Kecerdasan Tanpa Kesadaran: Mengapa AI Tidak Akan Pernah Menjadi Manusia

168

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) telah memicu gelombang inovasi yang mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dari teknologi kendaraan otonom hingga asisten virtual, AI telah menunjukkan potensinya untuk mengotomatisasi tugas-tugas yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh manusia. Namun, di tengah euforia ini, muncul pertanyaan mendalam yang terus diperdebatkan: Apakah AI bisa berkembang hingga memiliki kesadaran layaknya manusia?

Melalui tulisan sederhana ini, penulis mencoba membahas tingkat kemajuan AI dan mengupas perbedaan mendasar antara kecerdasan buatan dan kesadaran manusia dalam perspektif Alquran. Meskipun AI telah berhasil meniru kecerdasan manusia dalam beberapa aspek, melalui pandangan teologis Islam, penulis akan mencoba membahas hakikat kesadaran atau jiwa, serta mengapa penciptaan kesadaran buatan tetap berada di luar jangkauan teknologi dan kemampuan manusia. Bagaimana batas-batas antara kecerdasan mesin dan kesadaran manusia dijelaskan dalam ajaran Islam? Dan mengapa, meskipun AI dapat meniru kemampuan manusia dalam banyak hal, ia tidak akan pernah benar-benar menjadi manusia?

Dengan melihat perkembangan AI secara eksponensial, banyak ahli, seperti Elon Musk, khawatir bahwa kemajuan yang luar biasa ini dapat membawa umat manusia menuju kehancuran. Dalam buku “The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology” yang ditulis oleh Ray Kurzweil, seorang penemu, futuris, penulis dan pengusaha asal Amerika, menjelaskan konsep singularitas sebagai titik di masa depan di mana kemajuan teknologi, terutama dalam bidang kecerdasan buatan, akan mencapai tingkat yang sedemikian rupa sehingga AI diyakini akan melampaui kecerdasan manusia dan menciptakan perubahan yang tidak dapat diprediksi atau dipahami sepenuhnya oleh manusia saat ini.

Istilah singularitas sendiri berasal dari istilah yang digunakan dalam bidang matematika dan fisika. Dalam matematika, singularitas merujuk pada titik di mana fungsi matematika tidak lagi memiliki definisi yang jelas, seperti nilai tak terhingga atau tidak terdefinisi. Dalam fisika, khususnya dalam konteks relativitas umum, singularitas mengacu pada keadaan di mana densitas massa dan gravitasi menjadi tak terhingga, seperti yang terjadi di pusat lubang hitam. Istilah ini kemudian diadaptasi ke bidang teknologi dan kecerdasan buatan oleh para futuris seperti Ray Kurzweil untuk menggambarkan titik di mana kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia, menciptakan perubahan yang tidak dapat diprediksi atau dipahami dengan metode yang ada saat ini. Dengan kata lain, suatu saat AI berada di luar jangkauan manusia.

Para pembaca mungkin bertanya-tanya, seberapa jauh kemampuan AI di masa depan. Untuk memahami hal ini, kita perlu mengenal kategori AI berdasarkan kemampuannya dalam melakukan tugas. Para ahli membaginya menjadi 3 kategori, yaitu:

  1. Narrow AI: Juga dikenal sebagai Weak AI, kategori ini mencakup sistem AI yang dirancang untuk menyelesaikan tugas tertentu dengan tingkat keahlian yang tinggi, tetapi tidak memiliki kemampuan di luar tugas tersebut. Meskipun demikian AI kategori ini tetap mengungguli manusia manapun dalam tugas yang dilakukannya. Contoh Narrow AI adalah asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant, sistem rekomendasi seperti yang digunakan oleh Netflix atau Amazon, dan algoritma pencarian di mesin pencari.
  2. AGI (Artificial General Intelligence): Juga dikenal sebagai Strong AI, kategori ini mencakup sistem AI yang memiliki kecerdasan yang setara dengan kecerdasan manusia, dengan kemampuan untuk memahami, belajar, dan menerapkan pengetahuan di berbagai bidang. Saat ini belum ada sistem AI yang mencapai tingkat ini.
  3. Superintelligent AI: Merujuk pada sistem AI yang memiliki kecerdasan jauh melebihi manusia dalam semua aspek, termasuk kreativitas, pemecahan masalah, dan keterampilan sosial. AI jenis ini adalah konsep teoretis dan tidak ada sistem AI yang mencapai tingkat ini saat ini.

