Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam

1777

Dalam sebuah Pidatonya, Pemimipin Jemaat Muslim Ahmadiyah Internasional, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih Ke-2 yang kemudian dibukukan lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul “Bentuk Dasar Ekonomi Dunia” pada 1949 memberikan telaah kritis berkenaan dengan dua sistem ekonomi termashur di dunia awal abad ke-20, yakni kapitalisme dan komunisme, sekaligus telaah etis berkenaan dengan pandangan Islam terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik, khususnya mengenai konsep Islam dalam pembangunan ekonomi di dunia.

Sebelum lebih lanjut menelaah konsep pembangunan ekonomi dalam pandangan Islam, beliau menjelaskan, bahwa pada dasarnya ada persamaan terhadap susunan bangunan ekonomi Islam dengan aliran komunisme, walaupun “roh” dan “hakikat” keduanya saling bertentangan. Dalam pidatonya tersebut, beliau juga menyinggung peristiwa Gerakan Revolusi Ekonomi Rusia pada Februari 1917, akan tetapi tidak akan penulis bahas dalam tulisan ini.

Yang paling utama, beliau menyampaikan pentingnya memahami peran dan arti dasar pikiran Islam mengenai kehidupan umat manusia. Sumber segala pemikiran Islam, baik ekonomi, politik maupun kemasyarakatan, yakni suatu kenyataan, bahwa kepunyaan, kedaulatan dan kekuasaan sejati hanyalah dari Allah SWT. Hal tersebut termaktub dalam Qur’an suci, Surah Al-Zukhruf: 85, yakni “Dan Maha Berberkat Dia Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi dan apapun yang ada di antara keduanya, dan di sisi-Nya ilmu tentang saat itu, dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. Makna daripada ayat suci tersebut, yakni kepunyaan akhir seluruh alam dengan segala isinya di dunia ini akan kembali kepada Zat Yang Luhur. Jika seseorang memangku sebuah jabatan, maka kenyataannya itu merupakan sebuah “amanah” yang harus dipertanggung jawabkan. Kemudian, ketika seseorang diberikan sejumlah dana untuk suatu tujuan, maka ia tidak berhak menggelapkannya untuk selain tujuan tersebut. Ayat suci Al-Qur’an di atas juga menjelaskan tentang berbagai penciptaan oleh Tuhan untuk seluruh alam agar dipergunakan sebaik-baiknya, dan tidaklah ada seorangpun yang berhak untuk bertindak semaunya.

Sementara itu, beliau juga menjelaskan berkenaan dengan sikap Islam berkenaan dengan dasar akhlak pemerintahan dan hak memerintah atas orang lain. Di dalam Qur’an suci sangat jelas, bahwa kerajaan dan hak memerintah atas orang lain datangnya dari Allah SWT. Dalam Qur’an Surah Al-Imran: 26, yakni “katakanlah, Wahai Allah, pemilik kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki, engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau  hinakan siapa yang Engkau kehendaki, hanya di tangan Engkaulah segala kebaikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ayat tersebut sebenarnya memiliki makna, bahwa faktor – faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pemimpin suatu pemerintahan telah diciptakan oleh Tuhan, maka untuk seseorang yang menjadi pemimpin tidak patut untuk lalai dan tidak memperhatikan amanat yang diberikan Tuhan. Beliau memberikan pemahaman, bahwa sejatinya kepemimpinan suatu pemerintah merupakan suatu “amanat”, bukan kepunyaan dan kekuasaan diri sendiri.

Berkenaan dengan aturan Islam untuk seseorang yang memegang kekuasaan, beliau menegaskan, bahwa dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 205, yakni “Dan apabila ia berkuasa, berkeliaranlah ia di muka bumi untuk membuat kekacauan di dalamnya dan membinasakan sawah ladang serta keturunan manusia, dan Allah tidak menyukai kekacauan”. Golongan politik dan ekonomi begitu bertindak semau – maunya karena tidak mengindahkan kenyataan, bahwa Allah SWT tidak memberkahi setiap tindak yang tidak adil atau mengacaukan. Tergenapinya ayat suci Al-Qur’an itu, bahwa dalam pandangan Islam seorang pejabat pemerintahan yang sejati ialah yang memberikan kedudukan bagi masyarakatnya, serta menjaga ketertiban negara, dan mereka tidak menghabiskan sumber daya yang ada secara percuma, tetapi mereka harus senantiasa berupaya untuk memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya. Segala bentuk kewajiban ini menurut perspektif Islam terletak pada “negara”.

