Pandemi Covid-19: Sebuah Sinyal Ketidakberesan

1431

A.     Latar Belakang

Pandemi Covid-19 yang semula hanya mewabah di Kota Wuhan, Tiongkok, kini bertransformasi menjadi persoalan krisis global. Krisis global yang merupakan perpaduan antara persoalan kesehatan, sosio-ekonomi, pendidikan bahkan politik. Negara-negara maju sekalipun mengalami turbulensi dan ketidakpastian dalam segala hal yang diakibatkan oleh virus ini.

Apabila dilihat jumlah kasus positif virus Covid-19 di dunia semakin bertambah dari hari ke hari, seperti pada awal September 2020 menunjukan jumlah yang signifikan, yakni mencapai 27.715.318 jiwa, sementara jumlah pasien sembuh dan kematian akibat virus ini, masing – masing sebesar 19.802.301 dan 900.753 jiwa (www.kompas.com). Lima negara yang memiliki jumlah penyebaran virus Covid-19 terbanyak, di antaranya Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, dan Peru. Sedangkan jumlah pasien positif sembuh, dan meninggal akibat pandemi Covid-19 di Indonesia, yakni masing – masing sebesar 203.000, 145.000, dan

8.336 jiwa per awal September (www.en.wikipedia.org).

Dalam menghadapi pandemi ini, Pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah sebagai pemegang otoritas untuk penanganan pandemi Covid-19 telah melakukan berbagai hal untuk dapat menekan angka positif virus ini, seperti menerapkan regulasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), baik di daerah – daerah atau spesifiknya di episentrum penyebaran pandemic Covid-19, menghimbau agar masyarakat menerapkan protokol

kesehatan, menghimbau agar menerapkan bekerja via daring (working from home), menerapkan sistem belajar di rumah untuk sektor pendidikan (study from home), pengadaan alat kesehatan yang memadai ke rumah sakit yang menjadi tempat pasien positif virus Covid- 19 dirawat dan membangun rumah sakit khusus penanganan Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, pemberian bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak secara ekonomi (berupa sembako dan bantuan langsung tunai), hingga melakukan stimulus fiscal dan moneter untuk perekonomian nasional.

Bagaimanapun juga, virus Covid-19 merupakan fenomena global yang menjadi momok bagi suatu negara. Berkenaan dengan kebijakan penanganan pandemi ini, menariknya timbul fenomena seperti ajang pertaruhan kredibilitas dan kapasitas sebuah negara dalam mengelola krisis ini. Persoalan negeri satu persatu muncul ke publik yang menandakan, bahwa banyak sekali ketidakberesan dalam tata kelola pemerintahan dalam menentukan kebijakan strategisnya, seperti karakter inkonsistensi dalam menegakkan regulasi, transparansi atau keterbukaan data terkait penangan pandemi Covid-19, kepekaan pemerintah terhadap resesi ekonomi yang sangat dominan daripada persoalan krisis kesehatan (menekan angka positif dan kematian), kurangnya penyerapan anggaran kementerian dan lembaga untuk membantu meminimalisasi dampak virus Covid-19 ini, dan persoalan dunia pendidikan yang kental akan ketidaksiapan, ketidakmampuan negara dalam membangun pendidikan yang proporsional, apalagi pada saat wabah seperti saat ini, dan persoalan krusial lainnya yang menandakan, bahwa sistem, struktur, kelembagaan dan kebijakan terutama dalam hal sosial- ekonomi telah rapuh dan menimbulkan kerentanan di masyarakat.

B.     Sinyal Negatif Sektor Kesehatan

Berkenaan dengan persoalan kesehatan di Indonesia, rupanya pandemic Covid-19 dengan alaminya menampakkan masalah – masalah serius tentang sektor kesehatan yang

semakin buruk sebagai implikasi sejarah pembangunan nasional yang mendeskriditkan sektor kesehatan, di mana merupakan salah satu mandat dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang disebutkan, bahwa semua orang berhak berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Negara dalam hal ini wajib untuk melindungi segenap warga Indonesia, dan mewujudkan masyarakat yang sehat.

Ketika persoalan pandemi Covid-19 muncul di Tiongkok pada akhir Agustus 2019, Pemerintah Indonesia melihat fenomena tersebut sebagai masalah bagi suatu negara saja. Tidak adanya penglihatan ke depan, bahwa nantinya akan bertransformasi sebagai pandemic global dan berujung pada krisis multisektor menjadi poin utama. Baru di awal Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus positif Covid-19, di mana sebelumnya pemerintah sangat yakin, bahwa virus tersebut tidak akan sampai melanda Indonesia. Hal tersebut, memperlihatkan kapabilitas sebuah pemerintahan untuk mengaktifkan sinyal waspada atau proteksi dini dari dampak negatif penyebaran pandemic Covid-19 yang sangat lemah, sehingga saat ini menanggung risiko dari tindakan tersebut, dan tidak sesuai dengan amanat konstitusi Indonesia.

