Masih ingatkah dengan kisah domba Dolly sekitar dua dekade silam? Domba hasil pengklonaan itu sempat mengeggerkan jagat raya. Ia mencuri banyak perhatian pasang mata manusia, termasuk awak media dunia pada saat itu. Ia begitu spesial karena merupakan domba pertama yang berhasil di-cloning dari sel dewasa, sedangkan pada 1984 dan 1995 domba klonaan berhasil dikembangkan namun berasal dari sel embrionik. Muncul ke permukaan untuk pertama kali pada 5 Juli 1996, Dolly dilahirkan dari rahim seekor domba betina Scottish Blackface. Ia merupakan produk hasil penelitian para ilmuwan pimpinan Profesor Sir Ian Wilmut di lembaga The Roslin Institute, The University of Edinburgh, Inggris.
Meski sang induk yang melahirkannya memiliki wajah hitam, namun tidak demikian bagi Dolly. Ia memiliki karakteristik persis dengan induk genetiknya, yakni seekor domba Finn Dorset berusia 6 tahun, sebuah sel diambil dari kelenjar susunya untuk dikloning dan menghasilkan si Dolly ini. Mengapa Dolly bisa memiliki 2 induk? Dolly ‘diciptakan’ melalui teknologi SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer) atau donor nukleus sel somatik. Dalam teknologi ini, nukleus dalam sel telur digantikan dengan nukleus sel somatik dari organisme pendonor. Karena 99,9% DNA dalam nukleus sebagai DNA kromosom, maka anak yang dihasilkan memiliki karakteristik yang serupa dengan induk donornya, perbedaan hanya dipengaruhi faktor lingkungan selama proses kehamilan saja. Dan inilah yang terjadi dengan Dolly ketika domba Finn Dorset mendonorkan selnya pada rahim domba Scottish Blackface sebagai induk yang melahirkan Dolly. Maka dari itu, Dolly tidak mirip dengan domba Scottish Blackface yang berwajah hitam karena komposisi genetiknya diturunkan dari domba Finn Dorset.
Sebuah platform ilmiah STAT pernah menulis artikel bertajuk “Human reproductive cloning: The curious incident of the dog in the night-time” pada 2020 lalu. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa setelah keberhasilan cloning sel dewasa yang menghasilkan domba Dolly, banyak orang dan sejumlah kelompok yang berpikir untuk meng-cloning manusia. Dua ahli Obstetri-Ginekologi, Severino Antinori dan Panayiotis Zavos mengumumkan niat mereka ‘menciptakan’ manusia cloning pertama, meskipun mereka mengaku berhasil, namun tidak ada pengumuman tentang kelahiran manusia tersebut. Dan memang, ‘menggandakan’ manusia tidak semudah berpikir atas dasar riwayat domba Dolly sebagai makhluk ‘fotokopi’ karena banyak aspek fisiologis yang dipertimbangkan jika hendak mengkloning primata seperti manusia.
Para saintis terus berkutat mencari sesuatu yang baru melalui proses penelitian, khususnya dalam ilmu biologi molekuler, bahkan sejak abad ke-18 atau mungkin sebelum itu. Di abad ke-20 para ilmuwan seperti Watson dan Crick yang menemukan model untai DNA (1953), semakin menggeluti bidang ini untuk melahirkan sesuatu yang menggugah sains. Brown (2010) menulis bahwa hingga pada 1971-1973, terjadi revolusi dalam eksperimen biologi (ilmu genetika) dimana sejumlah teknik seperti DNA rekombinan dan gene cloning berhasil dilakukan. Hal ini mampu mempercepat pengurutan asam nukleat DNA (DNA sequencing) atau informasi genetik makhluk hidup sehingga dapat membantu pendiagnosaan penyakit seperti kanker yang mampu diobati dengan pendekatan secara genetik.
Selain teknologi cloning, teknologi serupa juga dikembangkan oleh para ilmuwan, yaitu organisme transgenik, baik pada hewan maupun tumbuhan. Prinsipnya, teknologi ini akan mentransfer gen-gen tertentu dari organisme lain ke dalam sel yang terfertilisasi, kemudian setelah diinjeksikan dan dileburkan pada sel terfertilisasi tersebut, maka sel akan dikulturkan hingga fase embrionik. Setelah itu, embrio yang dikulturkan tadi akan diimplantasikan ke rahim organisme lain. Nantinya, keturunan dari organisme tersebut akan menghasilkan sifat transgenik. Dalam dunia kedokteran, teknologi ini lebih menekankan untuk ‘melumpuhkan’ atau menonaktifkan gen-gen pembawa penyakit. Skema contoh aplikasi hewan transgenik dapat dilihat pada gambar berikut.
