Di era seperti sekarang banyak kelompok yang menganggap dirinya paling benar, bahkan tidak hanya demikian, selain mereka menganggap dirinya paling benar mereka juga menganggap yang lainnya itu salah sampai-sampai mengakfirkan, menjelekkan, mencemooh dan lain sebagainya, padahal sejak bumi ini diciptakan perbedaan sudah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak akan pernah hilang kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari, begitupun tentang isu-isu agama yang menjadi fundamental, isu-isu agama yang seharusnya membawa perdamaian, cinta kasih sesuai ajaran masing-masing malah menimbulkan akar perpecahan yang belum terselasaikan sampai sekarang, masih terdapat banyak golongan, kelompok, sekte yang mengkafirkan, menjelekkan, menyebut yang lain keliru di dunia ini, terkhusus di bumi pertiwi ini. Mengapa hal ini terjadi, yakni masih banyak golongan-golongan yang merasa paling superior, paling benar, paling pantas masuk surga dibandingkan dengan golongan yang lain, ini menunjukkan kebenaran apa yang dipersembehkan oleh kitab suci Al-Qur’an bahwa setiap golongan akan menganggap dirinya paling benar, merasa bangga dengan golongannya sendiri, diakibatkan fanatisme yang berlebihan, bukannya menimbulkan persatuan umat, malah menimbulkan perpecahan umat, karena tidak saling menghargai satu sama lain dalam perbedaaan yang kentara maupun tidak. Al-Qur’an menyatakan :
وَإِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَأَنَا۠ رَبُّكُمۡ فَٱتَّقُونِ– فَتَقَطَّعُوٓاْ أَمۡرَهُم بَيۡنَهُمۡ زُبُرٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ–فَذَرۡهُمۡ فِي غَمۡرَتِهِمۡ حَتَّىٰ حِينٍ –
Dan ketahuilah sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku-lah Tuhanmu. Maka bertakwalah kepadaKu.– Tetapi mereka, orang ingkar, terpecah belah dalam urusan agamanya menjadi beberapa golongan. Masing-masing golong-an bergembira dengan apa yang ada pada mereka.– Maka btinggalkanlah mereka dalam kesesatannya hingga suatu waktu. (QS. Al Mu’minun ayat 53-55)
Berkenaan dengan ayat-ayat di atas salah satu Khalifah Ahmadiyah yaitu Khalifah yang kedua Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. Memberikan sedikit penjelasan sebagai berikut :
“Semua utusan Tuhan menggalang persaudaraan, sebab mereka datang dari sumber Ilahi yang sama, dan dasar ajaran-ajaran mereka sedikit banyak serupa satu sama lain; serta tujuan dan maksud kebangkitan mereka pun itu-itu juga, ialah menegakkan keesaan Ilahi dan persatuan umat manusia di bumi. Sesudah seorang nabi wafat, pada umumnya para pengikutnya mulai saling berselisih, dan berpecah-belah menjadi mazhab-mazhab dan aliran-aliran; tiap mazhab menganggap dirinya sebagai pengikut yang sejati, dan menganggap mazhab-mazhab lain sebagai hampa dari segala kebenaran. Keadaan manusia adalah demikian rupa, bahwa berlimpah-limpahnya kekayaan serta kekuasaan dan kehormatan golongannya
sebagai ukuran sukses, bahkan dianggap satu-satunya tanda yang menunjukkan mereka itu penerima karunia Tuhan. Kesalahan umum inilah yang diikhtiarkan ayat ini dan ayat berikutnya untuk diperbaiki.”
Dari penjelasan tersebut sudah nampak memang Al-Qu’an telah memberitahukan sejak awal bahwa setiap golongan akan merasa gembira, merasa bangga, menganggap dirinya paling benar, paling sukses, paling dekat dengan Tuhan, paling layak untuk mendapatkan karunia Ilhai dan lain sebagainya. Namun apakah layak kita mengaku bahwa kita itu paling demikian? Sama sekali tidak, karena itu akan kontradiksi dengan ajaran Al-Qur’an sendiri, Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa semua manusia itu sama di hadapan Tuhan, yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah ketakwaan, dan ketakwaan ini merupakan hal yang sangat halus, tidak semata-mata kita bisa mengaku bahwa diri kita bertakwa, namun tingkah laku, kata dan sebagainya sama sekali tidak menunjukkan takwa. Di hadapan Tuhan, presiden dengan rakyatnya sama, raja dengan pelayannya sama, bos dengan karyawannya sama, semuanya sama di hadapan Sang Esa, yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah mereka yang bertakwa, siapakah yang bertakwa itu? Simpelnya adalah mereka yang senantiasa melaksanakan segala perintah Tuhan, dan senantiasa menjauhi larangan Tuhan, itulah mereka yang bertakwa. Al-Qur’an mengatakan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan;
dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnyayang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahawaspada.(QS. Al-Hujurat ayat 14)
Sangatlah tidak patut bahwa kita mengatakan bahwa kita yang paling baik, sementara apa yang kita lakukan itu jauh dari ajaran Tuhan.