Hal tersebut berimplikasi pada penyebaran virus ke seluruh penjuru Indonesia dalam waktu tujuh bulan yang menunjukan peningkatan kasus positif terus menerus setiap harinya hingga 11 September 2020 terdapat sekitar 207.000 jiwa (www.en.wikipedia.org), sehingga, menimbulkan dampak negatif terhadap dunia kesehatan di Indonesia. Persoalan yang timbul, seperti kurangnya daya tampung rumah sakit, jumlah kematian petugas medis (dokter dan perawat) meningkat akibat dari kurangnya ketersediaan alat pelindung diri yang memadai, dan polemic harga tes untuk menentukan terpapar atau tidak oleh Covid-19.

Kemudian, kurangnya melibatkan para ahli untuk meminimalisasi penyebaran virus dinilai menjadi persoalan tersendiri. Sementara itu, sejatinya yang harus memimpin

penanganan pandemi ini adalah presiden sendiri, sehingga praktik menerbitkan regulasi saat pandemi lebih efektif tidak membutuhkan waktu yang lama, dan juga presiden memiliki wewenang yang kuat dari segi hukum dibanding Ketua Satgas yang hanya memiliki kewenangan terbatas. Kemudian, di masa pandemic muncul polemik pengadaan vaksin Covid-19 yang pastinya berujung pada isu – isu sensitive, seperti sarat kepentingan bisnis dan politik.

C.     Sinyal Negatif Sektor Ekonomi

Tidak ada yang menyangka, bahwa pandemic Covid-19 akan berujung pada persoalan ekonomi. Seluruh negara di dunia ini menganggap ini persoalan yang hanya berdampak pada sektor tertentu, yakni sektor kesehatan. Hanya butuh sekitar tujuh bulan saja, persoalan pandemi ini bertransformasi menjadi persoalan krusial, yakni resesi ekonomi. Para ekonom di seluruh dunia mengatakan, bahwa mayoritas apabila pertumbuhan ekonomi secara kuartal mengalami pertumbuhan negatif dua kali terus menerus, maka suatu negara telah memasuki masa resesi, di mana seluruh sektor produksi melambat, perdagangan internasional dihentikan akibat regulasi di berbagai negara yang menerapkan pemberhentian sementara seluruh aktivitas apapun (lockdown), Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berhenti berkegiatan, dan fasilitas berbelanja (mal, pasar, dan tempat belanja lainnya yang berpotensi menjadi kluster penyebaran virus) ditiadakan.

Sementara itu, yang terjadi ketika selama pandemi ini, yakni pemutusan kerja skala besar terjadi dan berimbas pada munculnya angka kemiskinan baru, dan secara otomatis berpengaruh pada penurunan daya beli masyarakat yang menjadi tumpuan roda pertumbuhan. Menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) BKF Kemenkeu, Hidayat Amir menjelaskan angka kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat. Data BPS

menyebutkan, bahwa pandemic Covid-19 berdampak pada munculnya pengangguran baru sebesar 1.760.000 pekerja hingga Mei 2020 (www.nasional.kontan.co.id).

Terlepas dari fakta tersebut, pandemi Covid-19 juga menampakkan sinyal (alarm) bagi Indonesia, bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh pemerintah saat ini, sangat liberalistic, pro-pertumbuhan, dan sangat bertumpuan pada pasar. Peran negara hanya sebagai penyedia regulasi saja. hal tersebut erat kaitannya dengan hubungan antara kapitalisme dan negara. Sinyal tersebut menjelaskan, bahwa sistem tersebut menyebabkan masyarakat menjadi rentan, dan tidak berkeadilan. Fakta sejarah mengatakan, bahwa resesi atau krisis yang telah terjadi di abad 20 hingga 21 ini, membuktikan karakteristik sistem kapitalisme berujung pada akhir yang buruk, yakni krisis ekonomi.

Selain itu, dikarenakan hubungan ketergantungan sektor perdagangan internasional, maka dampaknya akan dirasakan secara global. Ghosh (2019) mengatakan, bahwa teori ketergantungan (dependency theory) menjelaskan hubungan pertukaran dan operasi global dari sistem kapitalisme selama masa neokolonial. Akar persoalan mengapa resesi atau pertumbuhan ekonomi minus terjadi kepada seluruh negara di dunia. Di sini teori ketergantungan menekankan, bahwa negara berkembang dan tidak berkembang (undeveloped countries) dalam kondisi bergantung pada negara maju (developed countries). Pola sistem kapitalislah yang secara logiknya bermasalah, karena mengandalkan produksi secara besar, penerapan ekspansi bisnis, dan akumulasi kapital, sehingga ketika deflasi terjadi, dan daya beli masyarakat menurun seperti saat pandemi Covid-19 ini, maka siklus bisnis kapitalisme akan mengalami turbulensi. Akibat dari hal itu, pengangguran meningkat, sehingga kemiskinan bertambah.

Bukan tidak ada alasan untuk menghubungkan fenomena pandemi Covid-19 yang berujung pada resesi ekonomi dengan teori – teori kritis terhadap tatanan ekonomi kapitalis

lainnya, seperti teori ketergantungan, teori sistem dunia (world system theory) dan degrowth theory yang mengkritisi paradigma pertumbuhan ekonomi yang sifatnya reduktif terhadap lingkungan dan sosial, serta kontraproduktif terhadap penciptaan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, fenomena tersebut menjadi sinyal negatif bagi sistem ekonomi Indonesia.

