Dekadensi Spiritual Akhir Zaman: Akar Kemerosotan dalam Institusi Keagamaan dan Jalan Kebangkitan Ruhani Melalui Imam Mahdi serta Al-Masih yang Dijanjikan

25
Dekadensi Spiritual Akhir Zaman: Akar Kemerosotan dalam Institusi Keagamaan dan Jalan Kebangkitan Ruhani Melalui Imam Mahdi serta Al-Masih yang Dijanjikan
Dekadensi Spiritual Akhir Zaman: Akar Kemerosotan dalam Institusi Keagamaan dan Jalan Kebangkitan Ruhani Melalui Imam Mahdi serta Al-Masih yang Dijanjikan

Fenomena dekadensi spiritual akhir zaman merupakan tema sentral yang mendapat perhatian khusus dalam literatur hadis eskatologis Islam. Kemerosotan ini bukan sekadar fenomena sosial-budaya biasa, melainkan representasi dari krisis eksistensial yang menyentuh inti keberagamaan umat. Yang mengejutkan, degradasi ini tidak ditandai dengan hilangnya praktik ritual keagamaan secara kasat mata — masjid tetap berdiri megah, Al-Qur’an masih dibaca, dan terminologi Islam masih bergema — namun yang hilang adalah substansi spiritual yang menjadi ruh dari seluruh praktik tersebut: keikhlasan yang murni, keadilan yang hakiki, dan keterhubungan sejati dengan petunjuk ilahi.

Paradoks yang paling menyedihkan dalam narasi dekadensi ini adalah bahwa kemerosotan justru berakar dan bermula dari institusi keagamaan itu sendiri, khususnya dari kalangan ulama dan pemuka agama — mereka yang secara normatif diamanahkan sebagai penjaga kemurnian iman, pewaris warisan kenabian, dan pembimbing umat menuju jalan ketakwaan. Ketika penjaga spiritualitas umat mengalami kekosongan ruhani, maka seluruh bangunan keagamaan masyarakat akan runtuh dari dalam, meskipun tampak kokoh dari luar.

Nabi Muhammad ﷺ, dengan kearifan kenabian yang mendalam, telah memberikan peringatan eksplisit bahwa umat Islam akan menghadapi ujian spiritual yang berat pada masa-masa akhir. Periode ini akan ditandai dengan berbagai fitnah yang kompleks dan berlapis, merebaknya kemunafikan yang terselubung, serta kemerosotan moral yang menyeluruh — bahkan merasuki tubuh keulamaan yang seharusnya menjadi benteng pertahanan spiritual umat.

Dalam sebuah hadis yang sangat masyhur dan sering dikutip, Rasulullah ﷺ menyampaikan peringatan yang menggugah:

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikutinya.”

Para sahabat bertanya dengan penuh keheranan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?”
Beliau menjawab dengan tegas: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”  (Sahih al-Bukhari 7320; Sahih Muslim 2669a)

Hadis ini memiliki dimensi makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar prediksi sosiologis tentang peniruan budaya. Hadis ini merupakan peringatan spiritual yang fundamental: umat Islam, dalam perjalanan sejarahnya, akan mengulangi pola-pola penyimpangan spiritual yang pernah dialami oleh umat-umat terdahulu, khususnya Bani Israil. Pola ini mencakup berbagai bentuk deviasi, mulai dari pembekuan pemikiran keagamaan, ritualisme tanpa pemahaman, hingga — yang paling krusial — penolakan terhadap para nabi dan pembaharu yang diutus Allah untuk meluruskan kembali jalan yang bengkok.

Sebagaimana ulama Yahudi pada masanya menentang para nabi dengan berbagai dalih — mempertahankan otoritas keagamaan, menjaga tradisi leluhur, dan mengklaim monopoli atas kebenaran — demikian pula ulama Islam di akhir zaman diprediksi akan menolak utusan pembaharu ilahi yang datang membawa misi pembaharuan iman. Mereka akan menggunakan legitimasi tekstual, otoritas institusional, dan dukungan massa untuk mempertahankan status quo, meskipun status quo tersebut telah jauh dari esensi ajaran yang sejati.