Apa itu toleransi di era militansi?
Sebelum terlalu jauh, alangkah baiknya kita memahami secara sederhana apa itu tolerasni dan apa itu militansi, tentu semuanya sudah memahami makna dari kata-kata tersebut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran tentunya yang maknanya adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan lain sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kalau kata toleransi sendiri berarti sifat atau sikap toleran. Intinya toleransi adalah saling menghargai perbedaan yang ada di tengah-tengah kita.contoh kecilnya adalah kita menerima perbedaan suku, bangsa, warna kulit tanpa merendakan satu sama lain, karena segala sesuatu yang Tuhan ciptakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Kemudian apa itu militansi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia militansi berasal dari kata militan yang berarti bersemangat tinngi, pebuh gairah, berhaluan keras. Jadi militansi adalah sikap menggebu-gebu dalam jiwa dan penuh pengabdian menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Contoh kecilnya adalah seorang fans garis keras bola yaitu United Army ia akan militan kepada klub yang ia bela yaitu Manchester United, ia akan berusaha melakukan apapun untuk mendukung klub kesayagannya itu tanpa menghiraukan yang lainnya.
Jadi toleransi di era militansi ini dapat kita artikan bahwa kita menerima segala macam perbedaan yang ada di tengah-tengah kita, meskipun kita sendiri memiliki kewajiban untuk membela, mendukung, menonjolkan golongan kita sendiri. Mungkin ini hal yang tidak mudah satu sisi kita mempunyai kewajiban terhadap golongan kita, namun di sisi lain kita harus mampu menerima perbedaan yang ada di tengah-tengah kita. Pada initinya adalah yang besar harus mampu mengayomi yang kecil, yang kecil pun jangan sampai bungkam ketika ketidakadilan mengemuka, hendaknya mereka menyuarakan aspirasi mereka sesuai dengan hukum yang berlaku, jangan berlebihan turun ke jalanan merusak fasilitas umum dan lain sebagainya.
Mengenai toleransi ini Yang Mulia Hadhrat Rasulullah saw. sebagai nabi yang paling mulia telah memperlihatkan suri teladan yang begitu indah sejak dulu, hal terbukti ketika beliau saw. bersikap toleransi terhadap kabilah Kristen dari Nazran yang beribadah di Masjid Nabawi. Ini merupakan salah satu bukti bahwa toleransi ini sudah diajarkan sejak masa Hadhrat Rasulullah saw. kemudian kita tinggal mempertahankan atau mengamalkan apa yang telah disunnahkan oleh beliau saw. dan para sahabat ra. kala itu. Kita sama sekali tidak diperkenankan merasa superior dibandingkan yang lain, karena boleh jadi apa yang menurut kita baik belum tentu itu baik menurut Allah Ta’ala, sebagaimana Al-Qur’an mengatakan:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Dan boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu, dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. (QS.Al-Baqarah ayat 217)
Jadi sesuai ayat tersebut hendaknya kita menanamkan dalam benak kita masing-masing dengan penuh perenungan yang mendalam bahwa sesuatu yang kita sukai itu belum tentu baik untuk kita, begitupun sebaliknya bahwa sesuatu yang kita benci itu belum tentu buruk bagi kita, hendaknya dalam melakukan segala sesuatu pun kita senantiasa mengambil jalan tengah sesuai daripada sabda Hadhrat Rasulullah saw. khairul umuri ausathuha, yakni sebaik-baik perkara adalah pertengahannya, dalam filsafat cinta diajarkan pula bahwa jangan sampai kita mencintai seseorang terlalu berlebihan, karena boleh jadi suatu saat yang kita cinta malah akan kita benci, begitupun sebaliknya, kerena sesuai ajaran Al-Qur’an bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai sesuatu yang berlebihan, Dia tidak akan senang dengan seorang hamba yang sepanjang hari beribadah tanpa memenuhi hak dan kewajibannya sebagai seorang manusia, contohnya seorang kepala keluarga tidak menafkahi keluarganya karena sibuk beribadah kepada Allah, ini merupakan suatu kekeliruan yang nyata, sebagaimana Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Almasih Almau’ud as. mengajarkan di dalam satu bukunya bahwa hubungan dengan Allah Ta’ala tidak akan berjalan dengan baik selama hubungan dengan sesama manusia tidak baik, jadi sebagai seorang hamba yang baik hendaknya kita senantiasa saling memenuhi hak dan kewajiban kita sebagai makhluk sosial.