Oleh karena itu koreksi menjadi suatu keharusan, dan pandemi ini menjadi suatu tamparan bagi pemerintah, sehingga ke depan, Indonesia harus memiliki sistem peringatan dini (early warning system) yang baik, sekaligus mengkoreksi sistem ekonomi yang dianut.

D.     Sinyal Negatif Sektor Pendidikan

Selain persoalan kesehatan dan ekonomi akibat dari pandemic Covid-19 ini, terdapat masalah serius bagi keberlangsungan sektor pendidikan. Regulasi yang diterbitkan pemerintah berkenaan dengan aturan yang tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dalam upaya meminimalisasi penyebararan virus di sektor pendidikan, sehingga murid – murid mulai dari taman kanak – kanak hingga perguruan tinggi memberlakukan belajar di rumah (study at home). Regulasi yang dikeluarkan pemerintah dapat dinilai tepat bagi mengurangi penyebaran virus, tetapi dalam praktiknya menimbulkan persoalan baru yang sangat pelik.

Pertama, persoalan yang timbul dari sektor pendidikan, yakni ketersediaan sarana dan prasarana belajar-mengajar daring. Infrastruktur daring sangatlah besar peranannya dalam mengadakan kegiatan belajar-mengajar daring, seperti ketersediaan alat (devices), seperti smartphone atau laptop, pulsa internet, dan ketersediaan jaringan internet. Sementara itu, masalah ketimpangan infrastruktur daring tersebut menjadi yang krusial. Tidak semua wilayah di Indonesia terhubung dengan jaringan internet, bahkan jika adapun, persoalan lain yang timbul adalah kualitas internet yang buruk, dikarenakan faktor geografisnya (Indonesia bagian timur) dan universalitas kualitas infrastruktur internet. Seharusnya, untuk wilayah

yang khas secara geografis pedesaan, perbukitan dan lembah, kualitas infrastruktur harus disesuaikan, sehingga akan mendapatkan kualitas yang baik, sama hanya dengan kualitas jaringan internet di perkotaan.

Selanjutnya, persoalan lain yang sangat penting adalah faktor sumber daya manusianya, seperti kapasitas dan kapabilitas pengajar, dan orang tua saat kegiatan belajar- mengajar dilakukan di rumah masing – masing. Kemampuan pengajar yang berbeda di setiap wilayah menimbulkan ketimpangan baru di sektor pendidikan. Pengajar yang berada dekat dengan pusat kota akan lebih mampu untuk mengoperasikan alat daring, dibandingkan dengan pengajar yang berada di daerah atau pedesaan, serta dalam memberikan materi ajar juga akan berbeda. Kemampuan murid – murid dalam membeli paket internet juga menjadi hal yang penting, mengingat dampak penurunan ekonomi yang tengah melanda masyarakat menyebabkan kesulitan dalam membeli paket internet yang masih menjadi barang mahal di negeri ini.

Kemudian respon pemerintah yang kurang terhadap segala keterbatasan tersebut menjadikan kegiatan belajar-mengajar daring tidak efektif. Walaupun bantuan paket internet dan sarana lainnya baru hadir di tengah kegiatan berlangsung, dan masih banyak sarana- prasarana yang belum tersedia sebagai penunjang kegiatan belajar-mengajar di tengah pandemic Covid-19.

Oleh karena itu, persoalan tersebut menjadi sebuah sinyal ketidakberesan di sektor pendidikan. Sejatinya, negara harus mensiasati aplikasi metode pembelajaran daring, meskipun ada atau tidaknya kondisi sulit seperti saat ini, sehingga menghasilkan metode hybrid (hybrid method).

E.     Kesimpulan

Fenomena pandemic Covid-19 menjadi barang baru saat ini, sehingga menghasilkan dampak negatif di berbagai sektor. Fakta membuktikan, bahwa pandemi ini mereproduksi sinyal – sinyal ketidakberesan, khususnya di sektor kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.  Tiga sektor yang sangat vital dalam suatu negara, dan menjadi tolak ukur baik atau tidaknya suatu negara, dan hubungan antara ketiganya sangat bergantung satu sama lain. Tinjauan kritis perlu dibangun untuk menilai tepat atau tidaknya suatu kebijakan.


Penulis: Khalid Walid Djamaludin

Sumber
Ghosh, B.N., 2019. Dependency theory revisited. Routledge.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/09/081500065/update-virus-corona-di-dunia-9- september–27-7-juta-orang-terinfeksi-kasus?page=all. Diakses 09/09/2020. Pukul 22.37 WIB.

https://en.wikipedia.org/wiki/Template:COVID-19_pandemic_data.     Diakses     09/09/2020. Pukul 22.52 WIB.

https://nasional.kontan.co.id/news/kemenkeu-catat-jumlah-pengangguran-baru-176-juta- hingga-mei-2020-akibat-covid-19. Diakses 11/09/2020. Pukul 01.02 WIB.