Pengaruh Ajaran Kristen pada Keyakinan Hidupnya Nabi Isa di Langit

670

Keyakinan bahwa Nabi Isa a.s.(Yesus) masih hidup di langit dan akan turun kembali menjelang hari kiamat adalah salah satu pilar akidah dalam Islam arus utama. Namun, pernahkah kita menelisik lebih jauh bagaimana penafsiran atas beberapa ayat Al-Qur’an tentang Isa a.s. bisa mengarah pada keyakinan ini, dan apakah ada pengaruh dari tradisi keagamaan sebelumnya? Diskusi mendalam ini akan membahasnya dari sudut pandang analisis linguistik Al-Qur’an dan catatan sejarah penafsiran awal.

Analisis Pola Linguistik Al-Qur’an

Jika kita menelusuri pola penggunaan kata-kata kunci dalam Al-Qur’an, ada beberapa poin menarik yang bisa dipertimbangkan:

  1. Kata “تَوَفَّى” (Tawaffā) dan Bentuk “مُتَوَفِّيكَ” (Mutawaffīka)

Dalam Surah Ali ‘Imran (3:55), Allah berfirman kepada Isa, “إِنِّي مُتَوَفِّيكَ” (Inni mutawaffīka – “sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu/mengambilmu dengan sempurna”). Secara linguistik, kata “tawaffā” dan turunannya, ketika merujuk pada manusia, hampir selalu berarti “kematian” atau “mengambil jiwa hingga wafat.” Contohnya banyak terdapat di Al-Qur’an (misalnya 2:286, 4:97). Pengecualiannya adalah saat merujuk pada tidur di malam hari (6:60, 39:42), yang dijelaskan sebagai ‘kematian sementara.’ Oleh karena itu, jika konsisten dengan pola ini, ayat 3:55 bisa diartikan bahwa Allah memang mewafatkan Isa a.s.secara alami[1].

  1. Kata “رَفَعَ” (afa’a) dan Bentuk “رَافِعُكَ” (Rāfi’uka)

Di Surah An-Nisa (4:158), Allah berfirman, “بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ” (Bal rafa’ahullāhu ilayhi – bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya). Ketika Allah menjadi subjek dan manusia menjadi objek dari kata “rafa’a“, seringkali ini merujuk pada peningkatan derajat, status, atau ketinggian spiritual. Contohnya pada Nabi Idris a.s.(19:57) yang diangkat ke tempat yang tinggi (makānan ‘aliyyā), atau pengangkatan kemuliaan Nabi Muhammad saw.(94:4). Jika pola ini dipertahankan, “rafa’ahu ilayhi” untuk Isa a.s.bisa berarti pengangkatan derajat spiritualnya ke hadirat Allah setelah wafat[2].

  1. Ungkapan “شُبِّهَ لَهُمْ” (Syubbiha Lahum – Diserupakanlah Bagi Mereka)

Dalam Surah An-Nisa (4:157), Al-Qur’an menafikan pembunuhan dan penyaliban Isa: “وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِن شُبِّهَ لَهُمْ” (“Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, melainkan diserupakan bagi mereka”). Bentuk pasif “syubbiha lahum” secara linguistik merujuk pada tindakan pembunuhan dan penyaliban yang disebutkan sebelumnya. Artinya, ilusi atau keserupaan itu ada pada peristiwa penyaliban itu sendiri, bukan pada penggantian individu Isa a.s.dengan orang lain yang kemudian disalib[3].

Kesimpulan Linguistik Murni dari Al-Qur’an:

Berdasarkan analisis pola linguistik ini, sebuah kesimpulan yang konsisten secara internal dapat ditarik:

  • Nabi Isa a.s. wafat secara alami (sesuai “mutawaffīka“).
  • Peristiwa penyaliban tetap dilakukan namun Isa as. disamarkan seakan benar-benar terbunuh pada kayu salib padahal hanya tidak sadarkan diri, frasa “ dia disamarkan”bukan bermaksud ada  orang lain yang disalibkan sebagai pengganti Isa a.s.
  • Setelah wafat, Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya secara spiritual ke hadirat Allah (sesuai “rafa’a“).

Artinya, sudah jelas bahwa Nabi Isa a.s. yang merupakan umat dan Nabi untuk Bani Israil, itu sudah wafat dan tidak akan kembali lagi. Selain tiga ayat diatas, pembaca juga dapat menemukan banyak ayat lainnya yang bisa membantu kita untuk membuat kesimpulan bahwa Nabi Isa a.s. itu sudah wafat[4]. 

Lalu, Dari Mana Keyakinan Isa Masih Hidup dan Yang Disalibkan adalah Orang Lain?

Di sinilah peran penting catatan sejarah dan tradisi tafsir awal. Yakni, keyakinan Nabi Isa a.s.masih hidup dan adanya pengganti di kayu salib mungkin telah dipengaruhi oleh narasi atau riyawat di luar Al-Qur’an. Berdasarkan studi dari Prof. Menachem Ali, seorang sarjana Islam Indonesia, mengindikasikan bahwa Tafsir Muqatil ibn Sulaiman (w. 150 H), salah satu tafsir Al-Qur’an tertua, menyebutkan bahwa Isa a.s. diangkat ke langit dan Yudas Iskariot disalib sebagai pengganti. Yang menarik, gagasan ini sangat mirip dengan narasi yang ditemukan dalam Injil Barnabas, sebuah Injil Apokrif yang telah di-anathema oleh Paus Gelasius melalui Decretum Gelasiani pada tahun 496 Masehi[5]. Kemungkinan, tuan Muqatil mengutip manuskrip Injil Barnabas yang sudah ada bahkan jauh sebelum Rasulullah SAW lahir. 

Jika Kitab Tafsir awal mengadopsi riwayat non-Islam, yang meyakini bahwa Yesus masih hidup, maka (secara tidak langsung) ini bisa mempengaruhi para mufasir setelah tuan Muqatil untuk mengganti pemahaman “mutawaffika“, dari “mematikan atau mewafatkan atau mengambil nyawamu” menjadi “mengambil jasad dan ruhmu sekaligus”[6], dan mengganti pemahaman “rafa’a” yang memiliki arti “menaikan derajat” menjadi menaikan jasad atau badan kasarnya Nabi Isa a.s., demi menjaga kepercayaan bahwa seseorang diserupakan menjadi seperti beliau a.s., kemudian beliau a.s.diangkat dan masih hidup sampai sekarang di langit.

Penutup

Meskipun keyakinan akan hidupnya Isa a.s. dan kembalinya secara fisik adalah pandangan mayoritas dalam Islam, analisis linguistik yang ketat terhadap Al-Qur’an justru membuktikan bahwa Nabi Isa a.s. sudah wafat secara alami. Catatan sejarah penafsiran awal juga menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh narasi di luar Al-Qur’an dalam membentuk pemahaman dominan ini. Hal ini membuka ruang untuk pembahasan lebih lanjut tentang konsep nuzul (turunnya) Isa a.s. Berdasarkan hadis mutawatir, Isa ibnu Maryam itu akan turun di akhir zaman. Namun, tasyrih hadis tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an[7]. Kedudukan hadis hanyalah sebatas saksi guna menguatkan argumentasi Al-Qur’an, bukan untuk membatalkan apa yang ada[8]. Kenyataannya adalah kewafatan Nabi Isa a.s. telah jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, karena itu kita seyogyanya tidak memakai hadis tentang turunnya Isa a.s.untuk membantah kewafatannya. Jika Nabi Isa a.s. telah wafat maka turunnya Isa ibnu Maryam dapat diinterpretasikan secara metaforis—sebuah topik menarik untuk didalami dalam artikel terpisah. 

Oleh : Fariz Abdussalam


Sumber:

[1] Nabi Isa Wafat Secara Alami https://ahmadiyah.id/nabi-isa-wafat-secara-alami
[2] Benarkah Nabi Isa Masih Hidup https://islamdigest.republika.co.id/berita/qe4oq6320/benarkah-nabi-isa-masih-hidup-sampai-saat-ini-di-langit
[3] Al Qur’an membantah Nabi Isa Diserupakan Disalib https://rajapena.org/al-quran-membantah-nabi-isa-diserupakan-disalib/
[4] Evidensi Kematian Nabi Isa dalam Al-Qur’an: 30 Ayat sebagai Bukti Nyata https://www.youtube.com/watch?v=HAB1wqSUO-s 
[5]Kitab Tafsir Al Quran tertua, ditulis oleh Muqatil ibn Sulaiman yang hidup pada abad ke-2 H. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=HdXhrOghxps&t=745s
[6] Nabi Isa (as) masih hidup atau sudah meninggal https://muslimafiyah.com/nabi-isa-alaihissalam-masih-hidup-atau-sudah-meninggal.html 
[7] Apabila hadist shahih bertentangan dengan Al Qur’an https://almanhaj.or.id/322-apabila-hadits-shahih-bertentangan-dengan-al-quran.html
[8] Memahami Fungsi Hadis terhadap Alquran sebagai Bayat At-Tasyri https://kumparan.com/berita-terkini/memahami-fungsi-hadis-terhadap-alquran-sebagai-bayat-at-tasyri-1zVtb0cJX5I/full