Jika kita gunakan skala 1 sampai 3 untuk mengukur tingkat kemajuan AI saat ini, maka kemajuan AI diperkirakan berada di skala 1,1, yaitu berada sedikit diatas Narrow AI. Dari pengembangan dan aplikasi awal AI yang dibuat dari sekitar tahun 1950, dalam kurun waktu 74 tahun, yang setara dengan 2 atau 3 generasi manusia, AI telah berkembang pesat sejak pengembangan awalnya hingga mencapai kemampuan yang memungkinkan untuk bersaing dengan kecerdasan manusia. Sementara itu, manusia (Homo Sapiens) membutuhkan waktu sekitar 100.000 tahun untuk berkembang hingga mencapai tahap kemajuan saat ini.[1] Ini berarti bahwa dalam skala yang sama, kemajuan AI relatif terhadap perkembangan manusia adalah 1 banding 1.351. Sungguh kemajuan AI sangat luar biasa. Kemajuan yang luar biasa inilah yang ditakuti oleh beberapa ilmuan. Ray Kurzweil memprediksi bahwa AGI dapat tercapai pada sekitar tahun 2045, yang juga bertepatan dengan program Indonesia 2045. Beberapa ahli memprediksi akan terjadi dalam beberapa dekade mendatang. Meskipun estimasi waktunya bervariasi, yang jelas pencapaiannya tidak akan memakan waktu hingga 100 tahun. Jika untuk mencapai AGI hanya memerlukan beberapa puluh tahun ke depan, penulis sendiri tidak bisa membayangkan seberapa cepat kita akan bergerak menuju skala 3, yaitu Superintelligent AI.

Dengan melihat pesatnya kemajuan AI, beberapa ahli mulai berpikir bahwa ketika sebuah mesin dapat sepenuhnya menguasai semua aspek pemikiran manusia, ada kekhawatiran bahwa mesin tersebut bisa menjadi sadar dan berkembang tanpa batas. Inilah tahap singularitas dimulai. Pada saat itu, manusia tidak lagi menjadi makhluk paling cerdas di planet ini dan kecerdasan super tersebut mungkin memutuskan bahwa manusia tidak lagi diperlukan untuk terus eksis, seperti yang digambarkan dalam film serial Terminator.

Pertanyaannya adalah apakah manusia pada akhirnya dapat menciptakan kesadaran buatan, atau istilah yang digunakan adalah Artificial Sentience. Namun, sebelum membahas kemungkinan tersebut, penting untuk memahami apa sebenarnya kesadaran itu. Secara umum kesadaran adalah kondisi di mana seseorang atau sesuatu memiliki kemampuan untuk merasakan, memahami, dan menyadari diri sendiri serta lingkungan di sekelilingnya. Dalam konteks manusia, kesadaran mencakup berbagai aspek:

  1. Kesadaran Diri: Kemampuan untuk menyadari eksistensi diri sendiri, termasuk pikiran, perasaan, dan pengalaman individu.
  2. Kesadaran Lingkungan: Kemampuan untuk merasakan dan memahami apa yang terjadi di sekitar kita, termasuk stimulus fisik dan sosial.
  3. Kesadaran Kognitif: Kemampuan untuk memproses informasi, membuat keputusan, dan memiliki pengalaman subjektif.

