian pekerja dan kekayaan pada luasnya daerah yang mereka pimpin. Dengan sistem ini, masalah akan muncul dengan merebaknya gerakan-gerakan akar rumput yang menyuarakan ketidakadilan, menuntut pemerataan kesejahteraan yang senantiasa dirasa kurang. Tentu saja, hal ini terjadi karena pada sistem kapitalisme, sesuai dengan namanya, muara terakhir dari kekayaan adalah para pemegang kapital atau permodalan itu sendiri.

Belum selesai dengan ‘pemusatan’ modal, perputarannya pun diterapkan bunga uang secara intrinsik. Bunga uang ditempatkan sebagai stimulus berkembangnya kekayaan, sekaligus dipuja sebagai motivasi para pekerja untuk bekerja lebih keras agar bisa mengembalikan (membayar) bunga modal. Anggapan lain, dengan memberikan bunga uang, maka para pekerja telah memberikan insentif kepada para pemodal untuk tetap terus menyuntikkan dananya.

Berbeda dengan sistem kebendaan kapitalis, masyarakat sosialis ilmiah menerapkan pemerataan dan keterbukaan tanpa batas, dengan harapan tidak akan muncul tuntutan-tuntutan dari masyarakat, karena permodalan dimiliki dan diatur sepenuhnya oleh negara. Tidak diterapkan bunga uang, karena selain tidak relevan jika membayar bunga kepada pemerintah, motivasi dan tanggung jawab pekerja juga merupakan paksaan dari pemerintah. Secara sepintas, tatanan sosialis menerapkan sebuah sistem yang adil karena terpusatnya kendali ekonomi di tangan negara. Namun perhatikan, bahwasanya negara itu sendiri lah yang kemudian menjelma menjadi kapitalis. Imbasnya, tidak akan ada kendali kepada pemerintahan yang sedang berjalan tentang modal yang dimiliki dan digulirkan.

Efek lain yang mungkin terjadi pada lapisan masyarakat adalah, gelombang kudeta karena mosi tidak percaya kepada pemerintah, ditambah sama sekali tidak ada motivasi untuk bekerja dan mengembalikan modal kepada pemerintah. Jika kemelaratan terjadi di negara sosialis, maka chaos akan lebih cepat terjadi, mengingat tatanan sosialis membentuk karakter egois yang cukup tinggi pada masyarakat. Tidak akan ada orang kaya yang rela begitu saja membagikan kekayaannya, sementara si miskin akan terus merangsek mencari pemenuhnan kebutuhan.

Pada dua sistem di atas, kita melihat bagaimana kedamaian tidak tercapai sempurna karena masih ada ego untuk menguasai modal oleh para kapitalis dan oleh negara di tatanan sosialis. Sementara di sisi lain, Islam juga menawarkan sebuah sistem kerja ekonomi yang tak kalah indah. Secara teks (nas) maupun akal, Islam telah menerapkan prinsip berbagi tanpa terikat keadaan mampu atau tidak mampu. Islam mengajarkan pembelanjaan harta di kala lapang dan sempit, di samping menganjurkan pula kepada mereka yang papa untuk tetap menghindari meminta-minta.

Motivasi masyarakat dengan tatanan ekonomi Islam termotivasi secara rohani untuk membantu sesama, tanpa harus mengharapkan pengembalian insentif serupa bunga uang. Perbedaan  jelas terlihat, gulungan kekayaan ala kapitalis tidak akan terjadi di masyarakat Islam karena tidak terjadi sistem bunga uang untuk pengembangan modal.

Demikian halnya terhadap permodalan yang tidak akan digunakan dengan sewenang-wenang ala sosialis, karena adanya fungsi kontrol berupa zakat, yang acuan hitungannya dari pendapatan bersih, bukan dari omzet seperti halnya pajak. Pemerintah memang mengatur perguliran modal dan perekonomian negara, namun pengeluaran zakat diberikan dengan nas yang jelas yaitu harus diberikan hanya kepada 8 (delapan) golongan yang diperbolehkan untuk menerima. Dan semua itu, diajarkan oleh Islam untuk dilaksanakan dengan penuh kerelaan.