Penolakan terhadap pembaharu ilahi ini bukan fenomena pinggiran, melainkan merupakan indikator kunci dan barometer utama dari dekadensi spiritual keulamaan. Hal ini menunjukkan kondisi ketika agama telah bertransformasi menjadi sistem sosial-politik yang lebih mementingkan pelestarian kekuasaan dan pengaruh, ketika kedudukan keagamaan dipertahankan sebagai simbol status dan prestise sosial, namun kehilangan kedalaman makna spiritual dan kehilangan orientasi ilahinya yang sejati. Inilah tahap ketika “Islam tinggal namanya saja,” sebagaimana akan dijelaskan dalam hadis-hadis berikutnya.

Rasulullah ﷺ tidak hanya memberikan peringatan umum, tetapi juga melukiskan dengan gamblang kondisi spesifik ulama akhir zaman yang, alih-alih menjadi sumber petunjuk dan rahmat, justru berubah menjadi sumber fitnah dan kesesatan bagi umat. Dalam berbagai hadis, beliau menggambarkan profil ulama yang telah kehilangan ruh kenabian.

Pertama, sabda Rasulullah ﷺ:

 “Akan datang suatu masa bagi umatku, ketika orang-orang membaca Al-Qur’an, tetapi Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan mereka; mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”  (Sahih al-Bukhari 3344)

Metafora “Al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan” sangat kuat maknanya. Hadis ini menggambarkan pembacaan Al-Qur’an yang bersifat mekanis, hafalan tanpa perenungan, tilawah tanpa tadabbur. Kata-kata suci itu diucapkan oleh lisan, namun tidak meresap ke dalam hati, tidak mentransformasi jiwa, dan tidak menghasilkan amal saleh yang sesungguhnya. Inilah gambaran dari pemahaman agama yang dangkal, meskipun secara formal tampak menguasai teks.

Lebih jauh lagi, perumpamaan “keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya” menunjukkan kecepatan dan ketidaksadaran dalam proses keluar dari esensi keislaman yang hakiki. Anak panah yang melesat dari busurnya bergerak dengan cepat, lurus, dan tanpa ada kemungkinan untuk kembali. Demikian pula, mereka yang memiliki pemahaman tekstual tanpa pemahaman spiritual dapat dengan mudah tergelincir keluar dari substansi agama, meskipun secara formal masih mengidentifikasi diri sebagai Muslim.

Kedua, dalam riwayat yang lebih spesifik dan mengkhawatirkan, disebutkan:

“Akan datang suatu masa atas manusia, ketika Al-Qur’an tinggal tulisannya saja, dan Islam tinggal namanya saja. Masjid-masjid mereka megah dan ramai, namun kosong dari petunjuk. Ulama-ulama mereka adalah seburuk-buruk makhluk di bawah kolong langit; dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka pula fitnah itu akan kembali.”  (Mishkat al-Masabih 276)

Hadis ini memberikan gambaran yang sangat komprehensif tentang paradoks keagamaan akhir zaman. Beberapa poin krusial perlu digarisbawahi:

  • “Al-Qur’an tinggal tulisannya saja” menunjukkan bahwa mushaf Al-Qur’an masih ada, ayat-ayat masih dibaca, bahkan mungkin hafalan Al-Qur’an semakin banyak — namun ruh Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup telah menguap. Al-Qur’an tidak lagi berfungsi sebagai kriteria kebenaran (furqan), kompas moral, dan panduan spiritual, melainkan hanya menjadi teks sakral yang dikultuskan tanpa diamalkan esensinya.
  • “Islam tinggal namanya saja” mengindikasikan bahwa identitas Islam masih dipertahankan, ritual-ritual masih dilaksanakan, istilah-istilah Islam masih digunakan, namun substansi Islam — berserah diri kepada Allah, keadilan, kasih sayang, kejujuran, kerendahan hati — telah hilang dari praktik kehidupan sehari-hari. Islam berubah menjadi label identitas, bukan transformasi karakter.
  • “Masjid-masjid mereka megah dan ramai, namun kosong dari petunjuk” adalah simbol paling gamblang dari ritualisme tanpa ruh. Masjid dibangun dengan arsitektur megah, jamaah memenuhi shaf, namun yang terjadi hanyalah gerakan-gerakan fisik tanpa kehadiran hati ( hudhur al-qalb ). Khutbah disampaikan namun tidak menyentuh nurani, shalat dikerjakan namun tidak mencegah dari kemungkaran. Inilah kondisi ketika agama direduksi menjadi formalitas tanpa esensi, penampakan tanpa hakikat.
  • Yang paling mengkhawatirkan adalah pernyataan: “Ulama-ulama mereka adalah seburuk-buruk makhluk di bawah kolong langit; dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka pula fitnah itu akan kembali.” Ini adalah vonis yang sangat keras, menunjukkan bahwa fitnah keagamaan terbesar justru lahir dari tangan mereka yang seharusnya menjadi pelindung agama.

