Kesesuaian antara Perkataan dan Perbuatan

450

 لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

 “… untuk apa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?

[Ash-Shaff, 61:3]

                Sebaris firman Allah Ta’ala ini menjadi pengingat kembali, akan tetap ada orang-orang di dunia ini yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan. Sejatinya di dalam diri seorang Muslim sejati, hendaknya terdapat kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan. Tak hanya sekedar berkata namun diiringi perbuatan nyata. Namun sayangnya, alih-alih mengambil sikap sebagai seorang muslim sejati, fenomena berkata tanpa diiringi perbuatan yang sesuai dengan perkataan masih dapat dijumpai.

                Bibir dengan mudah dapat berkata bagaimana yang diharapkan Allah Ta’ala, hingga kebenaran seharusnya dijalankan. Namun untuk pengamalannya terkadang memang sulit atau bahkan enggan dilakukan. Terlebih bagi manusia yang merasa “paling benar“, keegosian kiranya sudah merampas jiwanya hingga tak tersisa lagi kerendahan hati untuk intropeksi. Pada akhirnya, alih-alih berupaya menyesuaikan perbuatan dengan perkataan, yang ada terus berkata tanpa diiringi perbuatan nyata. Terkadang, kebohongan dan kepalsuan pun menjadi tameng untuk menutupi ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan. Mempercantik berbagai nasehat yang memang atas nama kebenaran dengan dibungkus kepalsuan demi untuk menutupi amalan yang tak sesuai dengan apa yang dikatakkan.

                Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda perihal ini:

                “Ada ratusan ribu penceramah ulung. Banyak sekali maulwi dan ulama yang sering tampil di mimbar-mimbar. Mereka menyatakan diri naib ar-rasul (pembantu Rasul) dan waratsatul anbiyaa (pewaris para nabi) dan banyak memberi nasehat. Kata mereka, ‘Jauhilah takabbur, menipu dan penyakit akhlak lainnya!’ Namun, justru itulah perbuatan mereka. Engkau dapat mengenali mereka yang sebenarnya dengan tolok ukur seberapa jauh segala ucapan mereka itu mampu menyentuh qalbu orang-orang?”

                Layaknya mata yang menjadi saksi atas perilaku seseorang, sebagaimana yang disabdakan Hz.Masih Mau’ud as, qalbu seseorang pun tak akan mungkin mampu tersentuh oleh seseorang yang hanya luar biasa menasehati namun tak dapat mengamalkan apa yang telah dinasehatkan. Karena perkataan yang diucapkan hanya akan memberikan dampak ketika ada konsistensi antara perkataan dan perbuatan.

                Ya, kiranya hal ini menjadi bahan intropeksi diri untuk semua, karena dalam hal nasehat menasehati tak akan mungkin terlepas dari kehidupan seseorang. Tak hanya seorang ulama atau bahkan Pemuka Agama yang dinanti para anggotanya untuk memberikan siraman rohani agar tetap berada dijalan yang senantiasa Tuhan ridhai. Sosok seorang Ayah dan Ibu pun tak pelak menjadi sosok yang dinanti oleh anak-anaknya untuk memberikan nasehat bagaimana menjadi sosok seorang anak yang berkualitas, yang dapat mengarungi samudra dunia ini sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

                Lalu, bagaimana jika seorang Ulama, Pemuka Agama, atau bahkan Orang Tua, jika hanya dapat menasehati tanpa melakukan apa yang sudah dikatakannya? Sejatinya, alih-alih mengikuti, mata yang menjadi saksi adanya ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan sang penasehat, tak akan mampu menyentuh hati. Hingga pada akhirnya malah mempertanyakan, bagaimana mungkin sang penasehat mampu mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan?

                Sebaris firman Allah Ta’ala yang berisikan “… untuk apa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?” , dilanjutkan dengan firmannya:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Sangatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan“.

                Tak ayal, bagi mereka yang tetap merasa benar, yang pandai beretorika namun tak berupaya untuk menunaikan, mereka akan berhadapan langsung dengan murka Allah Ta’ala. Kiranya, dengan mereka mampu mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan,  seolah dunia ini abadi, ada untuk selamanya. Hari akhir seakan-akan tampak semu, hingga pudar dan luput dalam fikiran, akan ada hari dimana semua manusia akan dimintai pertanggungjawabannya.

                 Pemimpin Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hz. Mirza Masroor Ahmad Aba juga bersabda “Keterusterangan untuk menginjak injak kebenaran di segala tingkatan itu terjadi karena semakin berkurangnya kepercayaan kepada Tuhan.”  Ya, sejatinya kepercayaan pada Allah Ta’ala adalah karunia bagi mereka orang-orang yang terpilih yang mensucikan hatinya. Dan itu semua tentunya akan tercermin dari perkataan seseorang yang sesuai dengan apa yang diamalkan.

                Lalu, bagaimana bagi mereka yang tetap bersikukuh merasa benar,  yang terus menerus berkata tanpa mengamalkan apa yang mereka katakan. Dan alih-alih intropeksi malah terus merasa paling benar dan membungkusnya dengan kepalsuan? Sejatinya, Allah Ta’ala tidak akan pernah diam, kiranya Dia masih memberikan kesempatan, sampai di titik mana mereka akan berhenti. Namun, jika mereka tetap bersikeras di jalannya bukan di jalan yang Allah Ta’ala inginkan, yang tentunya ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, biarlah Allah yang menjadi sebaik-baiknya Penghisab. Teringat firman-Nya, “Bukanlah Allah adalah Hakim yang Maha Adil diantara para hakim?”


Penulis             : Mutia Siddiqa Muhsin

Referensi :

      1. https://ahmadiyah.id/khotbah/serulah-kepada-jalan-allah-taala-dengan-hikmah-nasihat-yang-baik-dan-membantah-dengan-cara-yang-terbaik
      2. https://ahmadiyah.id/khotbah/menerapkan-kejujuran-dan-kebenaran-dalam-semua-aspek-kehidupan

      Sumber gambar : www.warungsatekamu.org/