Kaidah-kaidah pembelanjaan harta inilah, yang pada Jemaat Muslim Ahmadiyah dikodifikasikan menjadi sebuah tatanan pengorbanan bernama ‘candah’. Jika pada masa Rasulullah dan para sahabat, pengorbanan harta selain zakat tidak terikat oleh kadar dan waktu, maka konsep candah dalam Ahmadiyah adalah adanya ketentuan kadar dan waktu infak dan sedekah ini sesuai dengan akal pemikiran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Masih Al-Mau’ud alaihisalaatu wassalaam dan para khalifah. Namun demikian, dasar akal (ijtihad) ini tetap tidak keluar dari nas tentang aturan minimal dan maksimal infak, sedekah, dan zakat.

Konstruksi pemikiran candah dalam jemaat Ahmadiyah, adalah sebuah kontemplasi penerapan teladan baginda Rasulullah salallaahu alaihi wasallam tentang berkorban harta bagi yang berkelebihan, dengan tujuan untuk membantu mereka yang kekurangan, serta fokus mendukung jalan dakwah Islam yang lebih luas. Sederhananya, tanpa keterikatan kadar dan waktu saja, umat Islam pada masa kenabian dan para sahabat sangat tertolong perekonomian dan dakwahnya, dengan ukuran merasakan kecukupan dan bukan ukuran banyaknya materi semata. Maka jelas yang akan terjadi adalah kesejahteraan yang lebih lagi, jika pengorbanan harta ini diperketat dengan kadar dan waktu, sehingga pendistribusian untuk kebutuhan kemaslahatan bisa segera terpenuhi. Tentunya, niatan para pengorban adalah karena menginginkan kekuatan Allah taala menjadi kekuatan tertinggi di muka bumi, melaui penyebaran kedamaian Islam.

Anjuran untuk tidak meminta-minta pun jelas terakomodir oleh konsep candah ini. Kita bisa perhatikan, bagaimana kiprah Ahmadiyah menyebarkan dakwah dengan pondasi keuangan dari para anggotanya, tanpa permintaan sumbangan ke badan lain di luar jemaat Ahmadiyah. Tentunya, hal ini akan lebih indah jika diterapka oleh umat Islam seluruhnya

Candah dalam jemaat Ahmadiyah, bukan semata-mata bentuk pengorbanan harta secara formal dalam bentuk uang tunai yang dibayarkan, tercatat, dan diganti dengan kwitansi. Candah adalah manifestasi kesederhanaan, yang diwujudkan dalam segala aspek kehidupan setiap insan ahmadi. Candah tidak selesai dengan sekadar dibayar di majelis, namun akan sia-sia jika para pembayar candah tetap melakukan pola hidup yang mubazir dan jauh dari kesederhanaan. Candah dibayarkan dengan tujuan kesejeahteraan anggota dan kemajuan penyebaran Islam dalam nizam khilafat, maka sia-sia pula jika para pembayar candah masih terus melakukan keburukan-keburukan ekonomi yang jelas dilarang oleh Islam seperti riba, gharar, maisir, tipu-menipu dalam jual beli, curang dalam timbangan, dan sebagainya.

Harga diri manusia, seringkali dinilai dari aspek ekonominya semata. Konsep candah Ahmadiyah, selain sebuah sistem pengelolaan keuangan yang mapan, adalah sebuah konsep menjaga dan memelihara harga diri kaum muslim dari hinaan kemiskinan duniawi. Kekuatan saling tolong-menolong dalam kebaikan, menjadi pondasi yang kokoh pada implementasi candah di jemaat Ahmadiyah, sehingga berimbas kepada kenikmatan rohani, dan pandangan terhadap para ahmadi sebagai insan-insan yang banyak dan rela berkorban harta di jalan Islam serta senantiasa tertolong kehidupan jasmani dan rohaninya.


Oleh : Rahma A. Roshadi

Referensi :

Islam dan Isyu Kontemporer (Hadhrat Mirza Tahir Ahmad). Neratja Press. Cetakan ke I Desember 2018.

KONSTRUKSI PEMIKIRAN CANDAH DALAM JEMAAT AHMADIYAH (Tinjauan Filsafat Hukum Islam) Hamka Husein Hasibuan. Postgraduate Program, Sunan Kalijaga State Islamic University. Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2017.


source image : wikipedia