Mengapa ulama yang korup lebih berbahaya daripada orang jahil yang korup? Karena ulama memiliki otoritas keagamaan, legitimasi spiritual, dan pengaruh massa. Ketika mereka menyimpang, mereka tidak hanya menyesatkan diri sendiri, tetapi juga menyeret ribuan bahkan jutaan pengikut mereka ke dalam kesesatan. Mereka menggunakan agama untuk kepentingan duniawi, menggunakan teks suci untuk membenarkan nafsu, dan menggunakan posisi spiritual untuk meraih kekuasaan temporal.

Lebih jauh, “dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka pula fitnah itu akan kembali” menunjukkan bahwa mereka adalah sumber sekaligus muara dari kesesatan. Fitnah yang mereka timbulkan akan kembali menimpa mereka sendiri, menciptakan siklus destruktif yang terus berputar, memperburuk kondisi umat dari generasi ke generasi.

Untuk memahami kronologi dan dinamika fitnah akhir zaman secara lebih sistematis, kita perlu merujuk kepada salah satu hadits paling komprehensif yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abdullah ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Akan datang fitnah Ahlas (pelarian dan peperangan), kemudian fitnah Sarra’ (kemakmuran yang menipu, dari bawah kaki seseorang dari ahlul baitku, ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku, karena sesungguhnya waliku hanyalah orang-orang bertakwa). Lalu manusia bersatu pada seorang pemimpin seperti pinggul di atas tulang rusuk. Kemudian datang fitnah Duhaimā’, yang tidak membiarkan seorang pun dari umat ini kecuali akan mengenainya. Ketika dikatakan telah berakhir, justru ia berlanjut. Seseorang di pagi hari beriman dan pada sore hari menjadi kafir, hingga manusia terbagi menjadi dua golongan: kemah iman tanpa kemunafikan, dan kemah nifak tanpa iman. Maka, jika hal itu terjadi, tunggulah Dajjal pada hari itu atau keesokannya.”  (Sunan Abi Dawud 4242)

Imam Mulla ‘Ali al-Qari, dalam karya monumentalnya Mirqat al-Mafatih , memberikan penjelasan yang sangat penting:

“Ia mengaku bagian dariku dalam nasab, tetapi bukan bagian dariku dalam amal. Andai ia benar-benar dari keluargaku—yakni pewaris ruhani kenabian—tentu tidak akan menimbulkan fitnah.” (Mirqat al-Mafatih, jilid 8, hlm. 3410)

Penjelasan ini membuka dimensi baru dalam memahami hadis. Al-Qari membedakan antara klaim genealogis dan realitas spiritual. Seseorang bisa saja mengklaim keturunan dari Nabi ﷺ, atau mengklaim kedekatan dengan tradisi kenabian, atau mengklaim mewakili Islam yang otentik — namun jika tidak memiliki ketakwaan, keikhlasan, dan akhlak kenabian, maka klaim tersebut adalah palsu.

Lebih jauh, pernyataan Nabi ﷺ “karena sesungguhnya waliku hanyalah orang-orang bertakwa” adalah kunci interpretasi. Kata “wali” di sini berarti “sekutu sejati” atau “orang yang benar-benar dekat denganku”. Nabi ﷺ menegaskan bahwa kedekatan sejati dengan beliau bukan ditentukan oleh garis keturunan biologis, afiliasi kesukuan, atau klaim institusional, melainkan oleh ketakwaan (taqwa).

Hal ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Implikasi dari pemahaman ini sangat mendalam: fitnah spiritual akhir zaman justru akan dimulai dari figur-figur religius yang mengklaim kedekatan dengan Nabi — baik secara genealogis (keturunan), simbolis (memakai gelar keagamaan), atau institusional (mewakili lembaga keagamaan resmi) — tetapi telah kehilangan ketakwaan yang menjadi ruh sejati kenabian.