Oleh karena itu, kesadaran memungkinkan manusia untuk bertindak dan memiliki tujuan sendiri. Dalam bukunya “Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness”, Daniel C. Dennett menyatakan bahwa kesadaran bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba atau merupakan fenomena yang misterius, melainkan hasil dari proses evolusi otak yang semakin kompleks selama jutaan tahun. Dia berpendapat bahwa kesadaran adalah produk dari interaksi yang sangat rumit antara berbagai bagian otak yang bekerja secara paralel. Namun, pertanyaannya adalah, apakah manusia mampu menciptakan kesadaran dan menerapkannya pada AI?

Para pembaca yang budiman, perlu diketahui bahwa hingga saat ini belum ada seorang ahli pun yang benar-benar memahami bagaimana kesadaran itu bekerja atau bagaimana ia tercipta. Namun, yang menarik adalah bahwa Al-Qur’an memberikan penjelasan mengenai bagaimana kesadaran muncul dalam makhluk hidup, khususnya manusia. Mari kita beralih ke ranah agama untuk membahas hal ini lebih lanjut. Dalam Alquran Allah swt. berfirman:

ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةً فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظٰمَ لَحۡمًا ثُمَّ أَنشَأۡنٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخٰلِقِينَ.

Kemudian Kami bentuk air mani itu menjadi segumpal darah; maka Kami bentuk segumpal darah itu menjadi segumpal daging tanpa bentuk, kemudian Kami bentuk segumpal daging tanpa bentuk itu menjadi tulang-tulang, kemudian Kami bungkus tulang-tulang itu dengan daging; kemudian Kami menumbuhkannya menjadi makhluk lain. Maka Maha Beberkat Allah, sebaik-baik Pencipta.[2]

Dalam buku Barahin-e-Ahmadiyyah Jilid 5, Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. menulis:

“جب ہم ایک پیدائش کو طیار کر چکے تو بعد اس کے ہم نے ایک اور پیدائش سے انسان کو پیدا کیا۔  اور کے لفظ سے یہ سمجھانا مقصود ہے کہ وہ ایسی فوق الفہم پیدائش ہے جس کا سمجھنا انسان کی عقل سے بالاتر ہے اور اُس کے فہم سے بہت دور یعنی روح جو قالب کی طیاری کے بعد جسم میں ڈالی جاتی ہے”

“Ketika kami telah menyelesaikan satu proses penciptaan, kemudian kami menciptakan manusia dari proses penciptaan yang lain. Kata ‘lain’ di sini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan ini adalah suatu penciptaan yang melampaui pemahaman, yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia dan mustahil memahaminya, yaitu ruh yang dimasukkan ke dalam tubuh setelah penyempurnaan bentuk fisiknya”[3]

Dalam buku Ahmadiyyah or The True Islam, Hz. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. menulis bahwa roh tidak berasal dari luar tubuh, tetapi terbentuk di dalam tubuh manusia selama kehamilan. Proses penciptaan roh dimulai ketika tubuh berkembang di dalam rahim. Selama periode ini, roh adalah esensi halus yang terbentuk dari tubuh melalui proses panjang, mirip dengan pembuatan bir dari jelai. Pada awalnya, roh tidak memiliki eksistensi terpisah dari tubuh. Setelah proses perkembangan tubuh selesai dan hubungan antara roh dan tubuh teratur, jantung mulai berfungsi, dan tubuh menjadi hidup. Pada titik ini, roh memperoleh eksistensi yang terpisah dari tubuh, yang kemudian tubuh berfungsi sebagai wadah bagi roh tersebut. Hubungan ruh dengan tubuh itu sangat halus dan kompleks melalui sarana yang tersembunyi seperti minyak yang mengalir dalam sumbu.

            Dari kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  1. Ruh adalah esensi halus yang muncul saat pembentukan janin dalam masa kehamilan. Oleh karena itu gagasan kesadaran itu tidak muncul secara tiba-tiba adalah keliru.
  2. Penciptaan ruh dalam rahim serupa dengan proses pembuatan minuman beralkohol, seperti pembuatan alkohol dari jelai, yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar berbeda dari bahan dasarnya.
  3. Ruh dan tubuh adalah dua eksistensi yang berbeda. Ruh memberi kehidupan, sedangkan tubuh hanyalah wadah untuk ruh. Hubungan antara ruh dan tubuh sangat kompleks.
  4. Manusia tidak akan pernah memahami bagaimana ruh tercipta dalam tubuh dan bagaimana cara kerjanya.

