Ilmu dan Iman Bertemu: Mengapa Barisan Shalat Harus Lurus?

33

Kita sejak kecil selalu diajarkan agar merapatkan barisan dalam shalat. Rasulullah saw. bersabda, ‘Luruskanlah saf-saf kalian,’ sebagai bentuk perintah untuk menjaga keselarasan dan kekompakan dalam ibadah. Saat itu, mungkin kita belum sepenuhnya memahami alasan di balik perintah ini. Namun, seiring waktu, kita mulai mengetahui hikmah kerohanian yang terkandung di dalamnya.

Namun, pada kesempatan ini, penulis tidak akan membahas pelurusan barisan dalam shalat dari aspek rohani. Sebaliknya, kita akan mengeksplorasi perspektif lain: adakah hikmah ilmiah di balik kerapatan barisan dalam shalat?

Penulis memilih perspektif ini karena meyakini bahwa ciptaan Allah Ta’ala tidak bertentangan dengan hukum-hukum alam. Sebaliknya, semakin dalam kita mempelajari sains, semakin jelas terlihat kesempurnaan dan harmoni antara ibadah dan hukum alam. Dalam tulisan ini, kita akan melihat pelurusan barisan shalat melalui lensa ilmu fisika. Mari kita eksplorasi bersama rahasia di balik pelurusan barisan shalat dari sudut pandang ini.

Gelombang Elektromagnetik

Para pembaca mungkin bertanya-tanya, apa hubungannya shalat dengan gelombang elektromagnetik? Untuk memahaminya, mari kita mulai dengan konsep sederhana tentang gelombang elektromagnetik. Secara sederhana, gelombang elektromagnetik adalah bentuk energi yang mencakup cahaya. Namun, cahaya yang kita kenal—seperti cahaya lampu atau sinar matahari—hanyalah sebagian kecil dari fenomena ini.

Cahaya memiliki berbagai tingkatan yang ditentukan oleh panjang gelombangnya. Rentang ini dikenal sebagai Spektrum Elektromagnetik . Menariknya, cahaya tampak—yang dapat dilihat oleh mata manusia—hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan gelombang elektromagnetik. Apakah Anda pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak ‘cahaya’ di sekitar kita yang tidak bisa kita lihat? Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut adalah ilustrasi Spektrum Elektromagnetik:

Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik: Rentang panjang gelombang dari gelombang radio hingga sinar gamma.

Gambar 1 di atas menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik yang diurutkan berdasarkan panjang gelombangnya. Panjang gelombang adalah jarak antara satu puncak gelombang ke puncak gelombang berikutnya. Untuk mempermudah pemahaman, perhatikan ilustrasi berikut:

(Gambar 2. Cara melihat panjang suatu gelombang.)

Semakin rapat jarak antar puncak gelombangnya, maka panjang gelombangnya akan semakin pendek. Nah, apa yang menarik dari konsep ini? Faktanya, semakin pendek panjang gelombang suatu gelombang, semakin besar kemampuan gelombang tersebut untuk menembus benda padat. Misalnya, coba perhatikan Gambar 1. Di sana terlihat bahwa sinar-X memiliki panjang gelombang yang sangat kecil, atau bisa dikatakan sangat rapat. Berkat sifat kerapatannya ini, sinar-X mampu menembus benda-benda seperti daging, namun tidak cukup kuat untuk menembus benda yang lebih padat seperti tulang. Inilah alasan mengapa sinar-X dimanfaatkan dalam bidang medis untuk melihat struktur tulang di dalam tubuh kita. Bahkan lebih jauh lagi sinar gamma mampu menembus hingga dapat merusak DNA dalam tubuh kita.

Dari fenomena alam ini, penulis menarik pelajaran tentang pentingnya kerapatan barisan dalam shalat. Semakin rapat barisan kita, semakin kuat keselarasan dan kekhusyukan yang tercipta. Dengan demikian, doa yang dipanjatkan pun menjadi lebih mudah ‘menembus’ langit dan sampai kepada Allah Ta’ala. Bagaimana menurut para pembaca? Apakah kita dapat menghubungkan keteraturan alam ini dengan barisan dalam shalat?

Ibadah Islam adalah Persatuan

Lebih jauh lagi, jika kita amati, seluruh bentuk ibadah dalam Islam sesungguhnya mengarahkan kita untuk bersatu dan membentuk ikatan yang terpadu. Semakin giat kita melaksanakan ibadah-ibadah tersebut, semakin kuat pula kita sebagai satu kesatuan umat.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda bahwa Allah Ta’ala menghendaki agar seluruh umat manusia menjadi seperti satu jiwa yang tunggal. Inilah yang disebut sebagai “Wahdat Jumhuri”—sebuah konsep di mana banyak individu dipandang sebagai satu kesatuan dalam tatanan yang seragam. Agama pun membawa misi yang serupa, yaitu menjadikan manusia bagaikan butir-butir tasbih yang dirangkai dalam satu benang persatuan. Salah satu contohnya adalah shalat berjamaah, yang merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan ini—di mana seluruh peserta shalat dihitung sebagai satu kesatuan yang utuh di hadapan Allah.

Mari kita perhatikan satu per satu bentuk ibadah dalam Islam. Pertama, Allah Ta’ala memerintahkan setiap penduduk di suatu wilayah untuk menunaikan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid. Tujuannya bukan sekadar menjalankan kewajiban, tetapi juga agar terjadi pertukaran akhlak, cahaya-cahaya rohani saling menyatu untuk mengikis kelemahan, dan umat saling mengenal serta menciptakan kedekatan—yang pada akhirnya menjadi fondasi bagi persatuan.

Kemudian, bentuk ibadah berikutnya adalah shalat Jumat, di mana seluruh penduduk kota dianjurkan untuk berkumpul di masjid Jami’. Karena sulit bagi seluruh warga kota untuk berkumpul setiap hari, maka ditetapkan satu hari dalam sepekan sebagai kesempatan untuk berkumpul. Dengan berkumpulnya umat setiap hari Jumat, diharapkan hubungan antar sesama menjadi lebih erat dan semangat persatuan pun semakin tumbuh.

Selanjutnya, setahun sekali, pada dua hari raya yaitu Idulfitri dan Iduladha, dianjurkan agar seluruh penduduk desa dan kota berkumpul untuk melaksanakan shalat bersama. Melalui pertemuan ini, hubungan dan kedekatan antar sesama semakin meningkat, sehingga terbentuklah persatuan yang lebih luas dalam masyarakat.

Akhirnya, untuk pertemuan seluruh dunia, ditetapkan satu hari dalam seumur hidup, yaitu di Padang Arafah di Makkah, di mana seluruh umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Intinya, melalui tahapan-tahapan ibadah ini, Allah Ta’ala menghendaki agar kasih sayang dan kedekatan di antara sesama manusia terus tumbuh dan menguat.[1]

Jadi, setelah memperhatikan berbagai bentuk ibadah dalam Islam, kita dapat melihat bahwa semuanya bermuara pada tujuan yang sama, yaitu mewujudkan persatuan. Dan persatuan ini hanya dapat terbangun jika kita saling berkumpul, mengikis jarak, serta bertukar cahaya kerohanian. Dengan begitu, hati kita pun akan semakin tajam sehingga mampu menembus langit dan melihat Tuhan dengan lebih jernih.

Semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan pemahaman yang mudah diterima, serta menginspirasi hati para pembaca untuk lebih giat dalam menjalankan ibadah-ibadah Islam.


Oleh : Ilham Sayyid Ahmad

Referensi :

[1] (Al-Badr, Jilid 3, Nomor 34, Tanggal 8 September 1904, Halaman 5)