Mereka akan menggunakan legitimasi agama untuk kepentingan duniawi, menggunakan otoritas spiritual untuk meraih kekuasaan politik, dan menggunakan nama Nabi untuk menyesatkan umat. Mereka adalah “Ahlul Bayt” secara formal-nominal, tetapi bukan “Ahlul Bayt” dalam makna spiritualnya. Mereka menjadi katalis bagi fitnah besar, menyesatkan massa dengan jubah kesalehan, sementara hati mereka kosong dari takwa. Mereka menjadi katalis bagi fitnah besar, menyesatkan umat dengan legitimasi agama, sementara pada hakikatnya mereka bukan “Ahlul Bayt” dalam makna spiritualnya.

Akhirnya, hadis ini menggambarkan hasil akhir dari fitnah Duhaimā’, yakni polarisasi sempurna. Manusia akan terbagi menjadi dua kelompok yang sangat kontras:

  • Kemah iman tanpa kemunafikan: Kelompok orang-orang beriman yang murni, yang telah melewati segala ujian dan fitnah, dan iman mereka tersaring hingga menjadi kristal yang jernih tanpa ada campuran kemunafikan.
  • Kemah nifak tanpa iman: Kelompok orang-orang munafik murni, yang telah melepaskan segala kedok keimanan dan terang-terangan berada dalam kesesatan.

Tidak ada lagi wilayah abu-abu, tidak ada lagi ruang untuk kemunafikan yang terselubung. Setiap orang akan terpaksa memilih posisi mereka secara tegas. Inilah masa ghurbah (keterasingan) sejati bagi orang beriman, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: 

“Islam dimulai dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana awalnya. Maka beruntunglah orang-orang asing.” (HR. Muslim)

“Maka, jika hal itu terjadi, tunggulah Dajjal pada hari itu atau keesokannya.” Ini adalah klimaks eskatologis: kemunculan Dajjal sebagai fitnah terbesar dalam sejarah manusia, yang akan menjadi ujian final sebelum datangnya akhir zaman.

Dalam konteks ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis-salām (1835–1908) dari Qadian, India, memproklamasikan dirinya sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih yang Dijanjikan, diutus oleh Allah di tengah kemerosotan spiritual umat Islam. Beliau datang bukan dari luar umat, tetapi dari tengah-tengah umat sendiri — sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Al-Mahdi akan muncul dari antara umatku.” (Sunan Abi Dawud 4285; Sunan Ibn Majah 4085)

Hadis ini menegaskan bahwa pembaharu yang dijanjikan bukan akan datang dari luar tradisi Islam, bukan dari bangsa lain, dan bukan pula turun secara fisik dari langit — melainkan akan muncul dari kalangan umat Muslim sendiri, sebagai buah dari ketaatan spiritual tertinggi kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Salah satu ajaran paling penting dan sering disalahpahami dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. adalah konsep kenabian zhilliyyah (kenabian bayangan). Beliau menegaskan dengan sangat jelas bahwa beliau bukan nabi dalam pengertian nabi pembawa syariat baru (nabi tashri’i) yang berdiri sendiri, melainkan nabi dalam pengertian cerminan sempurna (nabi zhilli) dari nur kenabian Muhammad ﷺ.

Sebagaimana bulan tidak memiliki cahaya sendiri tetapi memantulkan cahaya matahari, demikian pula kenabian beliau adalah pantulan dari kenabian Muhammad ﷺ. Beliau tidak membawa ajaran baru yang terpisah, tidak menambah atau mengurangi syariat Islam, melainkan menghidupkan kembali pemahaman sejati terhadap Al-Qur’an dan Sunnah yang telah tertutupi oleh taklid buta, bid’ah, dan pemahaman yang menyimpang.

Konsep ini memiliki dasar yang kuat dalam teologi Islam, khususnya dalam pemahaman tentang wilayah (kedekatan spiritual dengan Allah) dan fana’ fi ar-Rasul (lenyap dalam kecintaan kepada Rasul hingga menjadi cerminan akhlak beliau). Para sufi besar sepanjang sejarah Islam telah memahami bahwa puncak tertinggi spiritualitas adalah menjadi manifestasi akhlak Nabi ﷺ. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengklaim telah mencapai maqam tersebut melalui karunia Allah.