Penting untuk diulas berkenaan dengan perlakuan yang sama adilnya untuk semua. Beliau menjelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa: 58, bahwa asas terpenting adalah ketika sebagai seseorang yang diberikan kedudukan untuk menentukan jabatan – jabatan pemerintahan, maka kewajibannya kepada Tuhan ialah memilih orang yang terbaik, orang yang sanggup memenuhi tugas kerja dan persoalan yang ada dengan keteguhan hati, jujur, tahan uji, penuh kehikmatan, dan kepintaran, serta tenaga. Dalam pandangan Islam, beliau menjelaskan, bahwa keadilan merupakan syarat utama untuk menciptakan keadaan damai dan tertib di masyarakat. Dalam pandangannya tentang keadilan dalam Islam, masyarakat yang hidup dalam struktur pemerintahan demokratis yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang berlaku adil, penuh perhatian dan simpati, dapat mengerti, melindungi hidup dan kepunyaan sekalian golongan, memperkuat susunan ekonomi, menjembatani jurang antara manusia dengan manusia lainnya, kelas dengan kelas, bangsa dengan bangsa, dan tidak diperbolehkan membuang dengan percuma segala sumber tenaga tersebut.

Beliau dalam pidatonya juga mengulas empat dasar buah pikiran politik Islam yang menjadi sendi sistem ekonomi Islam, di antaranya sistem pemerintahan perwakilan dengan syarat kesanggupan dan keadilan, bentuk dasar, bahwa hak memerintah itu ialah “amanah” dan bukan suatu “hak”, keamanan yang sama dan kemajuan untuk semua yang menjadi tujuan pemerintah, dan menyerukan kepada pemerintah untuk tidak berat sebelah antara kepentingan – kepentingan yang berlawanan, seperti orang – perseorangan, kelas, warna kulit, agama, dan pertentangan lainnya.

Sejatinya urusan – urusan mengenai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada orang – orang yang cakap, dan dengan cara pemilihan yang demokratis atau tidak dikuasai segelintir kelompok. Penjaringan langsung semestinya menjadi dasar – dasar yang menentukan.

Islam juga menjelaskan berkenaan dengan asas sumber – sumber kekayaan alam, di mana dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam Surah Al Baqarah: 29, yakni “Dia-lah Yang menciptakan untuk kamu apapun yang ada di bumi semuanya untuk kemanfaatan kamu, kemudian Dia mengarah ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. Beliau menegaskan, sungai dan pegunungan, kekayaan bahan logam dalam tanah, tenaga – tenaga alam yang dapat dikumpulkan bagi manusia, dan lainnya disediakan bagi manusia. Tidak ada manusia yang berhak memiliki pengakuan atas sumber kekayaan alam tersebut.

Asas berikutnya, yakni termaktub dalam Al-Qur’an Surah An-Nur: 33, yakni “……….berikanlah kepada mereka (hamba – hamba dan tawanan – tawanan perang) sebagaian dari kekayaan yang telah dilimpahkan Allah kepada kamu”. Beliau menjelaskan berkenaan subjek yang dijelaskan oleh ayat tersebut, yakni hamba atau budak, di mana mereka tidak sanggup melepaskan dirinya sendiri. Islam sendiri mengajarkan, bahwa kekuasaan yang menahan mereka ini, semestinya menyediakan berbagai jalan agar mereka dapat melakukan suatu pekerjaan yang berguna, sehingga mereka dapat mengumpulkan harta untuk memperoleh kemerdekaannya suatu waktu.

Sementara itu, Islam menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad memiliki kecondongan terhadap kaum miskin dan yang tertindas, serta pentingnya usaha memperbaiki keadaan mereka, di mana itu semua merupakan pintu keridhoan dan kemajuan bangsa dan negara. Dalam Qur’an suci, terdapat Surah Al-Balad yang melukiskan penderitaan orang miskin. Pokok pikiran yang dapat diambil dari keberadaan surah tersebut, yakni keharusan menghindarkan diri dari sifat ketamakan dan hidup secara bermewah – mewah, sedangkan orang – orang dalam kondisi kesukaran yang amat sangat, artinya sebagai sesama manusia, kita dituntut untuk saling mengasihi yang kesulitan, dan setiap harta yang manusia miliki adalah kenyataan, bahwa itu hanyalah milik Allah semata yang di dalamnya terdapat hak bagi orang – orang yang lemah dan dalam kesukaran.