Tak hanya hewan, beberapa tanaman transgenik pun berhasil dikembangkan seperti tanaman kapas transgenik atau kapas Bt yang disisipi gen dari bakteri Bacillus thuringiensis sehingga kapas yang dihasilkan menjadi resisten terhadap hama.
Dalam ilmu rekayasa genetika, DNA berperan sebagai prekursor dan dilibatkan dalam segala lini penelitian, baik ilmu kedokteran, veteriner, peternakan, pertanian, industri pangan, ataupun industri farmasi. DNA (Deoxyribonucleic Acid) atu Asam Deoksiribonukleik merupakan struktur kimia yang terdiri dari basa nitrogen, gugus fosfat dan gula pentosa (deoksiribosa). Dalam DNA, tersimpan kode-kode genetik yang mengekspresikan karakteristik suatu makhluk hidup, sehingga banyak para ilmuwan yang mencoba untuk bereksperimen mentransformasi genetik suatu makhluk hidup atau organisme untuk tujuan-tujuan tertentu hanya dengan memodifikasi DNA.
Para ilmuwan beranggapan bahwa hal ini dapat menjadi prospek pengembangan ilmu pengetahuan di bidang biomedis/kedokteran, zoologi, pertanian, peternakan dan lain-lain. Dan Dolly menunjukkan bagaimana teknologi pengklonaan itu berhasil. Klona merupakan sel makhluk hidup yang dihasilkan secara aseksual (tanpa proses kawin) yang diturunkan dari sel induk. Dan Dolly adalah bukti nyata bahwa makhluk hidup dapat ‘difotokopi’ melalui tangan-tangan manusia dengan disiplin ilmu yang digandrungi, dalam hal ini adalah ilmu bioteknologi atau teknologi yang memanfaatkan makhluk hidup sebagai unsur utama yang dilibatkan untuk menghasilkan sesuatu.
Jika mamalia seperti domba Dolly saja mampu digandakan, bagaimana dengan mamalia lain seperti Homo sapien atau manusia? Meski sangat sulit keberhasilannya seperti yang diutarakan di atas, setidaknya manusia sudah berpikir dan berniat melakukan itu. Tentu banyak spekulasi dibalik narasi ‘penggandaan’ makhluk hidup terutama manusia. Ada yang beranggapan bahwa segelintir orang memiliki maksud-maksud tertentu demi kepuasan dan kepentingan duniawinya untuk berkonspirasi, ada yang berasumsi bahwa ini merupakan narasi penantangan terhadap wujud Tuhan karena manusia sendiri mampu menjadi ‘pencipta makhluk hidup’, ada pula yang beranggapan bahwa ini merupakan khazanah ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan manfaat di kemudian hari, khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dan penyembuhan penyakit.
Diskursus semacam ini tentu mengundang polemik masyarakat dari berbagai kalangan, baik kaum elit maupun masyarakat jelata. Ada yang setuju, ada yang menentang. Ilmu rekayasa genetika ini menimbulkan semacam konsensus dari sudut pandang Islam dan Katolik, atau mungkin keyakinan lain.
Katolik meyakini bahwa praktik cloning diperbolehkan sepanjang tidak menyakiti atau menyiksa hewan yang dijadikan objek penelitian. Namun, bagaimana dengan praktik cloning manusia atau dalam kata lain ‘menggandakan’ manusia? Secara etis, apakah dibenarkan teknologi ini menghasilkan sel-sel embrionik dari embrio insani yang hidup? Gereja tidak membenarkan hal ini karena Gereja beranggapan bahwa embrio adalah sosok pribadi, bukan dipandang sebagai gumpalan sel. Dengan demikian, intervensi manusia yang memanipulasi embrio dianggap melecehkan dan tidak bisa diterima. Dogma yang selama ini dipegang teguh oleh kaum beragama tentang penciptaan manusia ada dalam genggaman Tuhan pun seolah dipermainkan. Ini bertentangan dengan hak prerogratif Tuhan selaku pemegang otoritas dan kreator alam semesta. Dalam hal ini, ajaran Gereja Katolik tetap tidak menerima prosedur objektivitsasi manusia, sebab manusia adalah subjek dalam dirinya yang tidak pernah boleh diobjekkan.
Islam pun senada dengan hal tersebut. Khalifatul ke 4 Jemaah Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Tahir Ahmad secara khusus menulis artikel berkenaan dengan rekayasa genetika dalam buku beliau yang berjudul ‘Revelation, Rationality, Knowledge and Truth’. Beliau menulis bahwa ilmu rekayasa genetika pada saat ini mampu mengubah apapun yang ada dalam kehidupan. Namun ketika turun ayat Al Quran surah An-Nisa ayat 119-120, tak ada seorang pun yang membayangkan dalam angannya hal seliar itu.