Salah satu aspek yang menghubungkan misi beliau dengan hadis-hadis tentang Imam Mahdi adalah klaim spiritual tentang keturunan dari Sayyidah Fatimah ra. Dalam berbagai tulisan beliau, beliau menjelaskan:

“Allah telah menyingkap kepadaku bahwa aku secara ruhani berasal dari keturunan Sayyidah Fatimah. Aku adalah cermin yang memantulkan nur Nabi Muhammad ﷺ, dan aku diutus sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang dijanjikan untuk zaman ini.”

Pernyataan ini perlu dipahami dalam kerangka spiritual, bukan genealogis-biologis semata. Dalam tradisi Islam, konsep nasab ruhani (keturunan spiritual) sama pentingnya — bahkan lebih penting — daripada nasab jasadi (keturunan biologis). Seseorang bisa saja secara biologis keturunan Nabi ﷺ, namun jika tidak memiliki akhlak dan spiritualitas kenabian, ia bukan pewaris sejati.

Sebaliknya, seseorang yang bukan keturunan biologis Nabi ﷺ namun telah mencapai tingkat spiritual tertinggi dalam mengikuti jejak beliau, dapat dianggap sebagai pewaris ruhani yang sejati. Inilah makna pernyataan Nabi ﷺ dalam hadis: “waliku hanyalah orang-orang bertakwa.”

Dengan demikian, klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai keturunan ruhani Sayyidah Fatimah ra menunjukkan bahwa beliau adalah manifestasi ruhani dari Ahlul Bayt dalam pengertian yang sejati: mewarisi ruh, akhlak, dan spiritualitas kenabian, bukan sekadar label genealogis.

Ini sangat penting dalam konteks hadis tentang fitnah Sarra’ yang telah kita bahas sebelumnya. Jika fitnah akan muncul dari “seseorang yang mengaku bagian dariku padahal bukan dariku,” maka pembaharu sejati adalah kebalikannya: seseorang yang benar-benar menjadi bagian dari Nabi secara spiritual, meskipun mungkin tidak diakui oleh mayoritas karena tidak memenuhi ekspektasi duniawi dan politis mereka.

Dengan demikian, beliau bukan mengaku sebagai nabi baru yang terpisah, tetapi sebagai tajallī (manifestasi rohani) dari Rasulullah ﷺ — penyempurna misi kenabian, sebagaimana Isa bin Maryam datang sebagai pembaharu Bani Israil setelah masa dekadensi ulama Yahudi. Kehadiran beliau terjadi pada masa ketika umat Islam terpecah belah, dikuasai penjajahan, dan mengalami krisis iman. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menyebut keadaan itu sebagai “zaman malam kegelapan Islam.”

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. As-Shaff: 9)

Beliau menafsirkan ayat ini sebagai janji bahwa Islam akan bangkit kembali melalui pembaharu rohani yang datang dengan kekuatan doa dan hujjah, bukan dengan pedang.

Kehadiran Al-Masih yang dijanjikan di akhir zaman sejatinya adalah kembali tegaknya ruh kenabian Muhammad ﷺ dalam sosok pengikut sejatinya. Dengan demikian, kebangkitan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. merupakan manifestasi dari nubuatan Nabi ﷺ tentang datangnya Al-Mahdi dari antara kaum Muslimin, bukan dari luar.

Untuk memahami urgensi misi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., kita perlu memahami konteks historis di mana beliau hidup. Abad ke-19 adalah salah satu periode paling kelam dalam sejarah Islam:

1. Dominasi Kolonialisme Eropa

Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah kendali kolonial bangsa-bangsa Eropa: India di bawah Inggris, Asia Tenggara di bawah Belanda dan Inggris, Afrika Utara di bawah Prancis, Timur Tengah di bawah kendali tidak langsung Eropa. Kekhalifahan Utsmaniyah, meskipun masih eksis secara formal, telah melemah dan dijuluki “the sick man of Europe.” Umat Islam kehilangan kekuatan politik, ekonomi, dan militer.

