Apakah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi?
Sebagai seorang anggota Ahmadiyah, tentu saya akan menjawab dengan lugas: “Ya. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi.”
Atau, untuk kondisi tertentu kita bisa menggunakan jawaban gaya Sokratik: “Maaf, nabi seperti apa yang Anda maksudkan?”
Lalu bagaimana dengan gelar Khatamun Nabiyyin yang disandang oleh Nabi Muhammad saw? Tidakkah kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as mencederainya?
Mari kita menalar kembali logika di balik peliknya permasalahan khatamun nabiyyin.
Satu-satunya frasa Khatamun Nabiyyin dalam Al-Qur’an terdapat pada Surah Al-Ahzab ayat ke-41 (basmalah dihitung ayat pertama):
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا
Berdasarkan pendekatan makna yang didasarkan pada asbabun nuzul (latar belakang diwahyukannya ayat) frasa khatamun nabiyyin lebih kepada pengukuhan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai nabi yang paling utama dan paling sempurna. Konteks pengukuhan ini guna membungkam tuduhan rendah kepada beliau saw dari para penentang—termasuk kalangan munafiqin tentunya—ketika beliau menikahi Zainab binti Jahsy sehabis bercerai dengan Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah adalah anak angkat Nabi Muhammad saw.
Makna kontekstualnya jelas. Pertama, Allah SWT ingin menghapuskan tradisi Arab bahwa anak angkat dianggap sama persis dengan anak kandung sendiri. Kedua, menepis sekaligus menjunjung tinggi derajat Nabi Muhammad saw sebagai Penghulu Para Nabi yang tentu akan sangat tidak layak untuk menaruh hasrat rendahan meminta Zaid untuk menceraikan Zainab agar bisa dinikahi oleh beliau sebagaimana dituduhkan dengan kejinya.
Membaca secara konteks asbabun nuzul dengan cermat akan membawa kita kepada pemahaman yang lebih jauh lagi. Ayat khatamun Nabiyyin di atas malah sebaliknya mengandung isyarat halus akan adanya kenabian dari silsilah Nabi Muhammad saw. Disebutkannya secara eksplisit bahwa beliau bukan bapak biologis dari seorang laki-laki manapun (semua putra Nabi Muhammad saw meninggal saat kecil), lalu disebutkannya kedudukan sebagai Khatamun Nabiyyin, mengisyaratkan bahwa beliau akan menjadi bapak ruhani sebagaimana tersirat dalam QS Al-Kautsar. Kelahiran anak ruhani yang berpangkat nabi sudah ditetapkan dari silsihan beliau saw.. Sementara musuh-musuh beliaulah yang ditakdirkan abtar (tanpa keturunan ruhani).
Lalu bagaimanakah dengan hadits Laa nabiyya ba’diy?
Bukhari dan Muslim keduanya meriwayatkan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” كانَتْ بَنُو إسْرائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِياءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي”، وروى أبو داود والترمذي عن ثوبان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : “وأنا خاتَمُ النبيينَ ، لا نبِيّ بعدي” صححه الألباني في السلسة الصحيحة.
Diriwayatkan oleh Tsauban bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Aku adalah Khatamun Nabiyyin, tidak ada nabi sesudahku.”
Dalam memaknai hadits ini, tidak ada cara yang lebih baik dari mengikuti penafsiran yang diberikan oleh murid utama sekaligus Ummul Mu’minin sendiri, yakni Aisyah binti Abu Bakr. Beliau menegaskan:
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ ، عن عائشة قَالَتْ : قُولُوا : خَاتَمُ النَّبِيِّينَ , وَلا تَقُولُوا : لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Dari Jabir bin Hazim bahwa Aisyah ra berkata: “Katakanlah oleh kalian (bahwa Nabi Muhammad saw adalah) Khatamun Nabiyyin, dan janganlah kalian katakan tidak ada nabi setelahnya!”
Dari satu ayat al-Qur’an (firman Allah), satu hadits (sabda nabi Allah) dan satu atsar (perkataan sahabat nabi Allah) kita melihat adanya benang merah yang jelas kentara: Nabi Muhammad saw adalah nabi yang paling sempurna. Kenabian beliau menutup semua pintu kenabian yang akan menasikhkan syari’at sempurna beliau. Sementara itu di satu sisi—seperti ditegaskan oleh Aisyah ra—kenabian yang tunduk kepada syariat Nabi Muhammad saw akan tetap terbuka.
Mengapa pintu kenabian serupa ini harus terbuka? Mengapa Aisyah ra dengan tegas mengatakan ‘Janganlah kalian katakan tidak ada nabi setelahnya’?