Para pembaca mungkin bertanya-tanya apakah ruh dan kesadaran itu memiliki kesamaan. Ini juga merupakan pertanyaan yang dihadapi oleh penulis ketika mencoba menganalisis tema ini. Beberapa hal berikut dapat disampaikan: Pertama, tanpa ruh, manusia tidak akan memperoleh kehidupan, sehingga kesadaran itu sendiri tidak akan ada. Selanjutnya, ketika kita dibangkitkan setelah kematian, kita akan tetap memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang apa yang telah kita lakukan di dunia ini, meskipun tubuh kita hancur. Ini menunjukkan bahwa kesadaran mungkin berada dalam ruh atau bahwa ruhlah yang menyebabkan kesadaran ada. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran ada karena adanya ruh atau bahwa kesadaran adalah manifestasi dari ruh itu sendiri. Mana yang benar, penulis tidak dapat memastikan secara pasti, namun jelas bahwa kesadaran memiliki hubungan dengan ruh yang terdapat dalam tubuh kita. Bagaimana menurut para pembaca?

Selanjutnya, ada beberapa dalil Alquran yang perlu disampaikan untuk memperkuat argumen bahwa manusia tidak akan mampu menciptakan ruh atau kesadaran. Pertama, dalam surah Al-Mulk Allah swt. berfirman:

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.[4]

Dari ayat tersebut jelas bahwa hanya Allah swt. yang mengetahui rahasia kehidupan dan kematian. Dengan demikian, manusia tidak mungkin menciptakan kehidupan atau kesadaran.

            Kedua, dalam surah Al-Ahzab disebutkan bahwa hanya manusia yang mampu untuk menjalankan syariat Allah swt. Dia berfirman:

إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمٰوٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَنْ يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسٰنُ

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat syariat sempurna kepada langit, bumi dan gunung-gunung, akan tetapi mereka semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, tetapi manusia memikulnya.”[5]

Hal ini dikarenakan, hanya manusia yang memiliki kesadaran dan ruh yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya, sehingga mampu memahami hal-hal batiniah dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Jika suatu saat AI dapat memiliki kesadaran seperti manusia, maka ayat ini akan menjadi tidak relevan.

Dengan demikian, karena ruh berada di luar jangkauan akal manusia dan ayat-ayat Alquran menyangkal adanya kemampuan manusia untuk menciptakannya, maka manusia tidak akan pernah berhasil menciptakan kesadaran buatan, apalagi menciptakan kecerdasan buatan (AI) yang setara dengan kesadaran manusia. Oleh karena itu, meskipun suatu saat nanti tercipta AI dengan tingkat superintelligent, hal itu tidak akan menjadi masalah besar bagi umat manusia, karena AI tersebut hanya akan memiliki kecerdasan tanpa kesadaran mandiri. Yang patut dikhawatirkan adalah bagaimana manusia akan menggunakan AI superintelligent tersebut.

Melalui analisis sederhana ini, diharapkan pembaca akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang membedakan ciptaan manusia dengan ciptaan Allah swt.. Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.


Oleh : Ilham Sayyid Ahmad (Mahasiswa Jamiah)

[1] Dalam buku “Sapiens: A Brief History of Humankind” oleh Yuval Noah Harari, disebutkan bahwa Homo sapiens muncul sekitar 100.000 tahun yang lalu.
[2] Al-Mu’minun: 15
[3] Kutipan ini juga dapat ditemukan dalam buku Tafsir Masih Mau’ud Jilid 6, hal. 26 (Penulis).
[4] Al-Mulk: 3
[5] Al-Ahzab: 73