2. Krisis Intelektual dan Spiritual

Lebih berbahaya dari dominasi politik adalah krisis intelektual dan spiritual. Umat Islam terpecah belah dalam sektarianisme yang saling mengkafirkan. Ijtihad telah terhenti, digantikan oleh taklid buta terhadap pendapat-pendapat mazhab tanpa pemahaman mendalam. Bid’ah dan khurafat merajalela. Pemahaman Islam telah jauh dari kemurnian Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Serangan Ideologis dari Luar 

Bersamaan dengan dominasi politik, umat Islam menghadapi serangan ideologis yang sistematis dari misionaris Kristen dan orientalis yang menyerang Islam melalui berbagai tuduhan: Islam disebarkan dengan pedang, Al-Qur’an adalah karya Muhammad bukan wahyu ilahi, ajaran Islam tidak rasional, dan sebagainya. Umat Islam, dalam kondisi lemah secara intelektual, tidak mampu memberikan respons yang memadai.

4. Kebangkitan Ateisme dan Materialisme

Abad ke-19 juga menandai kebangkitan ateisme modern melalui pemikiran Darwin, Marx, Nietzsche, dan para pemikir Eropa lainnya. Agama mulai dipandang sebagai “candu masyarakat,” sebagai produk evolusi sosial, atau sebagai mitos yang harus ditinggalkan. Materialisme ilmiah mulai mendominasi wacana intelektual global. Ini adalah “Dajjal” dalam wujud ideologisnya: sistem pemikiran yang mengingkari Tuhan dan menggantikan-Nya dengan materi dan akal manusia semata.

5. Kondisi Umat Islam di India

Di India khususnya, setelah pemberontakan 1857 yang gagal, umat Islam mengalami represi berat dari pemerintah kolonial Inggris. Mereka kehilangan semua kekuatan politik, ekonomi terpuruk, pendidikan terbengkalai, dan yang lebih parah, semangat spiritual telah padam. Sebagian besar ulama tenggelam dalam perdebatan mazhab yang tidak produktif, sementara massa Muslim hidup dalam kemiskinan material dan spiritual.

Inilah yang dimaksud oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai “zaman malam kegelapan Islam” (zamanah lail al-Islam). Dalam kondisi inilah beliau diutus untuk menghidupkan kembali ruh Islam yang sejati.

Misi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dapat dirangkum dalam beberapa dimensi utama:

1. Membela Islam dengan Argumen Rasional dan Ilmiah

Berbeda dengan pendekatan konvensional yang hanya mengandalkan otoritas tekstual, beliau menggunakan argumen rasional, bukti ilmiah, dan debat intelektual untuk membela Islam. Beliau menulis lebih dari 80 buku dalam bahasa Urdu, Arab, dan Persia, membahas berbagai topik mulai dari filsafat agama, perbandingan agama, tafsir Al-Qur’an, hingga kritik terhadap Kristen dan ateisme.

Salah satu karya monumental beliau adalah Barahin-e-Ahmadiyya (Bukti-Bukti Ahmadiyah), yang berisi 300 argumen untuk membuktikan kebenaran Islam dan kenabian Muhammad ﷺ. Buku ini menjadi tonggak penting dalam apologetika Islam modern.

2. Menghidupkan Kembali Tradisi Wahyu dan Ilham

Salah satu aspek paling revolusioner dari misi beliau adalah mengklaim bahwa pintu wahyu tidak tertutup selamanya setelah Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun wahyu tasyri’i (wahyu yang membawa syariat) telah berakhir dengan Nabi Muhammad ﷺ sebagai Khatamun Nabiyyin (Penutup Para Nabi pembawa syariat), wahyu dalam bentuk ilham dan kashf (inspirasi dan penyingkapan spiritual) tetap terbuka bagi orang-orang yang mencapai tingkat spiritual tertinggi.

Beliau mengklaim menerima lebih dari 200,000 ilham sepanjang hidupnya, yang sebagian besar berisi petunjuk, peringatan, kabar gembira, dan penjelasan tentang hakikat agama. Klaim ini kontroversial, namun sejalan dengan pengalaman para wali dan sufi besar sepanjang sejarah Islam yang juga melaporkan pengalaman spiritual serupa.

Dengan menghidupkan kembali tradisi wahyu/ilham, beliau menunjukkan bahwa Allah masih hidup dan masih berbicara kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Ini adalah antitesis dari deisme dan ateisme yang mengklaim bahwa Tuhan tidak lagi aktif dalam sejarah manusia.