وَقَالَ لَاَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًاۙ
وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا
“…Aku pasti akan mengambil bagian yang sudah ditentukan dari hamba-hamba Engkau.” (119) “Dan pasti akan aku sesatkan mereka, dan pasti akan aku janjikan kepada mereka harapan-harapan kosong dan pasti akan aku suruh mereka memotong telinga binatang-binatang ternak dan aku akan menyuruh mereka merubah makhluk Allah.” Dan barangsiapa mengambil setan jadi pelindung selain Allah, ia pasti mengalami kerugian yang nyata.” (120)
Pada zaman pra-Islam (zaman jahiliyyah) di Arab, banyak orang-orang yang memotong telinga binatang ternak untuk dipersembahkan kepada tuhan-tuhan palsu mereka. Kemudian Setan juga berniat busuk untuk menghasut manusia agar mengubah makhluk ciptaan Tuhan. Tersirat suatu nubuwatan dalam ayat ini bahwa suatu saat akan ditemukan teknologi rekayasa genetika dan terbukti detik ini teknologi tersebut berkembang. Ini sejalan dengan apa yang terkandung dalam ayat tersebut berkenaan dengan rencana Setan menghasut manusia merubah ciptaan Tuhan. Allah Taala sendiri memberi peringatan bahwa barangsiapa berlindung dalam naungan Setan, maka ia akan merugi.
Kita pun tidak bisa berasumsi secara liar maksud orang-orang yang ingin ‘menciptakan’ manusia atau mengreasikan sesuatu (yang dianggap) melampaui Tuhan. Namun, para ilmuwan yang bertaqwa seyogyanya memerhatikan rambu-rambu yang dibatasi oleh Al Quran. Tetapi, Allah Taala tidak membuat partisi bagi umat manusia untuk menelaah khazanah-khazanah ilmu pengetahuan dari semesta yang Dia ciptakan. Dalam ayat lain, Allah Taala memerintahkan kita menggunakan akal untuk berpikir. Maka dari itulah, berbagai riset dan penelitian sangat dianjurkan seperti rekayasa genetika ini sejauh dipergunakan untuk menjaga dan merawat ciptaan Allah Taala.
Dalam Konferensi Peneliti Ahmadiyah 2019, Khalifah ke 5 Jemaah Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad mengutip sabda Mirza Ghulam Ahmad, “Ketika orang beriman mempelajari dan merenungkan benda-benda langit yang ada di alam semesta, maka pikiran mereka akan terbuka dan mendapatkan pencerahan.” Beliau juga berpesan bagi para ilmuwan dan saintis untuk senantiasa mengapresiasi penciptaan Allah Taala, jika mereka melihat Allah Taala melalui cara ini (riset dan penelitian), maka arahkanlah tujuan mereka kepada Allah Taala dengan semangat dan gairah, serta mohonlah pertolongan Allah Taala dalam usaha mereka memahami dan memecahkan misteri di alam semesta (melalui kegiatan riset dan penelitian).
Semua hal yang ada di muka bumi ini merupakan ‘PR’ bagi umat manusia untuk menelaah, meneliti, mengkaji dan mengungkapkan berbagai kebenaran, termasuk pengembangan ilmu rekayasa genetika itu sendiri. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa melalui rekayasa genetika, banyak orang yang terselamatkan dari penyakit mematikan. Hal demikian membuktikan bahwa selagi kita menekuni ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan umat manusia, maka tidak ada yang berhak untuk menghalang-halangi seseorang untuk mengembangkan ilmunya. Namun, apabila kecerdasan kita dipergunakan untuk hal-hal yang melampaui rambu-rambu agama dan bekerjasama dengan Setan, niscaya kerugian akan didapatkan sebagaimana Al Quran mengatakan demikian.
Oleh : Umar Farooq Zafrullah
Referensi :
- The Life of Dolly | Dolly the Sheep (ed.ac.uk)
- Cloning FAQs | Dolly the Sheep (ed.ac.uk)
- Brown, T.A. 2010. Gene Cloning and DNA Analysis. 6th Edition. Faculty of Life Sciences, University of Manchester. Manchester: A John Wiley and Sons, Ltd., Publication
- Cloning humans is technically possible. It’s curious no one has tried – STAT (statnews.com)
- Clarck and Pazdernik. 2009. Biotechnology, Applying the Genetic Revolution. London, UK: Elsevier Academic Press
- Chang, William. 2009. Bioetika. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius
- Hazrat Mirza Tahir Ahmad. 1998. Revelation, Rationality, Knowledge and Truth. Tilford, Surrey: Islam International Publications Ltd.
- Al Quran Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia