Menyambut Indonesia Bebas Krisis Moral 2045 Melalui Gerakan Reformasi Pemuda

2019

Hazrat Muslih Mauud ra bersabda, ‘A nation cannot be reformed without reformation of its youth’. Bahkan founding father kita, Ir. Soekarno, mengatakan, “Beri aku 10 pemuda, maka akan kugoncangkan dunia.” Artinya, generasi muda memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Maka dari itu diperlukan formulasi khusus untuk menghasilkan generasi muda yang militan dan mampu menjadi garda terdepan bagi bangsanya.

Eksistensi pemuda yang semakin menggeliat di masa sekarang ini menjadi sesuatu yang fenomenal. Darah dan nadi mereka berdesir begitu hebat hingga mampu mengubah tatanan peradaban dunia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu contoh bukti yang dapat kita jumpai sebagai manifestasi pergerakan generasi muda.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada nilai-nilai yang hilang? Adakah norma-norma yang terabaikan? Adakah sistem kehidupan bermasayarakat yang terlupakan? Bagaimana jika terjadi segregasi antarkelompok yang berbeda pandangan? Lalu bilamana penyakit sosial timbul dan berkembang seperti sel kanker, apakah kita mampu mencari obat mujarab untuk menawarkannya?

Ketika lingkungan mengalami perubahan secara signifikan, sejumlah kelompok masyarakat akan melakukan konformitas atau penyesuaian tingkah laku dengan nilai dan norma sosial yang ada. Dalam kata lain, konformitas juga dapat berarti menampilkan suatu tindakan karena orang lain juga melakukannya (Sears, dkk., 1988: 103). Namun buruknya, sisi positif dan negatif yang masuk ke tatanan masyarakat diterima begitu saja tanpa predisposisi sehingga ada indikasi dekadensi moral. Jika dibiarkan berlarut-larut, maka penyakit moral akan meradang dan terus menggerogoti negeri ini hingga menemukan titik kehancuran yang bisa terjadi kapan saja.

Namun ironisnya, Indonesia bukanlah negara yang miskin kasus dekadensi moral. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2011 di lima kota tanah air, 16,35% dari 1.388 responden dari kalangan remaja mengaku telah melakukan hubungan seks di luar nikah atau seks bebas. Sebanyak 42,5% responden di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan seks di luar nikah dengan pasangannya, sedangkan 17% responden di Palembang (Sumatera Selatan) dan Tasikmalaya (Jawa Barat), responden di Singkawang (Kalimantan Barat) menjawab pernah melakukan seks bebas sebanyak 9%, sementara Cirebon (Jawa Barat) sebanyak 6% (Hendarman, 2012: 97).

Sebetulnya, bila dipahami secara saksama, kunci untuk membenahi permasalahan tersebut adalah pendidikan. Indonesia di tahun 2045, dari berbagai sumber dikatakan memiliki “bonus” demografi yang terus berlanjut dan akan berkontribusi atau sebaliknya berbencana pada berbagai sektor (Prasetyo, 2014: 5). Untuk mendapatkan “bonus demografi” yang berkontribusi sebagai hadiah 100 tahun kemerdekaan Indonesia perlu adanya perombakan besar-besaran pada sistem pendidikan kita. Pendidikan yang mampu mereformasi generasi muda menjadi generasi terbaik bagi bangsa dalam menghadapi tantangan global. Untuk mewujudkan itu, proses belajar menjadi hal yang penting (Sindhunata, 2000: 1997 dalam Triwiyanto, 2015: 66).

Sejatinya, pendidikan merupakan unsur vital yang harus ada dalam setiap sendi kehidupan. Ditinjau dari perspektif agama Islam, tarbiyyat atau pendidikan merupakan pembinaan dalam diri orang mukmin dan mengembangkan dalam diri mereka sifat keikhlasan dan amal saleh hingga mencapai martabat yang tinggi (Ahmad, 1995: 7). Jadi, tujuan pendidikan sebetulnya menghendaki adanya reformasi atau perubahan dalam diri seseorang untuk lebih baik.

Nilai dan spiritualitas menjadi hal utama dalam pendidikan, terutama pendidikan karakter. Menurut penelitian Skaggs & Bodenhorn (2006), program pendidikan karakter memiliki pengaruh yang kecil terhadap prestasi siswa, hal ini mungkin karena program pendidikan tersebut tidak terintegrasi dalam proses belajar mengajar (Arjanggi, 2012: 278). Jika disisipi dengan pendidikan karakter, maka ilmu pengetahuan tidak hanya sekadar formalitas belaka untuk mengukur kecerdasan kognitif tanpa memiliki kecerdasan emosional yang berpengaruh pada kepribadian seseorang.

Pendidikan karakter hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya (Zulfa, 2014: 1). Penanaman nilai-nilai karakter di lingkungan keluarga dapat mengacu pada delapan belas nilai pada karakter anak, seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggungjawab (Zulfa, 2014: 3). Keluarga yang harmonis, rukun, damai dan sejahtera tentu akan memengaruhi proses pembentukan karakter dan kepribadian anak. Bagaimana kepribadian anak di masa depan bergantung pada bagaimana cara keluarga mendidik anak tersebut.

Jadi, pendidikan yang mengacu pada perbaikan akhlak atau reformasi moral bagi generasi muda merupakan cara terbaik untuk merubah kondisi bangsa yang kini memprihatinkan. Jika dalam setiap insan terpatri nilai-nilai budi pekerti lalu dilakukan dalam tindakan nyata, maka lambat laun penyakit-penyakit moral yang meradang tersebut dapat diredam sehingga tercipta sebuah harmoni kehidupan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan.

Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat dari tingkat tertinggi hingga terendah harus bersinergi dalam menciptakan reformasi generasi muda agar Indonesia siap menghadapi tantangan global dan benar-benar melepaskan diri dari belenggu penjajahan dalam corak apa pun ketika usia kemerdekaannya tepat menginjak 100 tahun.


Oleh: Umar Farooq Zafrullah

Sumber :

Ahmad, Hazrat Mirza Basyir. 1995. Dasar-dasar Pendidikan Bagi Jemaat. Bandung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Arjanggi, Ruseno. 2012. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Tersedia: [ONLINE] https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1779/D8.%20Ruseno-UNISULA%20%28fixed%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y. diakses tanggal 16 Januari 2018

Hendarman. 2012. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama

Prasetyo, Zukhdan K. 2014. Generasi Emas 2045 sebagai Fondasi Mewujudkan Siklus Peradaban Bangsa Melalui Implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Tersedia: [ONLINE] http://staffnew.uny.ac.id/upload/131453197/pengabdian/semnas-pgsd-tanjungpura-pontianak-160414.pdf. Diakses tanggal 29 Januari 2018

Sears, David O., dkk. 1985. Psikologi Sosial Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga

Triwiyanto, Teguh. 2015. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Zulfa, Miska. 2014. Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Tersedia: [ONLINE]https://ejournal.stainupurworejo.ac.id/index.php/stainu/article/view/52/22. diakses tanggal 16 Januari 2018

Sumber Gambar : Sumpahpemuda.com