3. Menafsirkan Kembali Konsep Jihad

Salah satu kontribusi paling penting beliau adalah reinterpretasi konsep jihad. Dalam konteks abad ke-19, ketika sebagian gerakan Muslim merespons kolonialisme dengan perlawanan bersenjata, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menegaskan bahwa era jihad fisik telah berakhir, dan yang dibutuhkan sekarang adalah jihad melalui pena, argumen, dan akhlak.

Beliau berfatwa bahwa jihad ofensif tidak lagi dibenarkan dalam kondisi kontemporer, dan umat Islam harus fokus pada penyebaran Islam melalui dakwah damai, pendidikan, dan teladan akhlak mulia. Posisi ini sangat kontroversial dan menjadi salah satu alasan penolakan keras dari sebagian ulama tradisionalis yang masih mempertahankan konsep jihad fisik.

Namun, posisi ini sejalan dengan misi Al-Masih (Isa a.s.) yang digambarkan dalam hadits sebagai sosok yang akan mematahkan salib, membunuh babi dan menghentikan peperangan— bukan secara literal, melainkan simbolik: mematahkan teologi salib (trinitas) dengan argumen rasional, menghapuskan praktik-praktik yang tidak suci dengan reformasi spiritual, dan mengajarkan perdamaian termasuk dalam reinterpretasi jihad fisik.

4. Menyatukan Umat Melalui Tajdid (Pembaruan) Iman

Misi utama beliau adalah tajdid  — pembaruan pemahaman Islam yang murni, bebas dari bid’ah, khurafat, dan taklid buta. Beliau mengajak umat kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang sejati, memahami agama melalui akal yang sehat dan spiritualitas yang hidup, bukan sekadar meniru secara membabi buta.

Beliau juga berusaha menyatukan berbagai sekte dan mazhab Islam di bawah pemahaman yang lebih inklusif dan toleran. Meskipun beliau sendiri banyak sependapat dengan mazhab Hanafi dalam hal fikih, beliau menegaskan bahwa perbedaan mazhab tidak boleh menjadi penyebab perpecahan umat.

5. Membangun Jama’at (Komunitas) Spiritual

Pada tahun 1888, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menerima ilham untuk menerima bai’at (janji setia) dari para pengikutnya, dan sejak itu terbentuklah Jama’at Ahmadiyah (Komunitas Ahmadiyah). Jama’at ini bukan sekadar organisasi sosial-keagamaan, melainkan sebuah gerakan spiritual yang bertujuan untuk menghidupkan kembali Islam yang sejati.

Beliau menetapkan 10 syarat bai’at yang mencakup komitmen untuk meninggalkan syirik dalam segala bentuknya, menjauhkan diri dari dosa, menegakkan shalat lima waktu, tidak menyakiti makhluk Allah, setia dalam segala kondisi, mengutamakan agama di atas dunia, dan sebagainya. Ini adalah semacam “kontrak spiritual” yang mengikat anggota Jama’at untuk hidup dengan standar akhlak yang tinggi.

Jama’at Ahmadiyah kemudian berkembang menjadi gerakan misionaris Islam yang paling aktif di abad ke-20, menyebarkan Islam ke lebih dari 200 negara, membangun ribuan masjid, sekolah, dan rumah sakit, serta menerjemahkan Al-Qur’an ke puluhan bahasa. Semua ini dilakukan tanpa kekerasan, hanya melalui dakwah damai dan pelayanan kemanusiaan.

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sering merujuk kepada ayat Al-Qur’an yang menjanjikan kemenangan Islam atas semua agama sebagai dasar teologis bagi misinya:

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. As-Shaff: 9; juga QS. At-Taubah: 33; QS. Al-Fath: 28)

Ayat ini, menurut beliau, bukan hanya berbicara tentang kemenangan Islam di masa awal melalui penaklukan militer, melainkan terutama tentang kemenangan intelektual dan spiritual di akhir zaman. Beliau menafsirkan bahwa janji ini akan digenapi melalui kedatangan Al-Masih dan Al-Mahdi yang akan memenangkan Islam melalui kekuatan argumen, mukjizat spiritual, dan cahaya kebenaran, bukan melalui pedang.

