Oleh Sadiq Ahmad Adhetyo
Perhelatan Indonesia Asian Para Games 2018 yang digelar sejak tanggal 8 Oktober 2018 hingga 16 Oktober 2018 baru saja berakhir. Kompetisi olah raga tersebut melombakan dan memberikan kesempatan besar bagi para penyandang disabilitas untuk beradu kemampuan dalam perhelatan bertaraf internasional tersebut.
Asian Para Games pertama kali digelar pada tahun 2010 di Guangzhou, Republik Rakyat Tiongkok. Asian Para Games 2010 digelar 2 minggu setelah selesai atau ditutupnya Asian Games ke 16. Pada waktu itu Indonesia berhasil menyumbangkan 11 medali yang terdiri dari 1 emas, 5 perak, dan 5 perunggu.
Ada satu kejadian yang mengagetkan bagi khalayak publik yakni didiskualifikasinya Miftahul Jannah, atlet Blind Judo dari kompetisi tersebut karena satu alasan: ia memakai jilbab. Mengapa seorang atlet spesial Indonesia, siap berkompetisi membawa bendera dan kedaulatan Negara dalam kancah internasional didiskualifikasi dalam perhelatan olah raga terbesar di asia bagi para penyandang disabilitas?
Hal di atas tentunya menjadi pertanyaan besar publik dan ditengarai dapat mengangkat amarah masyarakat. Mengingat Indonesia adalah Negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia. Terlebih lagi, Mifta berasal dari Daerah Istimewa Aceh. Aceh merupakan daerah istimewa yang sangat kuat dan rigid dalam menjalankan syariat Islam di wilayah hukumnya.
Mifta: “Saya Tahu Namun Saya Ingin Membuat Dobrakan”
Aturan yang diformulasi dan dirumuskan oleh otoritas yang berwenang memiliki tujuan untuk melindungi khalayak banyak. Mental yang harus dibangun adalah kesepahaman bahwa rules are made to protect dan bukan rules are made to be broken. Peraturan dibuat untuk melindungi, bukannya dilanggar.
Coverage media mainstream baik cetak, tayang, maupun daring, pelatih dan Mifta diposisikan sebagai pihak yang tidak mengetahui adanya aturan mengenai jilbab tersebut. Terlebih Mifta dikabarkan tidak ikut dalam tanding pra olimpiade di Turki beberapa bulan silam. Pandangan publik menilai bahwa adanya kealpaan terkait regulasi yang dimaksud.
Namun semua itu berubah setelah coverage media memberitakan pengakuan Mifta (termasuk pelatih) bahwa ia mengetahui perihal regulasi tidak dibolehkan menggunakan penutup kepala selain dengan tujuan medis. Jika ditelaah dengan nalar dan logika, apakah mungkin atlet judo tidak mengetahui regulasi yang berlaku secara menyeluruh.
Lanjutnya, ia (Miftah) ditengarai ingin membuat suatu dobrakan atau perubahan dalam regulasi IJF. Diharapkan dengan kejadian tersebut regulasi bisa berubah dan mendorong atlet perempuan berjilbab lainnya untuk “berani” mengambil keputusan untuk bertahan pada prinsip, walaupun regulasi Internasional berkata sebaliknya.
Banyak pihak yang mengapresiasi sikap dan pendirian Miftah karena tidak berkenan melepas jilbab yang ia kenakan walaupun resiko yang dihadapi adalah diskualifikasi. Namun tidak sedikit yang menyayangkan sikapnya terkait hal tersebut. Jika saja sudah diketahui dari awal dan mengundurkan diri maka akan ada atlet potensial lain yang mewakili Indonesia dan berkesempatan lebih besar mendapatkan medali.
Regulasi
Berbicara mengenai olah raga kita tidak bisa melupakan hal penting yang disebut aturan atau regulasi. Setiap olah raga memiliki regulasi masing-masing yang dibuat semata-mata untuk melindungi para atlet dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan: cedera baik ringan hingga berat, bahkan kematian.
Dalam kasus Mifta, aturan mengenai penutup kepala memang sudah diformulasi dalam International Judo Federation Refereeing Rules atau Peraturan Wasit Federasi Judo Internasional. Artikel empat IJF merumuskan:
”Rambut panjang harus diikat sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan terhadap kontestan lainnya. Rambut harus diikat dengan pita rambut yang terbuat dari karet atau bahan sejenis yang tidak kaku dan mengandung komponen logam. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat medis, yang harus mematuhi aturan kerapian kepala”.
Aturan dalam IJF tersebut diperkuat kembali oleh aturan International Blind Sport Federation (IBSA). Dalam formulasinya Judoka tidak boleh menggunakan jilbab saat sudah memasuki area pertandingan. Namun Mifta enggan melepaskan jilbabnya saat memasuki arena pertandingan. Secara eksplisit sudah jelas bahwa Mifta melanggar kedua aturan baik dalam IJF RR maupun IBSA.
Judo adalah seni bela diri yang menggunakan bantingan dalam penerapannya (takedown). Banyak bantingan-bantingan yang berisiko apabila judoka menggunakan perlengkapan yang menutipi leher, dan akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak lawan dalam menggapai musuh.
Kasus Mifta bukanlah kali pertama pelarangan jilbab dalam olah raga judo. Di Olimpiade London 2012 judoka wanita Arab Saudi Wodjan Shahrkhani mendapat pertentangan bahkan ancaman tidak dapat mengikuti pertandingan karena baju yang ia pilih tidak sesuai dengan regulasi yang ada khususnya regulasi IJF.
Pada akhirnya Wodjan memilih untuk mengenakan tutup kepala berwana hitam untuk menutupi rambutnya dan ia kalah pada nomor putri kelas 78 Kg. Wodjan Shahrkhani disingkirkan oleh judoka asal Puerto Rico, Melisa Mojica, dalam pertandingan yang berlangsung tidak lebih dari satu setengah menit.
Sehingga bisa disimpulkan, bahwa regulasi IJF adalah regulasi yang melindungi keselamatan atlet dan bukan regulasi yang bersifat diskriminatif. Defia Rosmaniar, atlet tae kwon do dari Indonesia pun berjilbab dan bahkan memenangkan medali emas dalam pagelaran olah raga terbesar se asia yang dilangsungkan sebelum Asian Para Games 2018. Namun penulis tetap mengapresiasi keteguhan dan sikap berprinsip Miftahul Jannah. Sedikit catatan; jika ingin membuat gebrakan yang revolusioner, bergeraklah dari akar agar buahnya pun berubah. Mengingat Indonesia adalah Negara dengan mayoritas muslim, baiknya lebih berhati-hati dalam bertindak agar tidak menimbulkan keresahan dan salah paham di masyarakat, yang menimbulkan perpecahan dan amarah.
Kontributor : Sadiq Ahmad Adhetyo