Dalam hadits yang mutawattir (umum diketahui dan disepakati) disebutkan bahwa Nabi Isa (Al-Masih ibnu Maryam) akan kembali turun di akhir zaman. Pernyataan ini akan sangat sulit dinalar dan penuh kontradiksi. Pertama, bila Nabi Isa masih hidup di langit bagaimana beliau sebagai manusia bisa makan, bernapas, atau beristinja? Kedua, bila Nabi Isa telah wafat, artinya Allah Ta’ala akan menganulir hukum-Nya berkenaan dengan haramnya yang mati hidup kembali. Dan apabila Dia beriradah untuk itu, mengapa tidak Nabi Muhammad saw saja—sebagai kekasih-Nya—yang dibangkitkan dari kematiannya?
Kedua premis di atas bermasalah. Logika kita menolak keduanya. Dan jalan keluar dari kondisi ruwet ini ada pada pemaknaan khatamun nabiyyin yang tepat. Umat ini berutang budi pada penafsiran Aisyah, Sang Ummul Mu’minin yang dengan cerdasnya menegaskan, “Katakanlah oleh kalian (bahwa Nabi Muhammad saw adalah) Khatamun Nabiyyin, dan janganlah kalian katakan tidak ada nabi setelahnya!”
Bagaimana pun akan ada nabi setelah kewafatan Rasulullah saw. Hal ini disepakati umumnya kaum muslimin. Adakah yang berpendapat bahwa saat Isa ibnu Maryam—terlepas dari kontradiksi yang dibahas pada paragraf-paragraf sebelumnya—turun di akhir zaman nanti gelar kanabiannya dibatalkan? Akan sangat aneh bila ada yang berpendapat demikian. Karena dalam hadis turunnya Nabi Isa (as) di akhir zaman pun, beliau disebut dengan Nabi Allah oleh Rasulullah SAW. Lalu bagaimana kita memaknai kenabian Isa ibnu Maryam tersebut? Tentu kita dengan mudah mengatakan bahwa kenabiannya akan tunduk sepenuhnya pada syariat Nabi Muhammad saw, tidak menyalahi, menambahi atau mengurangi. Inilah pandangan Ahmadiyah yang juga dimiliki oleh NU sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Satu simpul sudah terurai. Tinggal satu simpul lainnya tersisa. Apakah Ibnu Maryam Musawi ataukah matsil (sosok serupa) Ibnu Maryam yang dijanjikan itu? Nalar kita akan mengatakan bahwa mestilah sosok yang dijanjikan kedatangannya itu berupa matsil. Wujud yang dinubuwatkan kedatangannya itu mestilah dari kalangan umat Islam sendiri. Ia mestilah buah dari quwwah qudsiyyah Nabi Muhammad saw sendiri sebagai Khatamun Nabiyyin. Tanpa penalaran ini, kita akan dipaksa berhadapan dengan kerancuan demi kerancuan. Hadits mutawattir berkenaan dengan kebangkitan kedua Ibnu Maryam kini mendapatkan sudut pandang terbaiknya. Tidak ada satupun ketentuan Allah yang terlanggar. Dia abadi dalam keajegan-Nya.
Nah, bila Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad atas perintah Allah SWT mendakwakan diri sebagai Al-Masih yang dijanjikan tersebut, lalu kenabian tersemat dalam diri beliau sebagai hasil dari kefanaan beliau terhadap Sang Kekasih, Rasulullah Muhammad Musthafa saw., apakah beliau mencederai kedudukan Khatamun Nabiyyin wujud yang dicintainya? Nalar sehat kita akan mengatakan sama sekali tidak.
Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan kembali apa yang disampaikan oleh Imam Jemaat Ahmadiyah ke-5, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad dalam khutbah Jum’at tanggal 13 Mei 2011, bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. bersabda, “Sejak permulaan Tuhan telah menetapkan undang-undang dan sunnah-Nya bahwa, Dia dan rasul-rasul-Nya akan selalu menang. Oleh karena aku seorang rasul-Nya atau utusan-Nya, tanpa membawa syari’at baru, tanpa membawa nama baru, melainkan aku datang atas nama Nabi Yang Mulia, Khatamul Anbiya (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintainya serta menjadi mazhar (cerminan) dari pada wujudnya. Maka aku katakan, sejak dahulu yakni sejak zaman Nabi Adam as sampai kepada zaman Hadhrat Rasulullah saw. makna ayat tersebut selalu sempurna kebenarannya. Sekarang juga ayat ini akan sempurna kebenarannya bagi mendukung kebenaran diriku.” (Nuzulul Masih, Ruhani Khazin Jilid 18 halaman 381-382)
Oleh: Dodi Kurniawan
Referensi:
1. https://bisatahmadi.com/beliefs tentang Hadits Khatamun Nabyyin oleh al-Ustadz Faras Ali Abdul Wahid, 2 April 2018
2. https://ahmadiyah.id/khotbah/status-kenabian-mirza-ghulam-ahmad-dan-kemenangan-yang-dijanjikan
3. https://www.laduni.id/post/read/27588/0140-nabi-isa-akan-turun-kembali-ke-dunia-sebagai-nabi-dan-rasul
Sumber gambar : alhakam.org