Dalam konteks abad ke-19, ketika Islam secara politik dan militer berada dalam posisi terlemah, janji ini tampak mustahil. Namun Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menegaskan bahwa justru dalam kondisi kelemahan inilah Allah akan menunjukkan kekuatan-Nya dengan cara yang tidak terduga: melalui seorang pembaharu yang datang tanpa kekuatan duniawi, dari desa kecil yang tidak terkenal, namun dengan kekuatan spiritual yang mampu menggetarkan dunia.

Beliau menulis dalam salah satu ilhamnya yang terkenal:

“Aku akan menyebarkan dakwahmu hingga ke ujung-ujung bumi.” (Tadhkirah)

Dan memang, meskipun menghadapi penolakan keras dari mayoritas ulama Muslim, meskipun dituduh kafir dan murtad, meskipun Jama’at Ahmadiyah kemudian dipersekusi di banyak negara Muslim, ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. tetap menyebar ke seluruh dunia. Hari ini, Jama’at Ahmadiyah ada di lebih dari 214 negara dengan puluhan juta pengikut.

Sebagaimana yang telah dinubuatkan dalam hadis tentang umat Islam yang akan mengikuti jejak Bani Israil, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengalami penolakan keras dari mayoritas ulama Muslim pada zamannya. Beliau dituduh kafir, murtad, penipu, bahkan dianggap sebagai agen Inggris yang bermaksud memecah belah umat Islam.

Penolakan ini tidak hanya berupa kritik intelektual, tetapi juga ancaman fisik, fatwa pembunuhan, dan kampanye penghujatan yang sangat brutal. Namun, beliau menanggapi semua itu dengan kesabaran, doa, dan argumen yang tenang. Beliau tidak pernah membalas dendam, tidak pernah menghasut pengikutnya untuk melakukan kekerasan, melainkan selalu mengatakan bahwa kebenaran akan terbukti sendiri melalui tanda-tanda ilahi.

Pola ini persis sama dengan apa yang dialami oleh para nabi terdahulu. Nabi Ibrahim a.s. ditolak oleh ayahnya sendiri dan kaumnya. Nabi Musa a.s. ditolak oleh Fir’aun dan para pemuka Mesir. Nabi Isa as ditolak oleh para rabi Yahudi dan disalib (menurut keyakinan Kristen) atau diselamatkan oleh Allah (menurut keyakinan Islam). Nabi Muhammad ﷺ sendiri ditolak oleh kaum Quraisy dan diusir dari Makkah.

Penolakan ulama terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., dalam pandangan Jama’at Ahmadiyah, justru membuktikan kebenaran hadits tentang dekadensi ulama akhir zaman. Mereka adalah “ulama yang menjadi sumber fitnah” karena menolak pembaharu yang diutus Allah hanya karena takut kehilangan otoritas dan posisi sosial mereka.


oleh: Usamah Ahmad Rachmadi

Daftar Pustaka

Sunnah.com – Hadith Collections: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibn Majah. https://sunnah.com

Tadhkirah: The Record of Revelations, Dreams and Visions of the Promised Messiah (peace be on him). Islam International Publications, 2009.

The Holy Qur’an (English Translation). Tilford, Surrey: Islam International Publications, 2002.


Maghfiro, N. (2019, 11 Mei). Siapakah dia yang layak disebut keturunan Nabi Muhammad? BincangSyariah. https://bincangsyariah.com/kolom/siapakah-dia-yang-layak-disebut-keturunan-nabi-muhammad/

Tim Ahmadiyah. (2022, 12 Februari). Pendakwahan kenabian Mirza Ghulam Ahmad hasil dari fana fī Rasūl. Ahmadiyah.id. https://ahmadiyah.id/pendakwahan-kenabian-mirza-ghulam-ahmad-hasil-dari-fana-fii-rasuul.html

Tim Ahmadiyah. (2022, 6 Mei). Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dzilli dan buruẓī. Ahmadiyah.id. https://ahmadiyah.id/mirza-ghulam-ahmad-sebagai-nabi-dzilli-dan-buruzi

Mirza Ghulam Ahmad. Tafseer-e-Masih: Surah Al-Fatihah. Qadian: Nazarat Isha‘at, Sadr Anjuman Ahmadiyya, 2008.

Friedmann, Yohanan. Prophecy Continuous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background. Berkeley: University of California Press, 1989.