Setelah sedikit membahas tentang toleransi dan militansi mungkin pertanyaan besarnya adalah bagaiamana cara kita bisa hidup toleransi di tengah-tengah militansi zaman ini, ini merupakan tantangan kita bersama, sebagai makhluk yang bertuhan, sebagai makhluk sosial, saya akan coba mengambil beberapa solusi sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, karena memang Al-Qur’an sendiri merupakan kitab yang tidak akan lenyap dimakan usia dan akan senantiasa cocok untuk semua zaman, termasuk zaman milenial, militansi seperti sekarang, berikut beberapa solusi atau ajaran Al-Qur’an mengenai bagaimana kita menegakkan toleransi di tengah-tengah militansi:
Pertama, jika ada yang berselisih. Maka damaikanlah. Al-Qur’an mengatakan:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
Dan jika dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; maka jika sesudah itu salah satu dari mereka menyerang yang lain, maka dengan bersatu padu, perangilah pihak yang menyerang, hingga kembali kepada perintah Allah. Kemudian sekiranya ia kembali, damaikanlah di antara keduanya dengan adil dan berbuatlah adil. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.(QS. Al-Hujurat ayat 10)
Kedua, hendaknya kita tidak mengolok-olok kaum lain, boleh jadi kaum yang diolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok. Al-Qur’an mengatakan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mencemoohkan kaum yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik daripada mereka, dan janganlah segolongan wanita mencemoohkan wanita yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik daripada mereka. Dan janganlah kamu mencela satu sama lain, dan jangan memanggil satu sama lain dengan nama-nama buruk. Dipanggil dengan nama buruk setelah beriman adalah hal yang seburuk-buruknya; dan barangsiapa yang tidak bertaubat mereka itulah orang-orang yang aniaya.(QS. Al-Hujurat ayat 12)
Ketiga, hendaknya kita menjauhi prasangka buruk kepada siapapun dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain. . AL-Qur’an mengatakan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
Hai orang-orang yang beriman, hindarilah banyak prasangka;karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu memata-matai satu sama lain, dan jangan ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antaramu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat ayat 13)
Keempat, hendaknya kita menerapkan motto Love for all, Hatred for none – Cinta untuk semua, kebencian tidak untuk siapapun- sebagai cerminan agama Islam yang rahmatan-lil’alamin, ini merupakan sangat cocok di zaman ini, karena segala sesuatu yang diawali dengan cinta semuanya akan baik-bai saja, segala sesutau yang membawa cinta tidak akan menimbulkan hal yang bertentangan dengan cinta. Khalifah Muslim Jemaat Ahmadiyah yang kelima yakni Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. menyampaikan pada salah satu sabdanya bahwa beliau akan berusaha keras untuk menyebarkan cinta kasih dan memeperjuangkan perdamaian bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, tanpa memandang kasta, sekte, suku bangsa, warna kulit dan lain sebagainya, caranya adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan senantiasa berdoa untuk kemaslahatan bersama-sama.
Itu merupakan solusi yang Al-Qur’an tawarkan untuk menegakkan toleransi di era militansi, tinggal kita merenungkan dan mengamalkannya sesuai dengan porsi kita masing-masing. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, perbedaan adalah sebuah keindahan, persatuan tidak akan pernah ada perbedaan, jika umat terdahulu saja bisa bersatu, jika rakyat Indonesia dulu saja bisa bersatu demi kemerdekaan bangsa ini, mengapa kita sekarang tidak bisa, semuanya ada di tangan kita, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi, salam toleransi, mari bersama-sama hidup bertoleransi di tengah-tengah militansi, kita boleh menyampaikan pendapat kita kepada yang lain, kita boleh menyampakaikan kebenaran kepada yang lain, namun dengan cara yang terbaik, jangan sampai kebenaran yang kita tuju ditempuh dengan jalan yang amat keliru, sehingga menimbulkan derita dalam kalbu.
Agama tidak akan pernah menjadi satu.
Selalu saja ada dua atau tiga agama
Dan selalu ada perang serta saling bunuh di antara mereka.
Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama?
Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat.
Di dunia ini, ketinggalan agama adalah hal yang mustahil.
–Maulana Jalaluddin Rumi–
Oleh : Tata Rosada Nizamuddin