Hal lain yang menjadi khas akan bentuk ekonomi berdasarkan nilai – nilai Islam, yakni Islam menolak adanya “uang bunga” dalam setiap tindakan ekonomi masyarakat. Islam sendiri menurut beliau, melukiskan uang bunga ke dalam istilah – istilah yang juga meliputi beberapa transaksi dan perlakuan ekonomi, di mana anggapan umum tidak memasukkan ke dalam kategori tersebut. Seperti, penghasilan sesuatu percobaan usaha ekonomi, yang keadaanya menyebabkan keuntungan dengan menjauhi segala macam risiko, ialah uang bunga. Dalam arti ini, maka dividen yang dibayarkan oleh perusahaan trust, perkongsian atau kartel, yang pada dasarnya adalah uang bunga yang seharusnya tidak diizinkan. Seperti halnya monopoli dan kartelisasi yang dilakukan perusahaan menyebabkan kebinasaan bagi yang lainnya. Beliau mengatakan, bahwa segala cara macam – macam  perusahaan seperti ini yang berdasar atas ukuran mutlak dan menghilangkan anasir risiko, tidak disetujui oleh Islam agar jangan beberapa segelintir orang saja menjadi kaya – raya dengan mengambil sebesar – besar keuntungan dari golongan – golongan miskin.

Di dalam Islam juga melarang untuk menahan persediaan barang – barang (penimbunan) untuk dijualkan kembali ke pasar yang memiliki implikasi merugikan rakyat. Sebagian masyarakat menganggap, bahwa pengawasan negara terhadap pasar ialah perkembangan ekonomi modern, tetapi pada dasarnya tidak seperti itu. Islam selama tiga belas setengah abad yang lalu, menurut beliau mengakui perlunya pengawasan seperti itu dalam beberapa kondisi darurat, dengan melarang penimbunan barang agar dapat menaikkan harga barang.

Dalam tulisan ini, kiranya penulis tidak akan mencakupi keseluruhan kekhasan pembangunan ekonomi dan sistem ekonomi menurut pandangan Islam. Selanjutnya yang menjadi sesuatu yang spesifik dari Islam, yakni berkenaan dengan kewajiban negara untuk menyempurnakan kebutuhan hidup sehari – hari bagi rakyatnya. Dalam pidato beliau, dijelaskan berkenaan dengan kenyataan, bahwa manusia telah dicukupkan kebutuhannya oleh Allah SWT, kemudian larangan hidup bermewah – mewahan dan tidak peduli kepada si miskin. Beliau menegaskan, nantinya tidak ada kelas – kelas ekonomi yang bersekatan, antara si kaya dan si miskin, semua hidup berdampingan dan saling mengasihi satu sama lain.

Dari uraian di atas, penulis hanya membahas pandangan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berkenaan dengan susunan pembangunan ekonomi berdasar atas pandangan Islam, dan menjelaskan sebagian kekhasan bentuk ekonomi Islam yang berada dalam pertengahan hegemoni bentuk ekonomi barat yang kapitalistik dan bentuk ekonomi komunis.

Agar dapat menangkap pokok – pokok pikiran mengenai pembangunan ekonomi atau dengan istilah sistem ekonomi berdasar pada perspektif Islam, penulis merangkum pandangan yang diintisarikan oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad dalam pidatonya, di antaranya: 1) Pandangan sistem ekonomi Islam, yakni berdasarkan pengaruh agama yang dilanjutkan sepenuhnya, menentang setiap hasrat mengumpulkan harta benda yang besar dengan tidak sepatutnya; 2) Pengawasan atas hasrat – hasrat tersebut yang  bergerak sebagai kecondongan – kecondongan lain untuk mengumpulkan  harta yang banyak; 3) Distribusi yang tepat dari negara, sehingga tidak jatuh ke dalam beberapa segelintir orang atau kelompok; 4) Pengakuan pertanggung jawaban negara untuk menyediakan kebutuhan penting dan patut dari setiap orang – orang miskin.

Dan beliau menegaskan, bahwa sistem ekonomi Islam yang lengkap, menyeluruh, dan memuaskan, dikarenakan: 1) dibukakannya ruang yang sepatutnya bagi dorongan rohani dalam fitrat manusia untuk memperoleh kegunaan di kehidupan yang akan datang (akhirat); 2) dididiknya dalam roh manusia adat – adat kebiasaan yang sederhana dan hidup berguna; 3) sistem itu tidak berdasarkan paksaan; 4) Sistem ekonomi Islam itu tidak bekerja untuk membinasakan usaha – usaha individu; 5) Sistem ekonomi Islam itu menyediakan kebutuhan yang patut bagi si miskin; 6) Sistem ekonomi Islam itu mencapai tujuan – tujuan yang keputusannya tidak menimbulkan benci dan kekacauan yang menjadikan masyarakat berada dalam suasana ketakutan.


Oleh : Khalid Walid Djamaludin
Sumber :
1. Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta: Neraca Press. 2014. Print.
2. Ahmad, Bashiruddin Mahmud. 1949. “Bentuk Dasar Ekonomi Dunia”. Jakarta: Neratja Trading Company.
Sumber Gambar : geladeri.com